Percayalah, dari awal Bonek mendukung Piala Dunia U-20 digelar di Surabaya. Bahkan, saat Ibu Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa, ingin memindahkan venue dari Gelora Bung Tomo (GBT) ke Kanjuruhan akibat bau sampah, Bonek rame-rame menolaknya. Bonek juga ikut kerja bakti membersihkan GBT dan menanam pohon di area stadion menyambut Piala Dunia.
Namun semua berubah saat Persebaya dikorbankan demi terselenggaranya Piala Dunia. Pemkot seperti mengusir Persebaya dari Surabaya dengan alasan renovasi. Apa buktinya? Hingga saat ini, Pemkot tak menawarkan solusi lain semisal memberikan izin sementara pemakaian Gelora 10 November (G10N), Tambaksari, sebagai kandang Persebaya musim ini. Tak ada proses dialog sejauh ini. Manajemen Persebaya mengaku telah menyampaikan surat permohonan audiensi kepada Risma Trimaharani. Namun tak ada jawaban dari Pemkot.
Di tengah kebuntuan ini, Bonek bergerak. Langkah awal, Bonek akan memasang spanduk-spanduk dan pamflet-pamflet menuntut Persebaya berkandang di Surabaya. Dan langkah paling ekstrim adalah menolak Piala Dunia digelar di Surabaya jika Pemkot tetap keukeuh tidak memberikan izin Persebaya bermain di kotanya.
Pemkot pernah menyatakan jika Piala Dunia merupakan even penting buat anak-anak Surabaya melalui sepak bola. Diharapkan, talenta-talenta muda asal Surabaya bisa muncul. Namun sesungguhnya ini hanya pencitraan. Faktanya, Pemkot gagal menciptakan suasana kondusif yang bisa memunculkan anak-anak berbakat di sepak bola.
Jika membicarakan sepak bola di Surabaya pasti tak jauh-jauh dari Persebaya. Klub inilah yang secara konsisten mengharumkan nama Surabaya sejak 1927. Namun Pemkot seperti menganggap Persebaya sebagai musuh. Bukan sebagai partner kolaborasi. Lihatlah bagaimana konflik perebutan Wisma Karanggayam antara Pemkot dan Persebaya. Ingat pengusiran klub-klub internal dari lapangan Karanggayam. Atau tidak diizinkannya Persebaya berlatih di G10N. Ironis jika melihat tim dari kota lain bisa menyewa G10N dengan mudah.
Sebuah even tidak akan berhasil jika tidak ada partisipasi dari warganya. Bonek yang mayoritas adalah warga Surabaya harus dirangkul jika ingin even sekelas Piala Dunia sukses. Namun, bagaimana bisa Pemkot merangkul Bonek jika tim kebanggaannya disakiti dengan tidak boleh berkandang di Surabaya? Persebaya bagi Bonek adalah segalanya.
Sekali lagi, Bonek tidak menolak Piala Dunia di Surabaya. Bonek hanya tidak ingin Persebaya dikorbankankan dengan adanya even itu. Tidak adanya upaya Pemkot memperjuangkan Persebaya berkandang di Surabaya membuat Bonek tidak respek terhadap even internasional itu. Jadi jangan selalu menuntut Bonek untuk memberikan sesuatu jika Pemkot tidak juga memberikan apa-apa kepada mereka.
Win-win solution. Pemkot ingin Surabaya jadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Bonek ingin Persebaya berkandang di Surabaya. Dua hal ini harus dicarikan titik temu yang saling menguntungkan. Sinergi dibutuhkan antara dua pihak. Sebagai awalan, Pemkot bersedia diajak audiensi oleh manajemen Persebaya.
Ingat, Piala Dunia, jabatan Wali Kota dan Kadispora hanya sementara, Persebaya Selamanya!