Sejarah Lapangan Karanggayam, Lebih Dari 50 Tahun Hanya Untuk Persebaya

Wisma Persebaya dilihat dari tribun lapangan pada 2016. Saat ini, tribun sudah dirobohkan Pemkot.
Iklan

EJ – Lebih dari 50 tahun sejarah Persebaya Surabaya dibentuk dari Lapangan Karanggayam. Mulai hanya sepetak lapangan sepak bola, kemudian dibangun Gedung Persebaya sampai akhirnya Wisma Persebaya berdiri dan kini jadi objek konflik.

Terletak di sebelah timur Stadion Gelora 10 Nopember, lapangan “tersembunyi” itu menjadi saksi lahirnya bakat-bakat pesepakbola nasional dari Surabaya. Mulai dari era Jacob Sihasale hingga Rachmat Irianto. 

Tapi, lapangan Karanggayam sebenarnya bukan merupakan lapangan pertama yang digunakan Persebaya untuk berlatih dan menjalankan kompetisi internal. Sejak tahun 1940-an sampai 1960-an Persebaya, yang ketika itu masih bernama SVB, berlatih di lapangan Canaalan.

“Dulu ketika masih bernama SVB, Persebaya berlatih di lapangan Canalaan, lokasinya di sekitar THR (Taman Hiburan Rakyat) dan TMP (Taman Makan Pahlawan) Kusuma Bangsa,” kata Dhion Prasetya dari Pemerhati Sejarah Persebaya.

Iklan

Persebaya baru resmi menggunakan lapangan Karanggayam ketika THR mulai dibangun akhir 1950-an atau awal 1960-an. Ketika boyongan ke lapangan Karanggayam, tribun penonton di lapangan Canalaan itu pun ikut dipindah.

“THR berdiri tahun 1961. Jadi secara logika, kira-kira tahun 60 (Persebaya pindah,red), sebelum THR diresmikan,” kata Dhion. “Sekalian pilar-pilar tribunnya dipindah di situ. Tribun yang dipakai Karanggayam adalah tribun bekas lapangan Canalaan,” tuturnya.

Lapangan Karanggayam sendiri, sejarahnya, merupakan bagian dari kompleks olahraga yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Saat zaman sebelum kemerdekaan, pemerintah Hindia Belanda membuat tiga lapangan yaitu A, B dan C. 

Lapangan A adalah lapangan utama yang kini menjadi Gelora 10 Nopember, lapangan B adalah lapangan Karanggayam, sedangkan lapangan C adalah lapangan yang berada di sebelah timur lapangan utama yang sekarang menjadi gelanggang remaja.

“Niatnya, ketika zaman Belanda ada satu komplek besar yang terdiri dari tiga stadion. Tapi kenyataannya tidak bisa, akhirnya baru Tambaksari yang jadi stadion beneran,” ucap Dhion.

Persebaya lantas menggunakan lapangan Karanggayam untuk menjalankan kompetisi internal serta untuk tempat berlatih tim junior maupun senior. Tim senior Persebaya baru menggunakan lapangan Tambaksari ketika jadwal mereka bentrok dengan agenda kompetisi internal.

Sampai tahun 1973, lapangan Karanggayam itu hanya berbentuk tanah lapang biasa. Baru pada era kepemimpinan Kolonel Djoko Soetopo (1967-1975 dan 1977-1982), Persebaya membangun Gedung Persebaya (mes sisi timur).

Gedung itu dibangun untuk tempat berkumpul serta tempat singgah sebagian pemain dan pengurus Persebaya. Sebelum Gedung Persebaya dibangun, para pemain dan pengurus Persebaya menggunakan sebuah rumah di Jl. Dharma Rakyat, tak jauh dari Jl. Karanggayam.

“Persebaya (mulanya,red) latihan di lapangan Karanggayam sama Tambaksari tapi mess-nya tidak disitu, di Dharma Rakyat. Sampai tahun 80an pindah Karanggayam tapi sisi dekat kuburan, ada kan bangunan tidak dipakai,” ungkap Dhion.

Meski sempat berpindah tempat tinggal, para pemain Persebaya tidak pernah berpindah tempat latihan. Lapangan Karanggayam tetap menjadi lapangan utama untuk menyelenggarakan kompetisi internal dan latihan rutin Persebaya senior.

“Baru pada tahun 90an awal, setelah Persebaya juara Perserikatan 87/88 dibangunlah mess pemain Persebaya, dan itulah yang kita kenal sebagai mess Eri Irianto.”

Wisma Persebaya Sebagai Bonus Gelar Juara 1987/88?

Saat itu, 27 Maret 1988, Persebaya menasbihkan diri sebagai juara Perserikatan setelah mengalahkan Persija 3-2 di Stadion Utama, Senayan, Jakarta. Gelar itu sekaligus sebagai pelipur lara setelah Persebaya kalah 0-1 atas PSIS Semarang di partai final satu musim sebelumnya.

Selayaknya tim yang meraih gelar juara, Nuryono Haryadi cs pun diarak keliling kota, dari Bandara Juanda ke Grahadi dan menuju titik akhir di restoran Mahkota. 

