Jacksen F Tiago! Aji Santoso! Rahmad Darmawan!
Kurang lebih nama-nama itulah yang dominan muncul sebagai sosok yang diteriakkan dengan lebih kencang untuk menggantikan coach AV semenjak Persebaya menelan kekalahan dari Persib. Belum lagi nama Andik Vermansah yang juga ikut disebut kembali, bersama dengan nama-nama pemain tenar lainnya, yang sedang bersinar bersama klubnya masing-masing.
Saya pribadi paham kalau inilah wujud dari rasa gregetan dari para pendukung Green Force dan mengharap agar nama-nama di atas bisa hadir untuk menyelamatkan tim. Namun juga, di saat yang sama kepala ini selalu geleng-geleng setiap membaca komen-komen tersebut. Karena jelas pendapat untuk mendatangkan pelatih-pelatih top di atas seperti imajinasi di siang bolong. Sangat tipis (bisa dikatakan tidak mungkin) mereka datang sebagai pengganti coach AV karena masih terikat kontrak dengan klub mereka masing-masing, ditambah lagi performa mereka yang sedang moncer-moncernya.
Lalu tim bergerak ke Serui menghadapi tuan rumah Perseru, yang di kenal jago kandang. Di tulisan saya sebelumnya, saya berpendapat bahwa laga di Papua kali ini adalah laga penentuan yang tidak bisa ditawar lagi. Jika hasilnya jeblok, pihak manajemen klub harus mengambil langkah tegas cenderung keras terhadap tim (pelatih dan pemain).
Pertandinganpun selesai, 3-1 untuk tuan rumah Perseru. Hasil yang mengecewakan untuk Bonek. Terlebih ini adalah tiga kekalahan beruntun. Dengan tim yang bisa dibilang compang-camping dan terkesan seadanya, menyaksikan laga secara streaming-an dari Belanda, Bajul Ijo praktis hanya mampu mengimbangi tuan rumah di babak pertama. Itu saja dengan hampir menempatkan semua pemain di daerah sendiri dengan serangan yang hampir selalu menggunakan bola-bola lambung jauh dari belakang langsung ke depan. Minim kreasi dan imajinasi, juga kurangnya greget serta determinasi di pertandingan itu yang akhirnya ditutup dengan kekalahan pertama di putaran kedua.
Yang membuat saya heran, kaget dan sedih (mungkin juga beberapa Bonek lainnya) adalah setelah kekalahan itu, ketika tim kembali ke Surabaya, hadangan (atau bisa dibilang juga serangan) seakan menjadi pelengkap rasa nyesek ini. Saya paham ini adalah wujud kecintaan, tapi segala di dunia ini, segala sesuatu yang telalu adalah sering kali hasilnya tidak baik. Yang saya khawatirkan keadaan ini akan menambah runyam suasana. Terlihat muka-muka tegang dari para pemain pada insiden itu.
Saya berpikir, jangan sampai lalu mereka ketika bermain di Gelora Bung Tomo di pertandingan selanjutnya, bukannya merasakan sokongan dari ribuan Bonek, tapi justru bermain under pressure, bermain dengan rasa khawatir yang ujungnya tidak bisa mengeluarkan kemampuan terbaik, alias melempem. Statistik sepanjang putaran pertama sudah menunjukkan, jika dibanding peserta lain, penampilan Persebaya lebih baik ketika tandang dari pada di kandang.
Bisa jadi mereka sebenarnya sudah merasakan “beban” itu ketika bermain di kandang sendiri di putaran pertama. Di mana seharusnya mereka bisa tampil lepas, percaya diri dan trengginas dengan diiringi lautan nyayian dukungan dari para Bonek. Bukan justru tampil canggung, bingung dan akhirnya mlempem.
Argumentasi bahwa pemain harus mengerti kalau tim yang dibela ada tim dengan sejarah besar, jadi mereka harus bermental kuat dengan cacian, atau bahwa inilah fakta kalau Surabaya itu “keras”, jadi para pemain harus tampil trengginas, ngeyel dan ciamik di semua pertandingan. Tapi, sadarkah kita bahwa mereka juga pemain profesional biasa, dengan segala kelebihan dan kekurangan, terutama dari sisi permainan dan mental?
