Sepak bola di era industri untung dan rugi untuk pemasukan tim adalah sebuah kewajiban yang harus dihitung untuk mengarungi kompetisi. Dapat kita ketahui, sepak bola Indonesia dengan jadwal yang rancu dan kompetisi yang tidak jelas juga mempengaruhi pihak sponsor untuk masuk ke dalam sebuah tim. Seperti kata Presiden Persebaya, Azrul Ananda di youtube @officialpersebaya “Apakah sepak bola Indonesia merupakan sebuah bisnis? Maka bisa dibilang ini sebagai bisnisnya orang gila”.
Kita ingat pada tahun 2006, skandal Calciopoli menimpa tim raksasa dari Italia salah satunya Juventus yang sampai trofi scudetto 2 tahun berturut-turut dicabut. Sudut pandang penulis, ini adalah di era setelah calciopoli menimpa Juventus, bagaimana tim yang berjuluk bianconeri itu membenahi sistem manajemen agar bisa menjadi tim yang sehat setelah era pengaturan skor tersebut.
Kala itu juga banyak kritikan yang tajam terhadap keberadaan stadion Delle Alpi yang dianggap jarak antara tribun dengan lapangan terlalu jauh. Keluarga Agnelli dengan berani fokus membenahi Infrstruktur untuk kesehatan keuangan di era sepak bola modern dan mengorbankan perihal perekrutan pemain.
Setelah kembali promosi ke Serie B, bisa dilihat proses bursa transfer yang dilakukan oleh manajemen Juventus kala itu memanggil kembali pemain yang dulu pernah berseragam putih hitam. Salah satunya Criscito serta memaksimalkan potensi pemain muda Marchisio, Cheilini serta Giovinco dan juga merekrut pemain yang bisa dibilang grade 2 dari pemain top Eropa lainnya.
Sampai pada akhirnya, tahun 2011 Juventus resmi menjadi klub satu-satunya yang mempunyai stadion di Italia dan bisa menyehatkan keuangan klub serta memberi keuntungan banyak. Sehingga saat ini bisa merekrut Cristiano Ronaldo.
Apa hubungannya analogi di atas dengan kondisi Persebaya saat ini?
Akun Instagram @officialpersebaya memosting coach Djanur dan coach Rudy Eka yang berada di Training Ground klub Deportivo Alaves terucap obrolan kedua pelatih berharap lapangan latihan di Sidoarjo cepat kelar dan terealisasi.
Mungkin itu sebuah jawaban secara tersirat oleh manajemen bagaimana tim ini bekerja tanpa gembar-gembor dan tanpa sensasi. Tapi melakukan satu langkah maju dengan memikirkan kesehatan dan kestabilan pemasukaan serta pengeluaran tim yang kebanyakan tidak dipikirkan oleh tim-tim lain di Indonesia. Salah satu caranya yaitu berinvestasi dengan pembangunan infrasturuktur kebutuhan tim yang paling mendesak yaitu Training Ground.
Dapat kita lihat fasilitas yang didapat oleh pemain serta official yang terlibat di dalam tim, tempat tinggal mess di sediakan di apartemen. Dan itu membutuhkan biaya sewa. Serta lapangan latihan setiap harinya berpindah-pindah juga dengan biaya sewa. Akan tetapi dengan apa yang dikatakan oleh coach Rudi bisa menjadi sebuah jawaban kerja nyata dan keseriusan manajemen Persebaya untuk mengelola untuk masa depan bukan hanya satu dua tahun.
Banyak keuntungan yang bisa didapatkan Persebaya kalau misalkan training ground tersebut sudah terealisasi, bisa mem-branding dengan pihak ketiga seperti yang dilakukan Juventus terhadap Juventus Stadium yang berubah nama menjadi Allianz Stadium. Selain itu juga memangkas uang operasional yang selama ini di gunakan untuk menyewa lapangan latihan serta apartemen.
Mungkin banyak yang belum tahu Persebaya mendahului Juventus untuk open store di luar kota. Pada bulan September 2018, Juventus melakukan opening Store di Kota Roma yang merupakan kota dari klub besar AS Roma serta Lazio. Menurut penulis, Persebaya sudah berada di tangan yang tepat untuk bermimpi menjadi tim yang profesional. Terlepas dari isu-isu kemarin yang sempat mencuat di linimasa dan media massa. Siapa tahu 3 atau 5 tahun ke depan persepakbolaan Indonesia sudah sehat dan Persebaya bisa membuat roadmap yang lebih matang dan pastinya bisa meniru Juventus yang bisa membeli pemain bintang setelah semuanya sudah tertata dengan rapi.
Salam Satu Nyali! WANI!