Mengatasi Rivalitas Tak Bermutu dengan Bermain Peran

Foto: Yosia for EJ
Iklan

Baru beberapa hari lalu sepak bola kita mendapat sekali lagi kabar duka. Salah seorang suporter pergi mendahului kita akibat manusia-manusia yang kehilangan rasa kemanusiaan. Ada yang bilang ini soal rivalitas, fanatisme, agresi, eksistensi, bahkan gengsi. Tapi benarkah sepak bola kita hanya seputar itu-itu saja?

Saya masih ingat zaman saya menjadi siswa SMA dulu. Saat itu saya yang sudah sangat menyukai sepak bola menyempatkan berselancar ke website klub-klub di Indonesia, bahkan website suporternya juga. Ada The Jak, Bobotoh/Viking, Bonek, Aremania, Brajamusti, BCS/Slemania, Kampak FC, Benteng Viola, Banaspati, dan masih banyak lagi. Masa-masa itu sekitar tahun 2005-an, saya sangat aktif chat online terutama di forum Bonek, The Jak, Bobotoh, dan Kampak FC. Saya masih ingat betul, hampir tak ada cacian atau makian, bahkan rasan-rasan tentang suporter lain. Satu hal lagi, tak ada postingan tentang ‘suporter layar kaca’.

Ya, kami bebas membicarakan apapun tapi kami juga berbagi informasi tentang klub kesayangan masing-masing. Bertukar nomor telepon pun bukan mustahil, beberapa di antaranya masih menjaga sliaturahmi baik dengan saya.

Sayangnya, itu hanya masa lalu. Sekarang, di saat teknologi semakin maju justru kebersamaan itu ikut berganti. Cacian dan makian bertebaran di internet bersamaan dengan akun-akun bodong penyebar provokasi. Dan hei, kami yang dianggap sebagai anak baru kemarin sore ini masih dengan santai bertukar kabar lho melalui sosial media. Kami masih sadar, bahwa teknologi dan kemajuan zaman seharusnya membuat rasa kemanusiaan dan toleransi meningkat, bukan malah menurun bahkan hilang. Entah akibat tingginya gengsi menganggap kelompok masing-masing lebih superior atau hanya sekedar ingin eksis dengan menindas kaum lain. Bukankah jika kita ingin dimanusiakan berarti kita juga harus memanusiakan manusia? Sederhana bukan?

Iklan

Kita biasanya akan memprotes bahkan mengeluarkan cacian untuk pemain yang kasar di lapangan, mengatakan bahwa tidak sepantasnya mereka melukai lawannya meski itu di lapangan. Faktanya, mereka hanya mencoba profesional dengan menampilkan tampang monster di dalam lapangan dan menjadi hello kitty ketika di luar lapangan. Pemain-pemain itu berpelukan, bertukar jersey, kuliner bersama disertai dengan tawa dan canda. Kita nggak malu sama mereka? Itu yang katanya rival juga di lapangan tapi nyatanya saudara di luar lapangan?

Sekian banyak insiden tewasnya suporter hingga saat ini, seharusnya menjadi teguran keras. Insiden ini juga tanggung jawab kita bersama, bagaimana menyikapi rivalitas dengan sehat. Perbedaan itu pasti ada. Rivalitas pun selalu ada. Kalau dibandingkan dengan mereka-mereka yang pacaran atau sudah menikah tapi menjalani LDR atau LDM, rindu yang menggebu dapat mengakibatkan pertengkaran. Nah, kalau ini dibayangkan saking rindunya suporter-suporter itu berdampingan dalam satu stadion atau bahkan satu tribun gimana?

Saya punya usul agak cadas dan tak masuk akal mungkin, tapi kalau mau dan berani boleh dicoba. Psikologi memiliki metode mengubah perilaku misalnya dengan edukasi dan sosialisasi, mengubah kognitif (cognitive change), serta modifikasi perilaku dengan modeling dan role play (bermain peran). Gimana kalau suporter-suporter yang katanya rivalitasnya tinggi itu bermain peran saja? Bertukar posisi.

The Jak gantian dukung dan Persib, Bobotoh dukung Persija atau Bonek dukung Arema dan Aremania dukung Persebaya, hanya sementara saja sebagai konsekuensi pelanggaran yang mereka lakukan. Lamanya bertukar peran disesuaikan dengan besarnya pelanggaran yang dilakukan, tentu sebelumnya mereka sudah membuat kesepakatan tidak akan pernah mengulangi kesalahan yang sama. Tempat pertandingan pun bisa diubah di lokasi yang netral. Jangan lupa memulai pertandingan dengan menyanyikan Indonesia Raya! Mau? Berani?

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display