Liga 1 dewasa ini, memang bukan wahana yang menggembirakan bagi Persebaya Surabaya. Terseok-seok di papan bawah dan begitu beratnya meraih poin kandang maupun tandang. Banyak peristiwa di luar lapangan yang mewarnai masa sulit ini. Saya ingin sedikit membahas beberapa fenomena yang terjadi sekaligus membagikan opini dari beberapa kegusaran saya.
Resistensi terjadi dari berbagai kalangan suporter menuntut manajemen berbenah. Mengejutkan melihat manajemen, dalam skala tertentu cukup sangat tunduk terhadap tuntutan-tuntutan ini. Bagai kerbau dicocok hidungnya. Sebagai tim dengan nama besar, dan jajaran staff manajerial yang terbilang memiliki reputasi baik, manajemen Persebaya memang sepantasnya berdikari dan memiliki ketetapan yang kokoh dalam rangka membawa arah dan tujuan tim. Salah satunya kekuatan menghadapi kritik. Namun tak biasanya kali ini agak sedikit goyah.
Bisa dipahami langkah manajemen yang terkesan tunduk terhadap suporter ini memang bermotif bisnis. Tentu manajemen cukup ketakutan kehilangan dukungan yang berarti juga merupakan kemungkinan kehilangan customer potensial atas komoditi yang dipasarkan oleh mereka berdasar hak dagang dengan nama Persebaya. Karena memang itulah penyokong utama kegiatan dan keberlangsungan tim. Suka tak suka, Persebaya kini hidup dan bertumbuh dari bisnis, bukan politik.
Dimulai dari tuntutan berbagai pihak untuk memutus kontrak Sidik Saimima. Dilanjutkan Alfredo Vera Out dengan tagar #AVOUT, juga didengarkan manajemen. Bahkan manajer tim Chairul Basalamah yang jadi sasaran kritik juga ikutan digeser. Teranyar, divisi pengamanan gawang menjadi sorotan. Miswar yang dianggap belum stabil dicadangkan, dan Dimas Galih dengan blundernya yang viral di-bully habis-habisan, sampai dengan sorotan terhadap pelatih kiper, dokter tim, yang ujung-ujungnya menyasar faktor kebugaran pemain dan absennya pelatih fisik juga mulai disinggung dan dipertanyakan.
Pemain juga sempat dipersekusi di depan apartemen sepulang away dari Serui. Bus dilempari telur. Pemain dihujat di depan wajahnya, yang belakangan juga disusul dengan aksi minta maaf dari perwakilan suporter.
Jujur dari semua itu, yang saya begitu terheran-heran adalah fenomena laga home melawan Persib Bandung. Chant “Maine koyok Taek” dengan mudahnya langsung berkumandang ketika Persebaya ‘baru’ tertinggal 2 gol. Apabila berkaca ke mentalitas Surabaya, tentu bukan mustahil kita bisa mengejar ketertinggalan. Belum cukup di situ, chant “Yo ayo…Ayo Persib Bandung, kuingin kita harus menang” juga dinyanyikan oleh banyak kelompok supporter Persebaya!
Dan ketika Persebaya balik memukul dan mulai mengejar defisit gol, sontak yang tadinya mencerca, menjadi kembali ‘normal’ dengan memberikan teriakan dukungan. Tak pantas rasanya kalau nanti kita menyama-nyamakan Bonek dengan pendukung Liverpool dengan chant “You’ll Never Walk Alone” yang konon terus mereka nyanyikan sehancur apapun hasil di lapangan. Pun juga saya bertanya-tanya ke mana perginya filosofi Bonek yang selalu menggaungkan “Ojok wedi rek, aku nang mburimu!”. Bahwa Bonek akan selalu setia berdampingan dengan Persebaya untuk mendorong dan mendukung tim dalam kondisi apapun.
Bobotoh memang punya hubungan baik dengan Bonek. Seperti saudara katanya. Hormati mereka, jamu mereka bagaikan raja. Namun tamu tetaplah tamu, mereka datang untuk melawan dan menjadi lawan. Mereka datang untuk mencuri poin, bukan untuk rekreasi dan temu kangen semata. Menghormati tamu bukan berarti lantas harus sekaligus menyerahkan rumahmu! Tak perlu menghujat timmu untuk dianggap toleran.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah goyangan dahsyat ini konstruktif bagi perkembangan tim dalam mengarungi sisa kompetisi? Ataukah sebaliknya malah menjadi beban ekspektasi yang terlalu berat bagi tim yang mayoritas diisi pemain muda ini? Ataukah ini telah melampaui batas?
Kita mungkin pernah membaca sejarah panjang hubungan antara salah satu grup media besar dengan Persebaya. Yang ketika di era Perserikatan dulu, media ini pernah menghajar habis-habisan tim dengan rangkaian kritik yang diharapkan dapat menjadi pelecut semangat para pemain. Sukseskah? Tidak! Lalu mereka mencoba mengubah pola pemberitaan dengan cara menanamkan kebanggaan pemain dan pendukung terhadap Persebaya. Dan terbukti Persebaya mampu berprestasi. Secara data, cara ini jauh lebih konstruktif.
Dan seyogyanya apabila kita menginginkan mereka (manajemen) untuk berbenah, maka konsekuensi dalam hubungan timbal balik yang sehat tentu menuntut para pendukung Persebaya dari semua elemen juga ikut berbenah. Semua demi kemajuan Persebaya menuju kejayaannya kembali. Pertanyaannya sekarang, sudahkah kita? (*)