Di restoran yang terletak di sekitar Monumen Bambu Runcing itu, ketua umum Persebaya yang juga Walikota Surabaya, Poernomo Kasidi mengumpulkan seluruh pemain dan pengurus bersama pengusaha-pengusaha asal Surabaya. Salah satu agendanya adalah penggalangan dana.

“Saat kembali ke Surabaya (dari Jakarta) kami diarak dari Juanda ke Grahadi lanjut ke Kotamadya dan langsung ke Mahkota. Disana pengusaha juga dikumpulin, diminta partisipasinya,” kata bek kanan Persebaya ketika juara 1987/88, Muharom Rusdiana.

“Pengusaha langsung secara spontanitas, saya segini, saya segini. Waktu itu ada Pak Mangindaan (Ketua Harian Persebaya yang juga Danrem 084/Baskara Jaya Kodam V Brawijaya), (yang bertanya) kamu berapa, angkat tangan siapa yang mau berpartisipasi.” 

“Saya masih ingat waktu itu kurang lebih terkumpul 63 juta,” beber Muharom. *

Tidak hanya uang, pengusaha-pengusaha itu juga memberi bonus mobil untuk keperluan kantor dan bahkan ada yang menjanjikan rumah. Hal itu diungkapkan oleh Maura Hally.

“Ada pengusaha namanya Rahardjo yang punya dealer Mitsubishi jalan Kedungdoro, memberi 2 unit mobil L300.”

“Ada juga pengusaha mau kasih tanah di Rungkut, mau ditukar dengan tanah yang jadi perumahan Laguna (Kenjeran). Tanah tersebut sekarang jadi perumahan Rungkut Tengah,” beber Hally. **

Nah, rencananya, sejumlah dana yang terkumpul akan dibagikan kepada seluruh pemain Persebaya. Tapi, menurut Muharom, Poernomo Kasidi mengusulkan agar dana itu digunakan untuk membangun mess untuk tempat pemusatan latihan (TC) para pemain Persebaya. *

“Singkatnya wisma itu bonusnya teman-teman. Bonus dari pengusaha-pengusaha waktu itu. Begitu duit dikumpulkan di bendahara, besoknya pak Pur punya ide, bagaimana kalau uang bonus ini untuk pembangunan wisma, nanti kurangnya bisa minta bantuan rekan-rekan. Soalnya kalian sudah dapat kenang-kenangan rumah di Jalan Gunungsari,” kata Muharom. **

“Jadi pak Pur berpesan, yang penting kalian sudah punya wisma, bukan mikir sekarang, tapi juga untuk adik-adik kalian, dikenang untuk seterusnya selamanya. Makanya teman-teman sepakat tidak apa-apa.”

Grafis: Iwan Iwe/EJ

Saat juara 1987/88, Persebaya memang belum mempunyai tempat pemusatan latihan (TC) yang terintegrasi. Meski sehari-hari berlatih di lapangan Karanggayam atau Tambaksari, para pemain Persebaya harus berpindah-pindah tempat menginap.

Paling sering, di era kepemimpinan Poernomo Kasidi, para pemain Persebaya diinapkan di Stadion Gelora 10 Nopember atau mess atlet KONI di dekat Asrama Haji. Para pemain baru merasakan nyamannya tinggal di hotel beberapa hari jelang pertandingan.“Pak Pur nggak tega lihat mess Persebaya sebelah timur. Persebaya kemudian pindah ke Sukolilo sebelah Asrama Haji, nyewa di situ, kadang-kadang di Gelora 10 Nopember. Kalau mendekati (pertandingan) baru pindah ke hotel Cendana, sudah seperti rumah sendiri, tiap tahun sudah di booking,” kata Muharom.

Agar latihan serta TC berjalan lebih efektif dan efisien maka dibangunlah mess Persebaya. Manajemen Persebaya selanjutnya tidak perlu lagi mengeluarkan biaya sewa untuk hotel atau penginapan.

Para pemain tidak harus jauh-jauh naik bus untuk datang TC atau latihan di lapangan Karanggayam. Selain untuk TC, mess Persebaya juga bisa jadi lokasi sejarah yang diwariskan secara turun temurun.

“Walikota Purnomo Kasidi sudah memikirkan adanya mess, tidak perlu sewa, karena biaya tinggi kan kalau harus menginap di hotel, TC harus naik bus. Ke lapangan Persebaya masak naik bus. Karena ada penginapan jadi tinggal lari ke lapangan,” kata Abdul Muis, mantan wartawan Jawa Pos yang saat itu bertugas meliput Persebaya.

“Setelah mess dibangun aktivitas berdekatan, tersusun secara rapi, jadi kehidupan lebih terarah dan terkontrol,” kata pengamat sejarah Persebaya sekaligus Dosen Sejarah UNESA, Rojil Bayu Aji.

Wisma Persebaya Diresmikan Oleh Almarhum Gus Dur

Wisma Persebaya akhirnya diresmikan pada tanggal 25 April 1993. Menurut penuturan sejumlah pemain, selain Walikota Poernomo Kasidi, wisma tersebut juga diresmikan oleh Gus Dur (Abdurrahman Wahid).

