EJ – Sang Magician, Damian Lizio, harus tergerus dengan zaman. Punya kemampuan individu mumpuni tapi tak bisa berbuat banyak dalam tim. Ditambah faktor usia, bukti era Trequartista (dan Lizio) memang benar-benar usai?
Tak ada yang meragukan kemampuan individu Lizio. Ia pandai melewati pemain, memiliki kemampuan dribel yang aduhai, pandai “menipu” lawan dengan gerakan scissors move (menggunting), fake kick (pura-pura menendang) atau nutmeg move (kolong).
Gaya bermainnya mengandalkan dribel penuh tipuan itu hampir sama seperti para seniornya di River Plate semacam Ariel Ortega atau Pablo Aimar.
Maka tak ada yang salah ketika di awal kedatangannya di Persebaya, Lizio kerap dipanggil sebagai Magician. Ajaib. Sebutan itu hampir sama dengan Pablo Aimar yang dijuluki El Mago alias Sang Penyihir.
Lizio tampak semakin menjanjikan setelah mampu memberikan kesan apik di laga debut. Melawan Persidago Gorontalo di ajang Piala Indonesia ia menciptakan satu gol dengan cara mengecoh kiper dan memberikan umpan “ajaib” kepada Manuchekhr Dzhalilov melewati tiga bek lawan.
Tapi, penampilan menjanjikan itu hanya tampak di awal musim. Seiring waktu Lizio juga semakin menunjukkan sifat aslinya. Ia tak disiplin menjalankan taktik, malas untuk turun mencari bola ke lapangan tengah, dan kadang terlampau emosi dalam kondisi tertekan.
Trequartista?
Istilah trequartista muncul dari Italia yang berarti “tiga perempat”. Dalam sepak bola istilah itu merujuk kepada pemain yang hanya beroperasi di ¾ akhir lapangan.
Bergerak natural diantara bek dan pemain tengah lawan, pemain dengan peran trequartista benar-benar memiliki kebebasan untuk bergerak di sepertiga akhir (final third).
Ia menjadi otak serangan ketika menerima umpan dari lini tengah, kemudian mengolahnya dengan melakukan dribel atau passing. Tujuannya adalah untuk menciptakan peluang baik untuk kawan dan untuk dirinya sendiri.
Mengambil perumpamaan dari salah satu pundit sepak bola Jonathan Wilson, ia menganggap peran trequartista (atau Classic Number 10) sebagai “seniman penuh teka-teki yang terus menghasilkan momen jenius individu dan selalu mampu bermain konsisten dalam tim”.
Tapi, pemain dengan peran ini pergerakannya pun hanya sebatas di ¾ lapangan. Ia tidak akan bergerak turun jauh ke lini tengah. Bahkan, ia memiliki kecenderungan (walaupun tidak semuanya) menjadi malas dan “berleha-leha” ketika bola masih berada di lini tengah.
Di era 90an dan awal 2000an pemain-pemain asal Italia seperti Roberto Baggio, Alessandro Del Piero atau Francesco Totti merupakan aktor nyata yang bisa menjalankan peran tersebut.
Selain itu ada juga pemain luar Italia lain seperti Zinedine Zidane (Prancis), Juan Roman Riquelme (Argentina), atau Rivaldo (Brasil).
Matinya Trequartista dan Lizio Yang Tak Maksimal
Namun, seiring berkembanganya taktik sepak bola, peran trequartista atau classic number 10 semakin tergerus. Kini, otak serangan sebuah tim tidak hanya menjadi milik si nomor 10 seorang (gelandang serang), tetapi juga milik pemain dengan posisi lebih kedalam seperti nomor 8 (gelandang tengah) atau bahkan 6 (gelandang bertahan).
Formasi klasik 4-4-2 diamond kemudian tak lagi digunakan. Berganti menjadi formasi 4-3-3 dengan menggunakan satu gelandang bertahan dan dua gelandang tengah. Dengan formasi 4-3-3 ini hampir tidak mungkin untuk memainkan peran trequartista.
Ketika 4-3-3 itu dimodifikasi menjadi 4-2-3-1, satu gelandang serang tak lagi selalu berdiri di final third sebagai trequartista. Gelandang serang modern dituntut untuk ikut membantu lini tengah ketika dibutuhkan.
“Apes” bagi Lizio, ia tumbuh berkembang saat peran trequartista semakin tereduksi. Ia boleh saja memiliki segala karakter yang dimiliki seorang trequartista. Mulai dribel ciamik sampai kecenderungannya untuk tidak membantu pertahanan.
Tapi, bagaimanapun juga zaman telah berubah. Seperti halnya Kaka ketika menghadapi akhir karirnya di AC Milan atau Diego Ribas di Juventus, keduanya tak lagi mampu memberikan kontribusi nyata sebagai trequartista.
Sebagai gantinya muncul lebih banyak gelandang serba bisa seperti trio Barcelona – Andres Iniesta, Xavi dan Sergio Busquets-, atau Paul Pogba di Manchester United. Mereka tak lagi berdiri di final third, tapi lebih banyak beroperasi di tengah dan cukup rajin membantu pertahanan.
Lizio, ditengah perkembangan zaman itu, seakan tak mampu beradaptasi. Ia masih mengandalkan permainan klasik mengandalkan dribel, bermain dengan teknik individu tinggi, tapi masih enggan “bekerja keras”.
Sebenarnya, kalau hanya untuk bermain di Indonesia, tidak ada yang salah dengan kecenderungan Lizio itu. Diego Assis, yang memiliki tipe hampir sama dengan Lizio berhasil moncer bersama Persela musim lalu.
Tapi, harus diakui kualitas umpan, tembakan, dan terutama kecepatan Lizio tampak menurun. Meski ia cukup jago melepaskan umpan-umpan pendek satu dua tapi seringkali umpan crossingnya tak tepat sasaran.
Dalam laga melawan Bhayangkara FC, Sabtu (31/8/2019) lalu misalnya, dua kali percobaan long pass yang dilancarkannya tak ada yang menemui sasaran. Akurasi crossing-nya juga hanya mencapai 57 persen, tak jelek tapi juga tak bagus. Ia juga hanya satu kali melakukan tembakan, itupun melayang jauh diatas mistar.
Lizio juga jarang melakukan aksi melewati pemain, kelebihan yang seharusnya dapat dimaksimalkannya. Satu hal yang mungkin cukup memuaskan bagi Lizio adalah umpan pendeknya yang mencatatkan angka 89 persen di laga itu. (riz)