Persebaya dan Bonek, Kala Loyalitas Tanpa Batas Bukan Hanya di Atas Kertas

Banner bonek dari Gate 21 di GBT (16/2)/Foto : Minions for EJ
Iklan

Berbicara tentang Surabaya, pasti tidak terlepas dari kisah perjuangan Arek-Arek Suroboyo pada masa kolonial Belanda. Namun, ada kisah lain yang tak kalah menarik untuk disimak ketika mendengar nama Surabaya; Persebaya dan Bonek. Ya, Persebaya dan Bonek sudah menjadi bagian dari sejarah dan kisah abadi Surabaya. Tidak dapat dipisahkan, ditambah, ataupun dikurangi. Pas dan serasi.

Persebaya adalah sebuah klub kebanggan Arek Suroboyo, yang berdiri pada 1927. Dan Bonek, atau yang bisa disebut dengan bondo nekat, memiliki arti bahwa bondo dalam bahasa Jawa adalah sebuah aset, sumber daya, modal, ataupun barang yang digunakan sebagai bekal. Sedangkan nekat sendiri memiliki arti kemauan kuat, terlalu berani, tidak mau menyerah, dan ngotot. Dua perpaduan kata yang cukup bagi siapapun untuk menggambarkan secara utuh bagaimana wajah supporter dengan nenek moyang pejuang yang luar biasa ini.

Sesuai namanya, kenekatan menjadi sebuah hal yang benar-benar tidak bisa dipisahkan dari Bonek, suporter Persebaya. Mulai dari nekat pergi mendukung Persebaya ke daerah lain, tanpa memikirkan resiko apa yang akan mereka hadapi, dengan apa mereka pergi, berapa uang di dalam saku kantong, bahkan makan apa mereka di sana. Bahkan nekat melawan ketidakadilan para penguasa yang, bagi saya, cukup sering menerpa Persebaya. Bahkan sampai merebut kebahagiaan utama dan tugas pokok dari sebuah kelompok suporter; bernyanyi serta bergembira di atas tribun.

Perlu diingat kembali, ataupun saya beritahu jika memang anda belum tahu, Persebaya pernah mati suri. Hal ini terjadi pada 2010, di mana Persebaya bertemu dengan Persik Kediri dalam lanjutan liga. Persebaya kala itu hanya butuh hasil seri agar dapat bertahan di kasta teratas melalui babak play-off. Sedangkan Persik Kediri butuh kemenangan lebih dari 5 gol agar dapat bertahan, sebuah kesempatan yang maaf menurut saya cukup mustahil. Dan yang perlu anda ketahui, ada Pelita Jaya klub milik keluarga Bakrie yang menanti hasil dari pertandingan ini. Kekalahan Persebaya dengan skor berapapun akan membuat klub milik Bakrie ini bertahan.

Iklan

Ribuan Bonek tak butuh waktu lama dan pikir panjang untuk segera menuju Kediri. Tanpa ada pemberitahuan, pertandingan mendadak dibatalkan. Panpel tidak mendapatkan izin keamanan dari Kepolisian. Mendengar kabar itu, di rumah saya begitu bahagia, karena saya tahu regulasi liga Indonesia menyatakan kegagalan menggelar laga kandang berimplikasi pada sanksi terhadap tuan rumah, yang secara otomatis akan memberikan kemenangan bagi tim tamu dengan skor 0-3. Hal ini pun juga dialami Persija yang gagal menggelar laga melawan Persiwa.

Kebahagiaan saya saat itu langsung terhenti, ketika mengetahui bahwa PSSI tidak memberikan kemenangan otomatis kepada Persebaya dan memberikan kesempatan Persik untuk menjadwal ulang pertandingan. Hal tersebut bahkan terjadi hingga 2 kali. Yang bahkan pada kesempatan terakhir Persebaya merasa lelah dan dizolimi, sehingga tidak mau hadir. Dan yang terjadi, Persik menang WO dengan skor 3-0. Cukup lucu dan membuat saya ingin menangis sekaligus tertawa terbahak-bahak.

Persebaya akhirnya melawan, dan memilih untuk menyebrang ke Liga Primer Indonesia bersama Arema Indonesia, Persibo Bojonegoro, Semen Padang, PSM Makassar, dan Persema Malang. Dan dengan terang-terangan, Ketum PSSI saat itu Nurdin Halid merestui replikasi dari Persebaya bentukan Wisnu Wardana. Namun LPI tidak bertahan lama, FIFA mengamanatkan untuk dilakukan rekonsiliasi dan LPI dihentikan di tengah jalan. PSSI memberikan kesempatan beberapa klub LPI untuk melakukan play-off agar memperoleh tempat di Liga baru. Terkecuali Persebaya, Arema, Persema, dan Persibo. Entah apa yang membuat keempat klub ini tidak diikutsertakan.

