Persebaya juara paruh musim untuk denda akibat ulah suporternya yang mencapai 1 milyar lebih. Angka yang tidak kecil, setara 2-3 harga pemain lokal berkualitas yang dapat menaikkan prestasi tim.
PSSI acap kali menyebut kesalahan suporter Persebaya yang berakibat denda sebagai “Pengulangan”, yang artinya terus diulang.
Angka milyaran ini membuat official Persebaya meradang. Mas Ram Surahman selaku sekretaris Persebaya berujar bahwa akan ada upaya penyuluhan dan edukasi untuk Bonek agar tidak melakukan aksi berujung sanksi rupiah yang terulang menerus.
Edukasi tentu perlu, namun ketika kanal dan portal informasi dari sisi lain menjelaskan alur atau sirkulasi perputaran uang dari klub ke PSSI dan kembali ke klub, rasanya akan sama dengan menabur garam di lautan alias sia-sia.
Terdapat akun media sosial yang sepertinya memberi “angin” bahwa pelemparan dan flare itu klub tak akan merugi, sebab uang yang digunakan membayar denda berasal dari subsidi federasi/operator. Artinya, flare dan pelemparan sah-sah saja agar “libido” sebagai suporter terpenuhi (puas) dengan snapshot dan keseruan lainnya ketika melempar atau membuka tuas flare dan warna warninya.
Jika sudah begini, tentu ada “edukasi” lain di luar sana yang tersirat dan tersurat mendidik suporter untuk bisa melakukan hal yang berakibat sanksi dimana sebenarnya klub tidak goyah secara financial.
Lantas formula apa sebagai materi edukasi suporter agar tidak bermain flare atau pelemparan?
Di Gelora Bung Tomo, pelemparan salah sasaran dua kali menimpa 1 wartawan dan 1 capo tribun. Khusus yang wartawan sampai mengalami jahitan di pelipisnya, sementara sang dirijen harus di perban matanya. Bagaimana cara menyadarkan suporter untuk menahan diri agar tak melakukan pelemparan, tentu ini melibatkan banyak pihak serta kesadaran massal dari suporter sendiri.
Jika beralasan pada capaian klub hingga flare diwujudkan sebagai aksi kekecewaan pada tim yang selalu kalah, sepertinya ini kurang adil. Di Liga 2, ketika laga melawan Semeru FC dan Martapura flare juga menyala, kalah kah Persebaya waktu itu? tidak! Lantas mengapa flare tetap menyala?
Benang merahnya tentu lifestyle atau identitas belaka. Kurang afdol menjadi fans sepak bola modern tanpa hiasan flare dan keseruan yang tercipta dari warna warni tersebut. Puluhan kamera membidik momen sebagai pemenuhan foto koleksi atau sebagai identitas kultur copy paste luar secara permukaan saja.
Di sini, kata kuncinya adalah kesadaran. Kesadaran yang harus dibangun secara masif dan massal untuk menjaga klub dari sanksi, dengan kiranya menjaga keuangan klub bisa menjadi alokasi bagi kesejahteraan pemain agar bermain total, atau pembelanjaan pemain berkualitas untuk memompa prestasi klub.