Belum juga kering tanah di makam Haringga Sirila. Baru saja berselang sepekan ikrar damai diteken di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. Eh, ternyata di stadion yang sama, penonton sudah kembali mencoreng muka mereka sendiri. Memalukan.
Tak perlu saya tuliskan apa rentetan pelanggaran yang mereka perbuat. Biar itu urusan Komdis PSSI. Sebab, yang memilukan menurut saya, ada suporter dari kelompok sendiri yang digebuki di depan istri dan anaknya dalam stadion. Bahkan, anaknya yang masih balita terkena dampak hingga benjol di kepala. Barbar.
Saya tidak sedang menuding satu kelompok suporter di tanah air. Toh, di stadion lain juga masih banyak terjadi. Regulasi yang lemah, sanksi dan denda yang terkesan tebang pilih, serta sibuk dengan seremonial ikrar damai elitis terbukti sama sekali bukan solusi.
Silakan bagi yang mau sibuk memutar berulang-ulang kaset khotbah bertema perdamaian suporter, tapi nyatanya nyawa masih bertumbangan gara-gara sepak bola. Bukankah lebih baik PSSI dan pemerintah memikirkan terobosan baru yang sebenarnya tidak baru-baru amat di tempat lain.
Begini, saya memulai dengan regulasi yang kita miliki. Betul, untuk penyelenggaraan Liga 1 memang sudah ada Kode Disiplin PSSI 2018 dan Regulasi Liga 1. Silakan diperiksa dalam dua regulasi itu, apakah sudah detail mengatur tentang suporter? Maaf, belum.
Saya meyakini, hanya dengan regulasi khusus yang lebih detail mengatur suporter, impian kita untuk bisa menyaksikan sepak bola di stadion dengan lebih aman dan nyaman bisa terwujud. Sama halnya dengan aturan penggunaan helm bagi pengguna sepeda motor di jalan raya. Memangnya, kalau tidak ada aturan dan sanksi yang tegas, para pengguna sepeda motor akan sukarela pakai helm? Ah, palsu.
Petinggi PSSI itu sering kali berbusa-busa bicara soal tata kelola sepak bola modern, menjadikan liga-liga Eropa, terutama Premier League, sebagai patokan. Sayang, urusan suporter belum diseriusi. Suporter masih saja dianggap sebagai penyumbang tiket masuk atau pembeli merchandise bagi klub, belum lebih dari itu.
Bisa jadi karena memang regulasi suporter yang detail bukan bikinan FA (federasi sepak bola Inggris), melainkan pemerintah Inggris. Yang mengikuti sepak bola Inggris sejak era 1980-an pasti mengerti betapa bingungnya FA dan pemerintah Inggris mengurusi hooligan.
Lalu, tragedi Heysel pada 29 Mei 1985 dan tragedi Hillsborough pada 15 April 1989 menampar FA dan pemerintah Inggris. Maka, pada 1986 parlemen Inggris mengeluarkan aturan The Public Order Act yang bisa membuat seorang suporter dilarang datang ke stadion apabila berulah.
Itu saja belum cukup. Pada 1989 parlemen Inggris di era Margaret Thatcher berkuasa kembali menegaskannya dalam undang-undang bernama Football Spectators Act (FSA) 1989. Dalam regulasi itu, ada beberapa aturan spesifik soal pelanggaran yang dilakukan suporter dan bisa berujung ke tahanan polisi atau urusan hukum.
Kebiasaan buruk penonton melempar benda-benda ke lapangan atau ke kelompok penonton lainnya, chant rasis dan tidak senonoh selama pertandingan, kekerasan terhadap benda atau orang, termasuk mengancam dan membahayakan kehidupan orang lain, diatur dalam FSA.
Juga, serangan yang bermula karena mabuk minuman alkohol, membawa flare, smoke bomb, hingga benda tajam diatur dalam FSA. Selain itu, tindakan kriminal suporter yang terjadi selama 24 jam ketika ada pertandingan sepak bola akan masuk cakupan undang-undang tersebut.
Tidak cukup sampai di situ. Regulasi itu terus diamandemen dan semakin detail dengan keluarnya The Football Offences Act 1991. Kali ini lebih terperinci membahas soal larangan melempar benda ke lapangan dan nyanyian rasial. Tentu saja, kalau itu dilakukan masuk kategori pelanggaran hukum alias kriminal.
Dan, kemudian Football (Disorder) Act 2000 serta Violent Crime Reduction Act 2006 menjadi UU termutakhir bikinan parlemen Inggris untuk mengatur para suporter. Sekarang ruang gerak suporter nakal sangat sempit karena standar keamanan stadion, banyaknya CCTV, serta kesigapan aparat keamanan.
Selain itu, apabila sudah terkena banned, seorang suporter bukan hanya tidak bisa menonton sepak bola secara langsung di seluruh stadion Inggris dan Wales, melainkan juga di luar negeri, terutama Eropa. Sebab, pemerintah Inggris sudah bekerja sama dengan Uni Eropa untuk urusan yang satu ini.
FSA juga kemudian banyak diratifikasi oleh beberapa negara Eropa dalam upaya menangani suporter. Regulasi seperti FSA yang kemudian diperbarui seiring perkembangan zaman itu juga membuat pemerintah dan aparat keamanan Inggris bisa membentuk badan khusus penanganan suporter.
Ya, di Inggris ada Football Intelligences Unit yang dibentuk di bawah National Crime Intelligence Service untuk menangani persoalan suporter. Unit gabungan ini dibentuk melibatkan polisi, organisasi suporter, dan klub sepak bola untuk memberikan masukan tentang apa yang harus dibenahi serta diawasi ketat.
Mereka pula yang memiliki data base suporter yang berulah. Juga, memiliki kajian tentang tingkat keamanan yang dibutuhkan ketika berurusan dengan suporter A, suporter B, atau suporter C.
Dengan regulasi seketat itu, apakah pelanggaran yang dilakukan suporter Inggris kemudian menjadi nol. Tidak juga. Dalam laporan pada 2016-2017, sebanyak 1.638 suporter ditahan karena melanggar regulasi. Yang terbanyak adalah gangguan keamanan publik (31%), gangguan kekerasan (21%), dan pelanggaran alkohol (16%). Jenis pelanggaran seperti pelemparan benda ke lapangan, menyalakan flare dan smoke bomb, serta masuk ke lapangan sudah menurun drastis karena tegasnya hukuman.
Meski pemerintah Inggris memiliki regulasi seketat itu, setiap klub juga punya aturan sendiri untuk urusan di dalam stadion mereka. Namun, wajib mencantumkan yang sesuai dengan FSA serta regulasi turunannya. Lalu, apakah relevan atau tidak regulasi seperti itu di Indonesia, akan kita ulas dalam tulisan besok.
Intinya, kalau masih sibuk dengan khotbah-khotbah perdamaian suporter berupa artikel, status Facebook atau Tweet, lalu ikrar damai yang elitis, sanksi yang tidak menyentuh suporter. Maka, mohon maaf, ada baiknya kita siapkan saja peti mati. (bersambung)
*) Mohammad Ilham, Wartawan Jawa Pos, bisa dihubungi di [email protected]
*) Tulisan ini pernah dimuat di Jawa Pos edisi Selasa, 9 Oktober 2018