Pahamilah, semua pemain yang membela Persebaya saat ini hadir atas sepengetahuan manajemen. Menimpakan kesalahan atas keterpurukan Persebaya hanya kepada para pemain ibarat peribahasa “Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri”.
Oke, kita harus akui pemain menjadi bagian dari keterpurukan Persebaya. Namun rasanya tidak adil jika manajemen menimpakan semua kesalahan kepada mereka. Beban pemain mengarungi liga musim ini sudah sangat berat. Jadwal padat yang tidak manusiawi ditambah tuntutan dari Bonek agar Persebaya berprestasi, pastinya membuat psikologis pemain terganggu.
Mengapa Persebaya seperti tidak enjoy saat bermain di GBT menjadi misteri yang berlangsung dalam dua musim ini. Raihan 3 kemenangan, 8 imbang, dan 1 kekalahan seperti membuktikan dugaan jika pemain tidak nyaman bermain di kandang sendiri.
Hasil lima laga tanpa kemenangan sebelum laga lawan PSS Sleman membuat psikologis pemain semakin tertekan. Lalu, keluarlah warning keras dari sang Presiden, Azrul Ananda, lima hari jelang laga. Azrul mengeluarkan pernyataan yang menyiratkan bahwa ada pemain yang bermain tidak dengan hati.
”Sepuluh pertandingan ini akan menunjukkan siapa yang benar-benar ingin di Persebaya, atau hanya pura-pura ingin di Persebaya,” ujar Azrul di laman official. ”Saya ingin Persebaya diisi pemain yang hatinya benar-benar untuk Persebaya. Karena saya harus memastikan Persebaya meraih hasil maksimal, tidak hanya untuk tahun ini, namun untuk tahun depan dan tahun-tahun berikutnya,” tambah putra mantan Ketum Persebaya, Dahlan Iskan.
Sebuah pernyataan yang langsung menghujam keras di dada pemain, Pak Presiden? Namun, apakah masalah menjadi selesai? Eits, nanti dulu…
Kini, tekanan tak hanya datang dari jadwal padat liga dan Bonek, namun juga datang dari bos Azrul sebagai representasi manajemen. Beban itu makin berat saat melawan PSS di GBT. Laga pekan ke-25 ini harus dimenangkan agar tim bisa sedikit keluar dari tekanan. Alih-alih mendulang tiga poin, Persebaya justru kalah 2-3 dari sang tamu. Dan sisanya adalah sejarah. Kericuhan pecah dan Persebaya kalah untuk pertama kalinya musim ini.
Rupanya, warning keras dari Azrul lima hari lalu tak otomatis membuat para pemain tampil apik dan meraih poin penuh. Artinya, pernyataan Azrul tersebut hanya menjadi pepesan kosong. Namun sayangnya, dampak negatif yang ditimbulkannya sudah demikian besar.
Warning keras Azrul memang tidak bisa dicabut. Namun jika kita bisa kembali lima hari lalu, ada baiknya Azrul tidak mengeluarkan warning tersebut. Selain waktunya tidak tepat karena liga hampir rampung, warning itu keliru karena disampaikan Azrul di depan publik. Ingat, jika telah menjadi konsumsi publik maka spekulasi akan menjadi liar. Di saat tim membutuhkan support dari manajemen, warning itu akan membuat pemain semakin tertekan. Karena seperti menjadikan pemain sebagai satu-satunya kambing hitam atas keterpurukan Persebaya.
Sudah seharusnya manajemen melindungi pemain dan mengambil tanggung jawab atas keterpurukan tim ini. Azrul harus tampil layaknya bapak dalam sebuah keluarga besar. Jika sang anak berbuat salah, maka bapak harus bisa membuat sang anak memperbaiki kesalahan tanpa perlu marah-marah di depan tetangga.
Namun, nasi telah menjadi bubur. Berdebat tentang siapa yang salah atas keterpurukan Persebaya saat ini sudah tidak ada gunanya. Persebaya harus segera bangkit agar bisa lepas dari jeratan degradasi. Kesempatan berprestasi bisa diraih kapan saja.
Di 9 sisa laga musim ini, manajemen harus mampu mengayomi tim dan suporter. Jika perlu, manajemen meminta maaf kepada Bonek atas drama-drama tidak penting yang muncul sejak awal musim. Mulailah melihat ke bawah dan jangan sering mendongak. Dengarlah saran dan kritikan dari siapa saja, entah dari Bonek, legenda, maupun pecinta sepak bola. Minta maaflah kepada siapa saja yang mungkin tersakiti atas kebijakan yang diambil selama ini. Karena hal itu jauh lebih bermanfaat dibandingkan dengan hanya mengeluarkan warning keras.
Bangkit dan selamatkan Persebaya musim ini…