Menghuni zona degradasi di putaran pertama liga, merupakan kabar buruk bagi tim mana pun. Termasuk tim kebanggaan saya, Persebaya Surabaya.
Kendati masih menyisakan dua laga yang tertunda, reaksi dari suporter begitu keras. Apalagi kalau bukan tradisi menang di kandang yang kini mulai hilang. Lima kali kandang, dua menang, satu kalah, dan dua seri. Juga tentu saja komposisi pemain yang berubah dari laga ke laga.
Terbaru, beberapa store klub dipasangi banner yang cukup nylekit. Isinya: bukan perbanyak store, tapi perbanyak skor (poin). Store resmi menjamur, tapi prestasi jauh dari kata memuaskan. Begitu jalan pikiran mereka.
Tentu saja protes yang demikian, dengan memasang banner dkk di depan store, akan menimbulkan efek berantai. Partner akan selektif lagi untuk bekerja sama dengan manajemen. Sementara posisi store, adalah upaya untuk menghidupi klub dari sisi non tiket.
Catat, menghidupi klub. Yang konon akrab dengan buntung, alih-alih untung.
Semakin sedikit store yang dibuka, tentu tidak lebih baik dari store dengan jumlah banyak yang dibuka. Dalam satu store, kita tidak hanya berbicara perihal keuntungan uang semata. Di sana ada lapangan kerja yang diberdayakan. Bahkan hingga tukang parkir, bilamana store itu besar.
Protes adalah bukti cinta. Tak ada yang menutup mata untuk hal itu. Bahkan menyalakan flare di stadion pun juga mungkin disebut bagian dari cinta. Bahkan mendukung langsung awaydays tanpa punya tiket pun juga karena cinta.
Namun ingat. Ada cinta sejati. Ada pula cinta buta. Menyalakan flare dengan berujung denda, adalah cinta buta. Nekat tanpa tiket saat away juga demikian, cinta buta.
Lalu memasang spanduk protes di depan store resmi? Tanyakan pada hatimu kawan.
Satu nyali, wani!
*) Penyair Amatir