Bagaimana Mendefinisikan Rivalitas 90 Menit Selebihnya Saudara

Flare yang dinyalakan Bonek di GBT. Foto: Joko Kristiono/EJ
Iklan

Secara kasat mata frasa ini terasa ambigu. Arema FC dan Persija tidak termasuk dalam rivalitas yang berakhir persaudaraan, nuansanya penuh permusuhan yang mengakar. Dua unsur yang terlibat dalam rivalitas itu; pemain dan suporter. Telah banyak referensi yang mengupas tren suporter sepakbola nasional, beberapa di antaranya menjadikan beberapa kelompok suporter masih “alergi” dengan definisi-definisi yang tidak familiar tentang hal ihwal “rival”.

Dinamika suporter Indonesia kerap terjebak pada kesulitan memilah definisi “rival” dan “saudara”, siapa yang rival dan siapa yang saudara, atau siapa yang melakukan rival dan siapa pula yang melakukan persaudaraan, pemain atau suporter? Di situlah kita akan menemukan keunikan ber-supporter ria, tentang hal yang dianggap tabu dan dapat memantik pertikaian ketika persaudaraan telah dibangun, atau dengan kata lain kalimat “rival” bukanlah sematan bagi tim yang telah dianggap “saudara”.

Dalam mengarungi kompetisi Liga 1 hingga pekan ke 13 ini, Persebaya belum menampakan diri sebagai kekuatan yang mengancam dan mewarnai semaraknya liga tanah air. Pasca libur lebaran berhadapan dengan Persija sebagai pelunasan “hutang” pekan tak mampu mengatrol posisi hingga ke papan tengah, padahal tabungan pekan itu diwanti wanti sebagai celengan poin oleh beberapa suporter.

Namun, yang paling penting adalah mengetahui kekuatan tim mapan Liga 1 lebih utama untuk mengarungi musim selanjutnya. Persija, tim besar sarat pemain bagus ternyata tak sesuai nama besarnya. Dengan kekuatan penuh minus Marko Simic berhasil ditahan imbang Persebaya, artinya, Persebaya tidak gentar berhadapan dengan tim besar manapun. Itulah “sangu” penting untuk kebangkitan mental tanding bajul ijo ke depan.

Iklan

Besok, 7 Juli 2018, Persebaya akan bertemu Bali United FC. Sebuah tim yang pernah ‘hampir’ menjadi juara musim lalu, sebuah tim belia yang sarat pemain bintang dan dukungan suporter yang tak kalah fanatik. Mereka akan menguji kekuatan tim besar sarat sejarah dan prestasi dihadapan bonek di stadion Gelora Bung Tomo, tentu laga ini menjadi “rebutan” pemain Bali untuk merasakan atmosfir yang konon sebagai momok sepak bola nasional.

Ini ujian Persebaya. Ketika kontra Barito Putera, Sriwijaya FC, Persipura, Persebaya tak mampu memenanginya. Bali United tidaklah jauh dari kualitas tim di atas. Jika Persija bisa ditahan imbang di luar kandang, apakah Bali United juga akan diimbangi seperti Barito dan Sriwijaya? Hanya coach dan tim yang bisa menjawab.

Jika memang demikian, maka suporterlah yang menjadi kekuatan tambahan Persebaya. Dukungan tak boleh menjadi beban pemain Persebaya, sebab sudah banyak bukti bahwa tim justru lebih tertekan ketimbang tim lawan, itu dapat dibuktikan Persebaya kontra tim-tim di atas selain Arema FC. Walau ketika melawan Arema FC, jajaran yang berada di tribun VVIP seakan duduk di kursi panas, sebab hingga menit ke 70 tidak ada gol terjadi. Beruntung Misbakus Solikin mengonversi bola rebound dengan baik, jika tidak, maka kita tidak akan pernah tahu peristiwa apa yang akan terjadi saat itu.

Bali United adalah tim “imut” alias bayi ajaib. Materi mereka sedikit di atas Persebaya. Mereka tak memiliki pemain hasil internal seperti kita, kita hanya memiliki “nilai” yang tidak dimiliki tim mana pun dalam pembinaan. Namun, ini adalah liga. Poin adalah mutlak, tak perlu main cantik, yang penting menang dan menang, tim harus kuat dan tangguh, harus menjadi “David” di hadapan “Goliath” sekalipun.

Jika tim benar-benar lemah maka suporter menguatkan. Satu catatan penting, Bali United terbiasa dengan atmosfir gegap gempita. Kapasitas 25 ribu di I Wayan Dipta telah menjadi hal biasa bagi mereka. GBT harus memiliki “temperatur” berbeda dari tempat lain, tidak boleh sama, sebab, jika “temperatur” dan “hawa” memiliki kesamaan maka pemain lawan akan nyaman, dan di situlah skill mereka berkembang dan bukan tidak mungkin mereka meraih poin di sini.

Setiap laga adalah final. Setiap laga harus beraroma rivalitas tidak peduli siapapun lawannya. Aura melawan Arema harus berada di GBT. Jika Arema yang dalam tekanan “lahir batin” nyaris menahan imbang, bagaimana dengan tim lawan yang disambut tanpa ada nuansa rivalitas sebagaimana kompetisi adanya. Setidaknya, dalam 90 menit GBT harus menjadi momok lawan. Maka, rivalitas 90 menit bukan lagi milik pemain yang bertanding. Rivalitas harus menjadi milik siapa pun di dalam stadion Bung Tomo, setelah kemenangan kita dapatkan, selebihnya kita bersaudara. (*)

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display