Sejak saat itu Persebaya berhenti bergerak. Menjadi tim antah-berantah yang tidak mengikuti kompetisi apapun. Sejak itu pula Bonek mulai mengosongkan tribun satu per satu, melipat syal, dan kostum kebanggan, menyimpan lagu-lagu pembakar semangat, mengikuti ke-mati suri-an klub kebanggan kami.

Dipaksa berhenti melakukan tugas di tribun, membuat Bonek mengambil syal dan kostum kebanggaan untuk melakukan konsolidasi dan bergerak di jalanan. Melambungkan berbagai macam aksi protes terhadap ketidak adilan, di dalam dan di luar negeri. Bahkan beberapa Bonek membentangkan spanduk berisi kata Save Persebaya 1927 di laga final Liga Champions yang mempertemukan Bayern Munich melawan Borrusia Dortmund pada 25 Mei 2013.

Yang membanggakan, aksi-aksi jalanan Bonek cukup kontradiktif dengan citra mereka sebagai suporter yang tak bisa diatur dan selalu membuat kerusuhan. Aksi ribuan massa di Surabaya dan Jakarta bahkan berlangsung damai dan bersih dari potensi kerusuhan. Bahkan Andie Peci, sempat heran dan berkata bahwa Bonek cukup memahami arti dari memperjuangkan aspirasi dengan kekerasan, akan merusak perjuangan itu sendiri.

Aksi-aksi yang berlangsung selama beberapa tahun menurut saya bahkan sedikit banyak mengubah perilaku dan citra Bonek. Dari yang katanya biang kerusuhan, menjadi sebuah kelompok suporter yang tidak menyentuh sedikit pun tanaman hias yang menjadi ciri cantiknya Kota Surabaya ketika menggelar aksi dengan ribuan massa.  Cukup keren untuk supporter dengan citra beringas ini bukan? Hehe.

Dari beberapa artikel yang pernah saya baca, banyak sekali suporter lain yang meremehkan aksi bela Persebaya ini. Banyak dari mereka mengungkapkan bahwa aksi ini tak akan bertahan lama. Tak tanggung-tanggung, Bonek membuktikan keraguan mereka dengan konsisten menggelar aksi hingga kurang lebih 5 tahun lamanya.

Bahkan saya pernah menemukan satu artikel dalam sebuah website mengutip pernyataan dari seorang suporter PSIS Semarang yang sekaligus menjadi salah satu pendiri Forum Diskusi Sepak Bola Indonesia. Beliau berkata “Kalau belum bisa seperti Bonek, lebih baik tidak usah sok-sok an melawan PSSI, daripada klub kita diperlakukan seperti Persebaya.” Perjuangan bertahun-tahun Bonek ini bahkan memberikan dampak yang cukup baik ketika Bonek mendapat dukungan dari suporter lain. Bahkan suporter yang bersebrangan paham dengan Bonek sekalipun.

Maka dari itu, ketika ada orang yang menyebut dirinya Bonek, maka ia juga harus menanggung betapa besar resiko dan tugasnya. Menjadi Bonek itu berat, tidak mudah, dan tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Pun juga ketika banyak suporter rival yang menyebut Bonek sebagai maling gorengan, gembel, dan apapun itu. Memang hal itu masih menjadi permasalahan dalam lingkup nama besar Bonek, toh bagaimanapun Bonek berjalan tanpa adanya pemimpin, tanpa struktur organisasi yang jelas namun selalu berjalan di bawah payung yang sama, dan kebanggaan yang sama, Persebaya.

Biarlah para gembel dengan tiket untuk sekali menonton pertandingan home berharga 50 ribu rupiah ini berubah. Biarlah gembel dengan harga jersey 750 ribu yang selalu sold out di outlet resmi ini berubah. Apapun yang mereka katakan tentang Bonek tidak masalah, toh mereka tidak akan mampu menjadi Bonek dengan segala keloyalitasan tanpa batasan ini.

Begitupun saya, yang masih belum juga merasa pantas menyandang nama Bonek dengan segala perjuangannya dalam diri saya. Tapi ini hanya masalah waktu, sebagai arek Suroboyo asli, saya akan menjadi Bonek dan berjuang lewat jalan ini, mengenalkan Persebaya, Bonek, dan loyalitas tanpa batas melalui sebuah tulisan. Menjadi Bonek itu berat bung, sam, cak, mas, kakak, abang, anda tidak akan kuat. Cukup kagumi mereka dari lubuk hati terdalam anda. Salam damai dari Surabaya.

SALAM SATU NYALI, WANI!

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display