Pelajaran apa yang kira kira tepat untuk panpel Persebaya menghadapi pertandingan big match? ada banyak hal mendasar yang kerap terjadi di setiap laga besar dan itu seperti tidak penyelesaian solusi yang diberikan panpel, selalu dan selalu terulang.
Kemarin, laga super big match antara Persebaya versus Persija terjadi insiden adu mulut antara penonton Superfans, Gojek (pengisi acara giant flag), dan panpel. Berawal dari beberapa kursi Superfans telah “dikapling” oleh panpel untuk driver Gojek pembawa giant flag. Beberapa pemegang Bonek Card Superfans yang telah duduk harus “terusir” karena kursi-kursi tersebut sebagai tempat “pengisi” acara. Sontak beberapa Bonek Superfans terlihat beradu mulut dengan pengisi acara tersebut.
Seiring perdebatan berlangsung, muncul panpel yang membawa radio HT berkoordinasi entah dengan siapa. Panpel tetap keukeuh bahwa kursi yang bertanda sponsor liga tidak boleh diisi, tak sampai di situ, beberapa pemilik Bonek Card pun mengacung-acungkan kartu itu secara bersama-sama di depan panpel. Dan, setelah berkoordinasi maka diputuskan pengisi acara pindah ke tribun Superfan di atas.
Sampai kapan carut marut tribun Superfans itu teratasi di setiap laga besar. Ini bukan persoalan manja atau ngalem, ini persoalan profesionalitas panpel dalam mengatur lalu lintas antara Bonek Card, tiket, dan sponsor. Jika penonton Superfans setiap laga besar banyak tidak mendapat kursi, bagaimana dengan penonton di tribun fans? Ini tolok ukur di mana tidak adanya previlege tiket ¼ juta itu serta harus berdiri dan berdesakan dengan undangan, sales, sponsor, dan pengisi acara. Sementara beberapa space telah dipatenkan sebagai zona media.
Entah bagaimana cara menghitung kapasitas tribun Superfans antara Bonek Card, tiket terjual, undangan, dan tiket undian-undian, tentu panpel dan manajemen yang lebih piawai secara matematisnya. Kejadian perdebatan antara penonton dan dulur-dulur pengisi acara bukan semata-mata menjadi jurang pemisah antara mereka yang membeli tiket dan undangan pengisi acara. Namun lebih kepada apa yang sepantasnya didapat pemilik tiket dan Bonek Card itu, jika memang di laga tersebut ada seremoni mengapa tribun atas tidak dimaksimalkan dan selalu ada keluhan penonton “tribun atas pintu tidak dibuka”, artinya jelas, bahwa kepadatan di tribun ini sengaja diciptakan, perkara nyaman atau tidak urusan belakang. “Bonek kok rewel” kira-kira itu yang melintas di panpel dan manajemen.
Mereka mereka yang memakai ID Card seakan tahan “peluru”, seliweran secara berkelompok yang semakin menghilangkan kenyaman. Silahkan anda membayangkan ketika melihat bioskop lalu lalang petugas bioskop tiada henti, penonton dewasa di pagar pembatas menutup ruang pandang anda? Mengganggu bukan?
Itulah kondisi tibun Superfans ketika menghadapi laga big match dengan tidak adanya pengurai kepadatan yang menggiring penonton ke tribun atas yang teramat sangat longgar. Untuk Persebaya memang tidak boleh rewel, namun untuk membangun dan mendorong panpel agar lebih cakap mengatur penonton, rewel harus dibutuhkan.