Pelajaran dari Balikpapan

Machfud Arifin dan Azrul Ananda. Foto: IDN Times
Iklan

Dalam perjalanan menuju Tenggarong untuk menyaksikan laga Persipura melawan Persebaya tahun lalu, saya mendapat cerita dari seorang Bonek yang mengantar saya menuju kota itu. Ia bercerita tentang seorang pengusaha travel yang cukup dikenal di Kota Balikpapan. Namun, usaha travel tersebut tiba-tiba meredup dan menuju kebangkrutan. Penyebabnya, bisnis yang digelutinya masuk masa-masa sulit saat jagoan yang didukungnya di Pilkada Kota Balikpapan kalah.

Usaha travelnya dipersulit salah satunya dengan adanya larangan mengambil penumpang di Bandara Sepinggan. Pemenang Pilkada waktu itu adalah saingan dari jagoan pengusaha travel itu. Ia membiayai jagoannya dengan harapan menang Pilkada. Sayang, jagoannya kalah dan ia terpuruk bersama usahanya.

Memori saya ke cerita di atas muncul usai membaca berita tentang dukungan Presiden Persebaya, Azrul Ananda, ke salah satu Bakal Calon Wali Kota Surabaya, Machfud Arifin. Dalam blog pribadinya, Azrul mengatakan jika sosok Machfud Arifin menyerupai sosok sang ayah, Dahlan Iskan. Machfud sudah “tuntas” untuk urusan pribadinya. Sudah tidak butuh apa-apa lagi. Sama seperti ayahnya. Karenanya, ia pantas jadi Wali Kota Surabaya menggantikan Risma.

Sikap Bonek bervariasi melihat dukungan Azrul. Ada yang pro dan kontra atas sikap Azrul mendukung salah satu calon dalam kontestasi Pilkada. Yang pro mengatakan jika mendukung seseorang dalam Pilkada adalah hak pribadi. Namun yang kontra mengungkapkan kekhawatiran jika klub kebanggaannya, Persebaya, diseret dalam ajang politik.

Iklan

Bagi saya, dukungan Azrul kepada salah satu Bakal Calon Wali Kota adalah sesuatu yang wajar. Itu adalah hak bagi setiap orang di negara demokrasi. Saya percaya Azrul tidak akan memanfaatkan nama Persebaya dan Bonek untuk memenangkan sosok yang didukungnya.

Saya malah berharap sosok yang didukungnya menang. Kenapa? Karena itu baik bagi Persebaya.

Saya tidak membayangkan jika calon yang didukung Azrul kalah dalam Pilkada nanti. Tentu suasana akan menjadi sulit, khususnya bagi Persebaya. Dulu saat masih di Jawa Pos, Azrul mendukung Risma untuk menjadi Wali Kota. Sayangnya, saat Azrul memegang Persebaya, Risma seperti tidak bersahabat. Persebaya kesulitan untuk mencari lapangan untuk latihan. Pemkot bahkan tidak mengizinkan Persebaya memakai Gelora 10 November (G10N) sebagai tempat latihan.

Beberapa waktu lalu, Pemkot juga “mengusir” Persebaya dari Surabaya dengan alasan Gelora Bung Tomo (GBT) akan direnovasi. Beruntung, aksi Bonek membuat Pemkot akhirnya mau duduk bersama dan mengizinkan Persebaya memakai GBT dan G10N. Selain itu, Pemkot juga berencana menaikkan biaya sewa pemakaian GBT.

Harus diakui, kondisi-kondisi tak bersahabat ini mengganggu perjalanan Persebaya mengarungi kompetisi Liga 1. Dan tentu saja bagi bisnis Persebaya.

Persebaya membutuhkan sosok Wali Kota yang bersahabat. Sama saat Surabaya masih dipimpin Cak Narto. Namun kondisi saat ini jauh berbeda dibanding zaman Cak Narto. Persebaya bukan lagi milik Pemkot melainkan milik perorangan. Wali Kota dipilih langsung oleh rakyat. Meski Calon Wali Kota terlebih dahulu ditetapkan partai.

Meski Azrul telah menyatakan dukungannya kepada Machfud Arifin, belum berarti jagoannya akan menang Pilkada nanti. Masih banyak tahap yang mesti dilalui. Kalaupun Machfud lolos sebagai Cawali, ia harus berhadapan dengan Cawali dari PDIP yang merupakan partai incumbent. PDIP telah menguasai Surabaya dalam beberapa dekade.

Saya berharap Pilkada Surabaya bisa menghasilkan Wali Kota yang bersahabat bagi Persebaya. Kalaupun Machfud tidak terpilih, saya masih berharap Wali Kota terpilih mau bersinergi dengan Persebaya sebagai salah satu ikon Surabaya. Saya tidak ingin Persebaya dipersulit lagi hanya karena Sang Presiden mendukung calon lain.

Namun, memori saya masih terngiang-ngiang atas nasib pengusaha travel asal Balikpapan itu. Semoga saya salah…

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display