“Saya ingat yang meresmikan almarhum Gus Dur, bukan manggil tapi Gus Dur punya inisiatif untuk meresmikan,” kata Muharom.

“Tahun 92-an selesai terus TC disitu, kami bisa menikmati. Sebetulnya waktu itu ada nama-nama prasasti ditempel di tembok, nama pemain juara, yang andil sebenarnya untuk wisma itu.”

Hampir senada dengan Muharom, gelandang nomor 10 Persebaya saat juara 1987/88, Maura Hally juga menyebut jika mess diresmikan sekitar tahun 1993. Saat itu, Persebaya sedang mempersiapkan tim untuk kompetisi perserikatan 1993/1994.

“Gedung itu diresmikan oleh mantan presiden kelima Gus Dur.” “Saya satu musim merasakan TC di situ, pertama saya masuk ada saya, Yongky (Kastanja), Subangkit, Agus Winarno jelang musim 1993/94,” kata Hally.

“Tahun-tahun itu kami juga bintal (pembinaan mental) di 516 (Batalyon Infanteri 516, Kodam V/Brawijaya). Waktu itu ada 2 tim untuk seleksi, Persebaya Suro dan Boyo. Disitu tim Suro dan Boyo sudah masuk mess, jadi sudah diresmikan 93, kami yang menempati awal pertama,” ingat Hally.

Tribun lapangan Persebaya kini telah rata dengan tanah. Foto: Joko Kristiono/EJ

Era Wisma Eri Irianto, Dualisme dan Jadi Objek Sengketa

Sejak tahun 1993, mess Persebaya itu terus digunakan oleh para pemain senior Persebaya untuk TC. Kompetisi internal pun berjalan rutin tiap tahun di lapangan Karanggayam dan Stadion Gelora 10 Nopember.

Pada tahun 2000, Wisma Persebaya kemudian dinamai mess Eri Irianto. Itu untuk menghormati jasa Eri yang meninggal dunia seusai laga Persebaya melawan PSIM Yogyakarta di Stadion Gelora 10 Nopember tanggal 3 April 2000. 

Wisma Persebaya, atau mess Eri Irianto itu kemudian terus digunakan para pemain senior Persebaya sampai era Persebaya 1927 di tahun 2013. Saat itu para pemain Persebaya harus keluar dari mess karena Persebaya tak diakui PSSI.

Meski begitu, lapangan Karanggayam tetap digunakan oleh klub internal Persebaya untuk mengadakan kompetisi internal Persebaya. Selain itu Wisma Eri Irianto juga digunakan sebagai markas perjuangan Bonek untuk memperjuangkan Persebaya asli.

“Katakanlah kalau senior sampai dualisme (menempati wisma,red), terakhir sampai 2013. Kalau tidak sampai dualisme, alasannya klasik, karena wismanya perlu direnovasi, sudah mulai rapuh di sana sini, tapi lapangan tetap dipakai,” kata Dhion.

“Setelah 2013, kompetisi internal masih pakai (lapangan Karanggayam,red), Askot juga masih pakai, Karanggayam masih terus diputar tapi frekuensinya tidak sesering sebelumnya.”

Kehidupan di lapangan Karanggayam atau Wisma Persebaya itu baru kembali pulih setelah Persebaya diakui PSSI pada tahun 2017. Meski tak lagi digunakan untuk mess pemain, tapi denyut lapangan Karanggayam tetap berdetak karena adanya kompetisi internal Persebaya.

Ratusan bahkan ribuan pemain pun bisa kembali bermimpi mengikuti jejak pemain senior macam Bejo Sugiantoro, Uston Nawawi, Anang Maruf, Mat Halil atau Andik Vermansah. Rachmat Irianto dan Koko Ari Araya merupakan 2 pemain senior Persebaya yang sempat mencicipi kompetisi internal Persebaya di tahun 2017.

Namun, sejak pertengahan 2019 tahun lalu, lapangan Karanggayam mati suri. Persebaya terpaksa berpindah lapangan karena adanya sengketa kepemilikan antara Pemkot Surabaya dengan PT Persebaya Indonesia. 

Lapangan sepak bola bersejarah itu pun kini sudah tak berbentuk. Wisma digembok, gawang-gawang dicabut, lapangan diuruk, tribun bersejarah yang berusia puluhan tahun itu pun harus ambruk. Persebaya sedang kehilangan rumahnya, tempat ribuan pemain muda ditempa selama lebih dari 50 tahun terakhir. (riz)

Catatan:

*) Belum ada data pasti apakah uang bonus dari pengusaha itu dialihkan seluruhnya menjadi mess atau tidak. 

**) Hadiah rumah dari pengusaha kepada pemain juara 1987/88 itu akhirnya tidak terealisasi. Baik perumahan di daerah Rungkut, maupun di daerah Gunungsari. Maura Hally bercerita jika Walikota Poernomo Kasidi, sebelum wafat, sempat meminta maaf karena belum bisa menepati janjinya.

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display