Musim 2018 akan segera berakhir. Semua klub peserta Liga 1 mulai memasang kuda-kuda, menjaga pemainnya atau berburu di bursa transfer. Hal itu bukan saja rutinitas klub peserta, kasak-kusuk tim promosi pun juga bergerak cepat.
Salah satu peserta Liga 1 yang di-“sibuk”-kan suporternya adalah Persebaya . Klub juara Liga 2 musim 2017 ini memiliki banyak talenta lokal hasil kompetisi internalnya, dan sebagian dari mereka, membawa Persebaya musim 2018 liga 1 di papan atas.
Dari geliat ini, timeline linimasa akun-akun Bonek mulai meletupkan kembali histeria nama-nama mantan pemainnya seperti Andik Vermansah, Evan Dimas, dan Hansamu Yama. Digelar semacam “gerakan” bersama untuk mendorong Persebaya agar memulangkan tiga pemain alumni internal yang lama “merantau” itu. “Setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya” tak berlaku dalam kungkungan histeria sebagian Bonek ini. Bukankah besutan internal saat ini tak kalah dengan seniornya, bukankah “proses” harus menempati poros yang obyektif, tak bisa dalam tolok ukur kemutlakan orang per orang, sebab, sepak bola adalah tim.
Jika Hansamu mengatakan latar belakangnya adalah Bonek, Andik jujur ingin ke Persebaya, pun demikian Evan Dimas, maka apakah Rachmat Irianto bukan Bonek, Misbakus juga jujur sebagaimana perkataan di iklan motor yang dibintanginya, Oktafianus yg menunjukan “ngeyel” khasnya, Fandi Eko Utomo yang membuktikan kelasnya, artinya, ini hanya persoalan kesempatan saja, persis dengan Syaifuddin yang setara dengan Aburizal “Rodeg”.
Apapun itu, semua bergantung pada pelatih. Sebab, baik buruknya kelak pelatih akan menjadi sansak hidup jika melakukan belanja yang mubazir seperti pelatih dan kebijakan Persebaya sebelumnya.
Tim yang besar tak boleh kalah oleh nama orang per orang. Memberikan keyakinan dan kepercayaan pada pemain internal yang ada itu akan menyatukan hati dan harapan kita bersama. Romantisme berlebihan hanya memaksa kita melihat ke belakang, tanpa lagi melihat ke depan, sebagaimana the show must go on.