Ratu Tisha, sekjen PSSI, pernah mengatakan bahwa semangat turnamen Piala Indonesia adalah menggairahkan sepak bola daerah, bagaimana tidak, turnamen pramusim ini melebur segala level kompetisi bertarung dalam satu turnamen.
Ada benarnya apa yang dikata lajang asal Jakarta ini. Prinsip dari perebutan piala ini sebagai tempat “latihan” bagi klub-klub Liga 3 dan Liga 2, serta bukan berarti Liga 3 dan 2 akan menjadi lumbung atau pesakitan oleh peserta asal Liga 1. Terbukti Persipura harus terhenti oleh Persidago Gorontalo yang notabene peserta Liga 3.
Sepak bola tidak melulu tentang kalah dan menang, namun ia mampu menjadi hiburan segar. Tidak sedikit pula sepak bola menjadi simbol identitas primordial yang menyeret fanatisme buta hingga mempertaruhkan nyawa adalah hal biasa. Padahal, frasa klise “hiburan rakyat” terpampang di mata publik sebagai hiburan.
Saya harus sepakat bahwa sepak bola adalah hiburan rakyat dalam koridor Persebaya di perjalanan Piala Indonesia. Persebaya, raksasa sepak bola nasional ini hadir sebagai penghibur klub-klub yang akan berlaga dengannya. Bagaimana publik Blitar, Sumbawa, Ngawi, dan Gorontalo dapat melihat hiburan itu.
Persebaya vs Persidago pada leg 1 membuktikan bahwa Bajol Ijo ini sebagai “pendidik” dan “penghibur”. Kejadian pitch invasion di Gorontalo bukan sebagai intimidasi atau kekerasan pada Persebaya yang menggilas Persidago, melainkan suporter Gorontalo ingin sekedar selfie atau nleser tipis-tipis jersey pemain Persebaya.
Artinya jelas. Persebaya dirindukan banyak orang. Dinantikan banyak orang untuk melihat langsung sebuah klub yang pernah dihidupkan oleh Boneknya, dan sebuah klub yang memiliki sejarah serta segudang prestasi. Persebaya menghibur masyarakat sepak bola nasional, maka, Persebaya adalah jaminan mutu yang lengkap dalam segala aspek, mulai bisnis, suporter, dan tim yang baik, menjadikan kerinduan pemain dan penonton yang berhadapan dengan Persebaya sebagai media belajar dan hiburan. (*)