Dan bukankah judgment dan penentuan mengenai permainan ada di tangan pelatih? Maido memang tanda cinta dan perhatian kita kepada Persebaya, tetapi maido yang berlebihan, sekali lagi rumusnya segala sesuatu yang berlebihan sering kali hasilnya adalah tidak baik. Bukankah dalam dunia suporter ada juga slogan, menang ku sanjung kalah ku dukung?
Apapun itu, sekarang keadaan kurang lebihnya sudah seperti yang disuarakan oleh sebagian suporter. Jika jeli, tuntutan itu sudah mulai dipenuhi ketika tim bertanding di Serui. Tuntutan untuk menurunkan lebih banyak pemain internal sudah dilakukan, dan akhirnya kalah dari Perseru. Pemain yang dianggap tidak layak sudah dilepas, manajer tim tidak lagi dijabat oleh Chairul Basalamah, lalu yang paling mencolok adalah coach AV sudah mengundurkan diri dan tidak lagi menjadi bagian dari Green Force. Sosok yang mengantarkan Persebaya promosi sebagai juara Liga 2 musim lalu sudah pergi. Sebagai gantinya adalah sosok lokal yang diidamkan dan diidolakan sebagian bonek, Bejo Sugiantoro.
Concern saya bukan lagi tentang coach AV, atau apa yang pernah coba dilakukan atau apa kesalahan yang pernah dilakukan, tapi menatap ke depan mendukung coach Bejo Sugiantoro. Menurut saya, ini jauh lebih penting. Sugiantoro, atau akrab dipanggil Bejo, adalah sosok tangguh di belakang sebagai natural libero. Karirnya sebagai pemain sangat gemilang, pernah merengkuh gelar juara bersama Persebaya dan juga sempat memperkuat tim nasional Indonesia. Singkatnya, ia adalah salah satu legenda hidup klub ini.
Tapi karirnya sebagai pelatih, menurut saya belum teruji dengan pengalaman yang mumpuni. Dalam catatan saya, Persik Kediri adalah tim liga terakhir yang ia tangani dan berakhir dengan degradasi ke Liga 3. Biasanya, Tim profesional yang ditangani dengan mengambil alih di tengah jalan, normalnya akan lebih sulit jika dibandingkan dengan menangani dari awal, di mana kewenangan membentuk tim dimiliki dengan lebih absolut. Memang, coach Bejo hanya akan mendampingi tim di 2 laga, karena terbentur lisensi. Namun, melihat Bajul Ijo telah menelan 3 kekalahan beruntun sebelumnya, 2 laga di depan juga sangat crucial untuk mendapatkan pondasi yang kuat di awal putaran kedua, untuk meraih posisi yang aman di klasemen. Lagi-lagi supporter harus memainkan peran sentral untuk mendukung coach Bejo secara militan namun positif di 2 laga selanjutnya.
Sekarang, setelah evaluasi yang dilakukan oleh manajemen, kita sebagai pendukung juga wajib melakukan evaluasi, karena kita jugalah yang menjadi element penting dari klub. Apakah yang dilakukan selama ini sudah baik dan benar? Total sanksi Persebaya sejauh ini adalah yang tertinggi (1 Miliar!) karena ulah suporternya. Memang ada pendapat bahwa ini bisa dibayar dari pemasukan tiket, tapi apakah ini alasan yang logis? Dana sebesar itu bisa digunakan untuk hal-hal yang jauh lebih sehat (bonus pemain, tambahan uang kontrak pemain baru, masuk ke cash flow klub, dan lain-lain) Ini tentu sayang disayangkan. Bahasa lainnya mungkin mubadzir. Lalu, saya pribadi juga berharap agar dukungan berupa teror atau pressure berlebihan kepada tim ketika bermain kurang baik,atau mendapatkan hasil yang kurang maksimal hendaknya dikurangi. Kita harus percaya kepada mereka, seperti mereka juga percaya kepada kita, akan setia mendukung dengan militan tim di segala kondisi, di saat baik ataupun dalam keadaan buruk, bukankah itulah hakikat dari cinta yang sejati?