Eri Cahyadi dan Gembok-Gembok Dispora Surabaya

Foto: Joko Kristiono/EJ
Iklan

16 Mei 2019. Di bawah terik matahari Surabaya terasa begitu menyengat, langkah Eri Cahyadi terlihat cepat masuk ke dalam Wisma Persebaya. Dari lantai 1, dia langsung menuju lantai dua gedung yang menjadi saksi sejarah lahirnya banyak bintang timnas Indonesia tersebut.

Dari lantai dua, dengan wajah yang semeringah, Eri turun ke lantai 1. Dia lalu menemui wartawan. Di depan recorder dan kamera, kepala badan perencanaan pembangunan kota itu menjelaskan gonjang-ganjing Wisma Persebaya.

”Tidak ada penggembokan, tidak ada penyegelan,” kata Eri. ”Itu hanya miskomunikasi, saya jamin tidak ada pengosongan dan penggembokan. Anggap tidak ada masalah. Semuanya sudah selesai,” lanjutnya.

Edi Santoso yang ada di sebelah Eri manggut-manggut. Tanda setuju dan akan melaksanakan komitmen Eri. Tidak akan ada gembok menggembok dan pengosongan. Lapangan Persebaya bisa segera dipakai latihan pesepak bola muda Surabaya.

Iklan

Siapa Edi? Dia adalah kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Surabaya. Edi selama ini dikenal sebagai penguasa aset-aset olahraga yang ada di bawah pengelolaan Dispora. ”Hanya miskomunikasi,” kata Edi menimpali Eri.

***

Hari ini (9/7), hampir dua bulan berselang, gembok-gembok itu masih terpasang di Wisma Persebaya dan Lapangan Persebaya. Kompetisi internal Persebaya tidak bisa bermain di lapangan legendaris itu.

Dispora dengan sangat mudah akan beralibi bahwa lapangan Persebaya dan Wisma Persebaya sedang dalam perbaikan. Namun, sebulan lalu ketika perbaikan lapangan belum dilakukan, gembok-gembok Dispora membuat pesepak bola belia binaan Persebaya tidak bisa bermain.

Pada 22 Juni lalu, seharusnya putaran kedua kompetisi internal Persebaya dimulai. Saat itu, pemain muda dari Untag Rosita dan Indonesia Muda sudah bersiap di dalam wisma Persebaya. Pun demikian halnya dengan perangkat pertandingan.

BACA:  Antara Distribusi Tiket dan Berkumpul untuk Maksimalkan Energi Positif Bonek

Namun, karena pagar menuju lapangan digembok, batallah pertandingan itu. Sampai hari ini, nasib kompetisi internal belum jelas. Padahal, dari kompetisi itu lahir pesepak bola hebat Surabaya. Seperti Bejo Sugiantoro, Uston Nawawi, Anang Ma’ruf, hingga terkini ada Hansamu Yama, Evan Dimas, Oktafianus Fernando, dll.

Bahkan kini, tidak hanya kompetisi internal Persebaya yang akan menjadi korban gembok-gembok Dispora. Tim profesional Persebaya pun tengah khawatir. Bakal menjadi korban gembok Dispora.

”Gembok” untuk tim professional Persebaya itu berupa tarif sewa baru Gelora Bung Tomo yang mencapai Rp 444.632.000 per hari. Padahal, saat ini tarifnya hanya Rp 30.000.000 per hari. Naik mencapai 15 kali!

Persebaya bisa terusir dari Surabaya jika tarif sebesar itu dikenakan. Tidak akan kuat membayar.

Seperti halnya ketika Dispora menggembok wisma dan lapanganPersebaya, Eri Cahyadi menjadi sosok paling sibuk. Memberikan konfirmasi, di media mainstream serta sosial media pribadinya maupun milik pemkot, bahwa berita yang berkembang di masyarakat adalah miskomunikasi.

”Asumsinya pertandingan maksimal 3 jam. Jadi, tarifnya Rp 60 juta. Bisa jadi Cuma dihitung dua jam, jadi Rp 44 juta,” kata Eri sebagaimana dimuat dalam pemberitaan Jawa Pos edisi hari ini (9/7).

Eri menjelaskan, angka Rp 444.632.000 adalah nilai sewa 24 jam. Per jam hanya Rp 22 juta. Sehingga Persebaya bisa saja dikenai biaya sewa GBT Rp 44 juta, karena pertandingan sepak bola hanya 90 menit, tidak sampai dua jam.

BACA:  Tips Anti Kehabisan Tiket: Simpel dan Belum Banyak Digunakan

Namun, sulit menerima sepenuhnya hitung-hitungan dan penjelasan Eri itu. Rangkaian pertandingan sepak bola sangat panjang. Bisa lebih dari 24 jam, jika dihitung mulai loading perlengkapan pertandingan maupun siaran langsung.

Apalagi, dalam paragraf selanjutnya berita Jawa Pos tersebut, Kepala Dispora Afghani Wardhana menegaskan tidak ada yang tidak pas dengan raperda kenaikan biaya sewa itu. Besaran nilai sewa yang diajukan dalam raperda, termasuk, sewa GBT, sudah dinilai tim appraisal. Tidak mungkin ditarik.

Eri dikenal sebagai orang dekat walikota Tri Rismaharini. Bahkan, banyak yang menyebut dia disiapkan Bu Risma sebagai penerus untuk menjadi walikota pada pilwali 2020 nanti.

Kalau memang demikian, penggembokan Wisma dan Lapangan Persebaya, serta raperda biaya sewa GBT akan menjadi preseden buruk bagi Eri dalam upayanya menuju Surabaya 1. Dalam kasus Wisma Persebaya, jejak digital bahwa Eri tidak bisa memenuhi janjinya bisa terus dilihat publik. Pun demikian halnya dengan kasus sewa GBT, dia sudah menjadi bulan-bulanan warganet di akun instagramnya.

Persebaya, sebagaimana komitmen Presiden Klub Azrul Ananda yang tidak akan maju dalam pilwali, seharusnya tidak menjadi tunggangan siapa pun. Dalam Pilwali Surabaya 2020. Namun, mau bagaimana lagi, arah ke sana sudah sangat terasa.

Semoga Bonek-Bonita bijak menyikapinya. Jauhkan Persebaya dari politik praktis. (Alexi)

*) Tulisan di EJ Sharing merupakan opini pribadi dari penulis. EJ tidak bertanggung jawab atas isi dari tulisan ini.

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display