Zaki, Potret Bonek, dan Fanatisme Sepak Bola

Foto: Joko Kristiono/EJ
Iklan

Jumat sore itu, 3 Februari 2017, Surabaya sedang diguyur hujan yang amat deras. Di berbagai titik jalan bahkan lumpuh total karena banjir dan macet. Sepulang mengajar kuliah sore itu, saya melaju cepat dengan motor saya ke terminal Purabaya Bungurasih. Saya berencana pulang kampung untuk bertemu anak dan istri. Medan terasa amat berat. Rasa lelah setelah bekerja seharian berpadu-padan dengan hujan deras, banjir, dan macet. Kombinasi yang sempurna untuk mengeluh atau bahkan mengumpat.

Puncaknya, saya benar-benar terjebak banjir di sepanjang Jalan Ciliwung. Cukup tinggi, kisaran 40-45 cm. Tidak ada kesempatan untuk berbalik arah karena padatnya kendaraan bermotor di depan maupun di belakang saya. Tidak ada pilihan lain kecuali turun dan mendorong. Saya hampir menyerah karena kelelahan, hingga akhirnya menemukan tempat menepi di sebuah klinik dekat Rumah Sakit RKZ. Setelah berteduh, hujanpun reda. Saya berniat kembali melanjutkan perjalanan. Celakanya, motor tidak dapat saya hidupkan. Air banjir rupanya masuk ke knalpot dan mesin. Tak ada bantuan. Semua orang disibukkan dengan kendaraannya yang juga mogok. Pada titik ini, kelelahan telah membaur sempurna dengan rasa kesal di hati saya.

Setelah dua jam menunggu, tiba-tiba seorang pemuda yang mengenakan kaos hitam dengan motif kombinasi warna hijau lewat dan menghampiri saya. Usai berbincang sejenak, ia membantu saya mengangkat motor secara vertikal. Iya, vertikal ke atas untuk mengeluarkan air dari knalpot. Ia mencopot filter pada mesin dan meminta saya menunggu. Tak berapa lama, motor berhasil hidup. Sungguh saya sangat lega. Saya bertanya pada Zaki, nama pemuda itu, “Mas, piye caraku lik meh mbales sampeyan?”. Sambil mempersilahkan saya pergi, ia menjawab, “Santai ae, Mas. Aku Bonek Demak”.

Jawaban Zaki kontan membuat saya terkejut. Di sepanjang perjalanan pulang, saya merefleksikan kembali eksistensi Bonek dan Persebaya. Sangat kentara bahwa kalimat “Aku Bonek Demak” yang diucapkan Zaki di akhir pertemuan kami tidak semata bertujuan untuk memperkenalkan identitas personalnya. Zaki sedang mengirimkan sinyal kuat bahwa Bonek yang dikenal masyarakat adalah bonek yang kini telah jauh dewasa. Zaki seakan ingin menghapus total stigma yang selama ini memandang Bonek berkorelasi dengan keributan atau hal negatif. Sore itu, Bonek justru muncul sebagai pemberi harapan! Identitas Bonek Zaki memberikan saya energi untuk melanjutkan perjalanan yang tertunda.

Iklan

Melalui Zaki, jargon “Persebaya is Back” pun menjadi dapat dimaknai lebih dalam lagi. Tidak hanya sekedar bahwa klub Persebaya telah kembali ke dalam persepakbolaan tanah air. Tetapi juga bahwa Persebaya dan Bonek telah mereformasi identitas sosialnya menjadi semakin positif. Menurut saya, ini bukan hanya semata berbicara tentang eksistensi sebuah klub. Ini berbicara tentang Persebaya dan Bonek sebagai identitas Kota Surabaya.

Menempatkan satu orang Zaki sebagai representasi Bonek secara keseluruhan tentu tidak representatif. Kendati demikian, adalah sah untuk menjadikan Zaki sebagai cermin fanatisme yang kuat dalam wajah sepak bola kita. Narasi-narasi keperilakuan Zaki tidak lagi dapat dijelaskan dengan logika transaksional untung-rugi. Ia menolong sesederhana karena ia Bonek. Barangkali baginya, Bonek adalah jaminan ciri untuk saling membantu. Bonek adalah solidaritas. Sebuah pesan kuat untuk menggambarkan caranya dalam mendukung Persebaya yang ia cintai.

Pemaknaan Zaki yang non-transaksional terhadap identitasnya adalah bentuk kesejatian dari sebuah fanatisme. Dennis Bergkamp, legenda Arsenal, konon pernah berkata, “Jika anda tidak mendukung Arsenal saat kalah, tidak perlu mendukung pula saat Arsenal menang!”. Atau dalam versi yang lebih indijenus a la Bonek, “Kalah kudukung, menang kusanjung”. Ini jelas level fanatisme sejati tidak dapat dikelola dengan logika pasar. Semoga Zaki adalah cermin bagaimana Bonek akan mencintai Persebaya apapun kondisinya. Termasuk tekad untuk tetap menjaga citra baik Persebaya, di saat klub menang ataupun kalah.

Jika ditarik meluas, Zaki adalah representasi bagaimana suporter sepak bola dapat memiliki dampak di luar lapangan untuk masyarakat secara konkret. Ketulusannya membantu masyarakat pendatang menjadi penanda bahwa fanatisme radikal tidak harus diterjemahkan dengan bersikap eksklusif. Ia melebur bersama dengan masyarakat tanpa kehilangan identitas sebagai suporter fanatik. Di dalam stadion ia adalah milik Persebaya. Di luar stadion, ia melebur bersama warga. Babak baru sepakbola nasional telah dimulai kembali. Zaki menjadi pengingat bahwa pembenahan tidak hanya menjadi pekerjaan rumah PSSI dan para klub yang berkompetisi, tetapi juga untuk para suporter sepakbola.

Zaki adalah potret ideal fanatisme suporter sepakbola. Mari kita semua memberi restu terbaik, agar muncul Zaki-Zaki yang lain dalam setiap komunitas suporter klub manapun di Indonesia. Sepak bola kita akan semakin maju berkat ekosistem yang sehat. Termasuk di dalamnya adalah suporter yang rahmatan lil alamin. Suporter yang menjadi rahmat untuk seluruh makhluk.

*) Jony Eko Yulianto, Psikolog Sosial

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display