Mari sedikit agak serius. Bicara soal penghentian pertandingan Persebaya kontra Bhayangkara FC di Stadion Gelora Bung Tomo Surabaya, Senin (26/11/2018) kemarin. Wasit Faulur Rosy (NAD) yang memimpin laga, sempat menghentikan pertandingan di menit ke-31. Alasannya, ada nyanyian yang dianggap rasis dari penonton. Chantnya seperti ini, “ Pak Polisi …. Pak Polisi …. Tugasmu Mengayomi … Bukan Ikut Kompetisi …”
Selama dua menit laga dihentikan. Seperti yang terekam di televisi, adu argumen kuat dari kapten tim Persebaya, Rendi Irwan dan tim pelatih pada wasit atas penghentian pertandingan ini. Temanya; chant Pak Polisi itu dikategorikan rasis atau tidak?
Regulasi memang memberi kuasa penuh pada wasit di tiap pertandingan. Dia diberi ruang subyektif seluas luasnya untuk mengambil keputusan di lapangan. Menentukan offside, pelanggaran, pemberian kartu, penalti bahkan sampai urusan penghentian pertandingan. Dasarnya apa? Ya itu tadi. Regulasi. Laws of The Game. Ini menjadi kitab suci bagi wasit dan para pelaku sepak bola di mana pun berada. Jadi rujukan utama.
Kendati satu rujukan, namun di lapangan, tafsir yang diberikan bisa beragam. Wasit, pemain, kedua tim, penonton dan siapapun yang menyaksikan pertandingan bisa memberikan tafsir sendiri-sendiri. Ini yang menjadi seru. Apalagi kalau bicara soal kelayakan Offside atau penalti yang diberikan wasit pada satu pertandingan. Segala sumpah serapah bisa keluar semua. Tapi ya itu. Semua tak bisa apa-apa. Subyektifitas wasit segalanya. Silakan berdebat dan ramai kayak apapun, semua selesai dengan kalimat KEPUTUSAN WASIT MUTLAK DAN TAK BISA DIGANGGU GUGAT.
Yang repot jika dengan hak super mutlak yang dimiliki itu, tak diimbangi dengan kompetensi dan integritas yang memadai dari sang pengadil di lapangan. Inilah yang kadang berujung syak wa sangka dan sebagainya.
Repot lagi, jika regulasi, aturan yang jadi sandaran juga tak memberi tafsir yang tegas dan terang benderang. Seperti halnya perdebatan rasis atau tidak, nyanyian Pak Polisi kemarin.
Urusan per-Rasis-an, sebetulnya sudah diatur dalam pasal 51 regulasi Liga 1 2018. Biar tak penasaran, bunyinya seperti ini, “Hal hal yang mengganggu jalannya pertandingan seperti flare (cerawat), fireworks (kembang api), smoke bomb, spanduk, yel-yel serta hal lain yang bernada rasis, diskriminatif atau politis yang dapat dikategorikan sebagai sebuah pelanggaran disiplin dan terhadap hal tersebut akan dikenakan sanksi sesuai dengan kode Disiplin PSSI.”
Walau jelas termaktub, nyatanya pasal ini ompong di lapangan. Coba itu, sebelum ini, suporter yang berulangkali nyanyi, Bonek Dibunuh Saja! ya, aman-aman saja. Federasi dan pembuat regulasi, baru tersentak saat peristiwa meninggalnya supporter Persija, Haringga Sirila meninggal dikeroyok di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Minggu (23/9). Dia dikeroyok jelang laga Persib vs Persija.
Merespon peristiwa ini, Exco PSSI menggelar rapat pada 8 Oktober 2018 yang berbuah Edaran 07 tentang Prosedur Penghentian Permainan Karena SARA, Politik dan Hinaan. Edaran sebanyak dua lembar ini, sedikit agak detil menyangkut definisi Nyanyian Rasis. “Nyanyian yang mengandung unsur SARA, Politik dan penghinaan adalah lagu, suara, teriakan yang mengandung unsur SARA, pesan politik dan penghinaan, termasuk namun tidak terbatas pada kata-kata yang menghina/mengancam suatu suku, agama, ras dan golongan”.
Jika itu terjadi, pertandingan bisa dihentikan. Dan dilanjutkan kembali jika sudah berhenti. Bagaimana prosedur penghentian pertandingan? Di edaran ini disebutkan; “Pengawas pertandingan (match coordinator) adalah satu-satunya pihak yang berwenang untuk memberikan notifikasi atas hal tersebut yang kemudian disampaikan ke wasit cadangan (fourth official). Selanjutnya wasit cadangan meneruskan informasi tersebut ke wasit (referee) dan baru mengambil keputusan pertandingan dihentikan.”
Masih dilanjut di edaran ini, wasit diberi toleransi tiga kali kesempatan untuk menghentikan pertandingan akibat urusan rasis ini. Jika lebh dari itu, wasit berhak menghentikan permanen, pertandingan dianggap selesai dan statusnya diserahkan ke PSSI.
So, mari kita tafsiri soal chant Pak Polisi yang jadi sumber perdebatan kemarin. Disebut SARA sudah pasti sama sekali tidak. Pesan politik juga bukan. Penghinaan? Apa iya, pak Polisi terhina dengan chant tersebut. Tergantung, sudut pandang mana yang dipakai. Satu sisi, konten yang disampaikan rasanya baik-baik saja. Bukankah Pak Polisi memang tugasnya mengayomi? Tetapi, di sisi lain, bila dikaitkan dengan keberadaan tim Bhayangkara FC yang bertanding, tafsirnya menjadi lain.
Wes emboh! Gak bakal ada akhir dari adu tafsir ini. Dan, pada akhirnya wasit yang berkuasa. Ruang subyektif yang diberikan begitu besar. Rasis atau tidak, tergantung di ujung mulutnya. Cukup satu tiupan mengakhiri semua perdebatan. Tak ada yang kuasa menolak.
Sayang, kewenangan ini hanya dibatasi 90 menit. Jika tidak, mungkin wasit Faulur Rosy bisa dimintai tolong, memberi tafsir antara hubungan kegagalan Timnas PSSI di Piala AFF dengan Wartawan Harus Baik. Nyambungnya dimana?
Wartawan Harus Baik …..
Wartawan Harus Baik ….
*) Alexi, Bonek, Persebayaholic