Sekiranya istilah maling gorengan muncul ketika Bonek yang melaksanakan awaydays nan bersamaan dengan pemberitaan negatif tentang Bonek. Tidak naif, memang begitulah kami. Bonek, suporter Persebaya, yang diakui maupun tidak adalah barometer suporter sepak bola pertama dan terbesar di Indonesia. Namun, apakah kami bangga? Bisa iya, mungkin saja tidak. Sebagaimana maling gorengan yang ditujukan kepada kami, bisa marah, mungkin saja kami banyak tertawanya, ha ha ha.
Gaung istilah tersebut justru muncul dari yang mengaku-ngaku sebagai rival Bonek, yang menumpang nama besar Bonek sebagai episentrum suporter sepak bola. Bukan bermaksud su’udzon, namun maling gorengan itu muncul tak lain adalah untuk membunuh karakter Bonek. Tapi nyatanya? Secara kualitas kami berubah walaupun secara kuantitas masih ada satu dua yang belum menemukan cara untuk berubah. Sudahlah, kebaikan-kebaikan Bonek hanya Tuhan yang tahu, malaikat Rokib yang mencatatnya. Soal keburukan Bonek, biarkan saja mereka yang membantu tugas malaikat Atid.
Yang akan kita rembug di platform ini adalah maling gorengan yang hinggap dalam perjalanan panjang Bonek. Istilah, atau tepatnya penulis menyebutkannya sebagai ‘jargon penyemangat’. Kok jargon penyemangat? Bukannya Salam Satu Nyali Wani? Oh tidak. Bukan maksud penulis untuk menyetarakan kelas dari Salam Satu Nyali Wani dan maling gorengan, tentu sangat tidak relevan, bukan kelasnya. Karena maling gorengan adalah hanyalah salah satu kategori dari taboo, slang or register words yang toh nantinya akan lenyap termakan zaman seperti yang sudah-sudah.
Maksud penulis adalah bagaimana maling gorengan ini menjadi ‘jargon penyemangat’ bagi Bonek untuk tidak kehilangan gairah dalam meneliti ke dalam dirinya sendiri. Diperjelasnya, maling gorengan adalah alat untuk intropeksi terhadap kekurangan-kekurangan yang masih menggunung. Seperti yang sedang kita lakukan, jika memakai bahasa diplomasi yakni dengan memberikan perlawanan secara cantik. Dengan cara apa? Menggali kelemahan-kelemahan Bonek untuk dijadikan pembelajaran yang harus dibenahi, sekaligus cukup menertawakan mereka.
Membicarakan reaksi, penulis amati Bonek sudah semakin dewasa, meskipun hanya sekadar urusan sebutan maling gorengan. Kenyataan di lapangan, quality of Bonek mengalami peningkatan, di sisi lain mereka yang ‘mengolok-olok’ itu justru mengalami penurunan gila-gilaan. Membawa maling gorengan yang diaplikasikan ke kaos maupun spanduk, kemudian dibawa ketika mendukung Persebaya adalah bentuk kampanye, bentuk edukasi. Edukasi ke dalamnya, “Lerenono laku sing elek-elek yo rek.” Kampanye keluarnya, “Sing nggenah loh, yo lek ngomong. Ojok angger njeplak.”
Apakah lantas dengan reaksi-reaksi seperti itu dapat disimpulkan meng- aamiin -i kemaling-gorengannya Bonek? Sepertinya kok tidak. Justru menjadi tamparan, membuahkan nilai-nilai baru Bonek yang menggebrak paradigma pikiran mereka. Ya, apa ada sih maling gorengan yang tinggi sensitivitas sosialnya. Punya program peduli bencana, harus susah-susah sambang deso untuk menanamkan nilai-nilai edukasi ke anak-anak generasi penerus, banyak lagi lah. Bisa membangun panti asuhan sendiri lagi, apa ini riya’? Tidak. Ini ‘perlawanan’ cantik, membuat “menengo cangkemu” tidak lagi diungkapkan dengan kata-kata, namun dilaksanakan dengan laku yang membuat mereka bungkam.
Ini tentang bukan atau tidaknya Bonek sebagai maling gorengan. Tetapi ini soal ketepatan penyikapan, ihwal kepresisian reaksi. Ini bab apa, siapa, kapan, bagaimana dan dimana kita meletakkan maling gorengan itu dalam pikiran kita untuk diramu menjadi sebuah kebaikan dan kemanfaatan, ‘kan?
Bonek besar bukan karena hinaan atau pujian, Bonek tidak akan tereduksi hanya dengan sekadar hinaan, pun tak akan besar kepala hanya karena pujian. Bonek besar karena bagaimana sikap kita semua ketika membawa Bonek secara identitas, bagaimana memanajemeni kebonekan diri kita semua secara personalitas. Bukankah esensi bonek adalah kata kerja? Bukankah yang membuat Bonek besar atau tidaknya adalah tingkah laku kita sendiri?
Sudahlah, biarkan maling gorengan menjadi kedinamikaan Bonek. Banyak hal urgent yang harus kita selesaikan. Tidak ada Bonek yang menjadi korban meninggal dunia dalam setiap Persebaya berlaga adalah urgensi yang harus dicari formula terbaiknya. Kalau meminjam statement Mas Sabrang. “Kita ini mencari apa yang benar kok, bukan siapa yang benar. Yang kita cari adalah kebenaran bersama, bukan kebenaran individu.”