Bonek Bukan Maling Gorengan

Foto: Joko Kristiono/EJ
Iklan

Kalimat “hina” ini ditinjau dari sudut pandang apapun tidak ada indah-indahnya dan tak ada pula nilai yang terkandung di dalamnya. Namun dengan segala resiko terburuk, saya harus siap dengan segala konsekuensinya ketika saya harus out of the box dari tren “gila” semacam ini.

Bukan tidak mungkin saya akan dicibir kawan-kawan pelapak yang sandang pangan bergantung dari purchase dengan momentum seperti ini. Ribuan pesanan telah siap COD dan delivery lainnya, telah menjadi tren di kalangan Bonek, terus tiba-tiba saya menyempal dari tren itu. Namun bukan kali pertama ini saya, anda, dan kita semua harus tetap menjadi “terhormat” sebagai Bonek dengan tidak ikut euforia dengan sebutan memalukan itu. Dan, saya berhak untuk berpendapat.

BACA:  Sebuah Refleksi Untuk "Kita Persebaya"

Sebagai suporter klub legendaris dan profesional, saya berhak menjaga nama besarnya dengan terus berupaya mendukung sederek yang berupaya serupa, namun tidak bagi siapapun yang men-downgrade-kan dengan sebutan itu, siapapun dia, termasuk Presiden Klub sekalipun.

Bonek, sebutan yang gahar cetar membahana harus pada kekokohan sebagaimana militansi mereka yang tiada bandingnya di dunia. PR terbesar tentang bagaimana meminimilasir korban estafet, maupun estafet yang cenderung kriminal, bayang-bayang maling gorengan terus menyayat hati.

Iklan
BACA:  Saatnya Persebaya Merangsek ke Papan Atas

Kata Pak Ndul Wagu Weton, “kita harus menaikkan pikiran agar bisa membaca suatu makna”. Candaan ala Pak Ndul saja bisa menentukan sesuatu yang tersirat dan tersurat, persis dengan bagaimana kita menerjemahkan maling gorengan, sedang naik atau turun kah pikiran kita?

Persebaya-lah yang harus menjadi kebanggaan utama, menjadi wahana menyatukan kita bersama bersatu sebagai Bonek yang elegan, berkarakter, wani, dan juga kreatif. Bukan sebagai Maling Gorengan!

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display