Menjaga Asa Mewujudkan Kejayaan Persebaya

Foto: Joko Kristiono/EJ
Iklan

Sebagian besar manusia mempunyai cita-cita umur panjang dan tentu saja sehat. Tetapi tidak satupun yang secara pasti memberi target umur berapa akan hidup. Karena itu materi Illahi.

Untuk manusia usia 92 sudahlah sangat tua. Bahkan renta. Bisa jadi penuh dengan koleksi penyakit. Pikun, parkinson, pendegaran berkurang, makan hanya bisa bubur karena gigi habis. Bahkan hanya bisa berbaring lemah lunglai di kasur empuk yang dibelikan anak atau cucunya. Walaupun ada sebagian kecil yang di usia itu masih sangat sehat. Ada tapi tidak banyak.

Bagi yang sehat kegiatan pagi duduk menikmati sinar matahari hangat. Ditemani teh hangat tawar dan ubi rebus sambil membaca koran dengan kaca mata tergantung talinya. Atau bermain bersama cucu-cucunya yang menjadi penerus generasinya.

Persebaya sebuah klub sepakbola dengan sejarah panjang dan hebat akan memasuki usia 92 tahun. Sebagai salah satu pendiri PSSI usia 92 bukanlah sebagai klub yang renta dan sakit-sakitan. Sejak 2017 tim ini membangun semua lini untuk hidup sehat dan berjuang menjaga nama besar dan kebanggaannya

Iklan

Persebaya adalah perjuangan. Sama seperti Bonek. Bonek dengan kata kerja mbonek-nya adalah perjuangan itu sendiri. Bentuk perjuangan dan perlawanan para pendiri Persebaya terhadap kolonialisme sudah dimulai sebelum tim ini berdiri. Para pendiri tentu saja belum bernama bonek saat itu. Nyali dan keberanian menyuarakan kebenaran dan melawan ketidakadilan adalah nyawa dan ruh tersendiri.

Jika Bob Dylan, musisi besar bersuara dan melakukan protes perlawanan dengan tulisan lirik lagu dan musiknya. Persebaya dan Bonek melakukannya dengan membuat klub dan organisasi sepak bola yang saat itu banyak perkumpulan klub di Surabaya. Juga mempersatukan potensi yang ada antara SIVB dan SVB. Ego besar mereka tinggalkan untuk satu nama saat itu.

BACA:  Ajari Para Pemain Persebaya “Melawan” Ketidakadilan

Lirik-lirik lagu dari Bob Dylan sampai mengantarkannya meraih nobel dalam bidang Sastra. Tentu saja ini hebat. Bob Dylan lahir di Duluth, Minnesota, Amerika Serikat pada 24 Mei 1941. Pemilik nama lengkap Robert Allen Zimmerman ini adalah seorang seniman yang multitalenta. Dalam diri Persebaya dan Bonek juga ada banyak Bob Dylan dalam arti yang lain. Sebut saja ada H. Agil H Ali, Sunarto Sumoprawiro, Dahlan Iskan, Ruady Bahalwan, Mudayat, Jacksen F Tiago, Sugiantoro, dan sangat banyak yang lainnya. Dari bonek ada nama-nama Wastomi, Cak Kadir, Cak Grandong, Cak Joner, Cak Hasan, Cak Conk, Andie Peci, Evril Yudha, Oka Eka, Mahardika, dan masih jutaan Bob Dylan lain dalam diri bonek.

Isu-isu sosial, lirik yang religius, kalimat heroik sangatlah mudah ditemui dalam lirik lagu, banner di stadion, mural di tembok kota maupun menghiasi media sosial. Juga banyak tulisan-tulisan tajam di facebook, instagram ataupun twitter. Ada juga website komunitas tumbuh subur. Mereka semua juga pejuang dan berjuang untuk satu nama Persebaya dan kemanusiaan. Salah satu penggalan lirik dari lagu Bob Dylan sangat pas menggambarkannya.

Come writers and critics
Who prophesize with your pen
And keep your eyes wide
The chance won’t come again – (Bob Dylan)

Persebaya mempunyai anthem berjudul Song For Pride. Lirik di dalamnya sangat dalam. Bisa menembus relung hati yang menyanyikannya. Bentuk puja puji dan doa untuk Persebaya. Ada kerinduan, kecintaan, ada rasa memiliki, kebersamaan doa, dan harapan.

Saat ini… Kita…
Dipertemukan kembali…
Kutinggalkan… Semua…
Demi mengawalmu lagi…
Semangat kami… Tak kan…
Pernah lelah dan terhenti…
Berjuanglah… Engkau…
Demi kebanggaan kami…

92 tahun bukanlah waktu yang singkat. Ada sejarah panjang dan prestasi hebat. Pelajaran masa lalu bisa dipetik untuk membuat sejarah sendiri dari generasi saat ini dengan sejarah yang lebih hebat.

BACA:  “Perjudian” Sempurna Sang Presiden Persebaya

Jika Bob Dylan dan bonek menunjukkan bahwa seni menulis di berbagai media baik di tribun ataupun media sosial adalah media perlawanan dan kata-kata adalah senjatanya. Maka tidak ada salahnya Persebaya menunjukkan perjuangan dan perlawanan dalam bentuk lain di atas lapangan. Mainkanlah seni bermain bola yang tajam, kuat dan berkarakter. Kalahkanlah diri sendiri dulu sebelum mengalahkan lawan-lawanmu.

Jaman sudah berbeda. Apapun telah berubah. Peradaban akan terus berjalan dengan gagahnya. “Jika tidak berubah maka aku akan kalah,” kata Kotaro Minami. Usia boleh tua, berevolusilah dengan jaman. Impian, harapan, dan semangat haruslah tetap hidup bersemayam di hati.

Persebaya menjadi juara terakhir di level teratas terjadi 15 tahun silam. Ya, lima belas tahun! Seusia anak Sekolah Menengah Pertama. Bahkan salah satu pemainnya saat ini menjadi asisten pelatih di Persebaya. Sudah sangat lama kita semua merindukan juara.

Oka Eka menuliskan lirik lagu Emosi Jiwaku saat Persebaya masih salam masa kelam. Lirik ini menegaskan bahwa kita semua harua bersatu cita-cita untuk mendukung Persebaya dan mengejar juara.

“Di dalam stadion, Kita bersaudara
Satu cita dukung Persebaya
Semangat membara, bernyanyi bersama
Demi sebuah asa jadi juara”

Siapa yang akan menjaga asa dan mewujudkan mimpi tentang kejayaan Persebaya? Tidak ada lain adalah kita. Karena #KitaAdalahPersebaya. Bukan aku, kamu, atau kalian. Untuk Persebaya Selamanya.

Selamat ulang tahun 92EEN FORCE

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display