Akhir-akhir ini banyak diperbincangkan di media sosial tentang sebuah temuan video seorang Bonek yang meminta makan kepada warga setempat dengan mengatakan, “Buk, ganok sego elek-elek ta?”. Peristiwa dalam video tersebut diduga terjadi saat Bonek melakukan away ke Blitar guna mendukung Persebaya dalam laga semifinal Piala Gubernur Jawa Timur melawan Arema FC.
Dari video tersebut lantas tercetus idiom yang menghiasi komentar-komentar maupun hashtag bertuliskan Sego Elek di banyak akun fanspage. Kita akan mengkaji fenomena Sego Elek ini dengan empat perspektif. Sila tentukan sendiri istilah yang tepat untuk menyederhanakan pembahasan kita.
Pertama, dalam pandangan orang yang agak cerdas, Sego Elek merupakan sebuah ironi antara kondisi suporter yang serba terbatas dengan mahalnya harga jual tiket pertandingan. Sekilas kelihatan bahwa anggapan ini benar. Namun kita tidak mampu menemukan korelasi yang pas antara keduanya. Karena tanggung jawab moril individu terhadap dirinya jelas tidak ditentukan oleh harga tiket sebuah pertandingan sepak bola.
Sebuah anggapan yang kurang rasional bila seorang suporter akan jatuh miskin karena membeli tiket pertandingan sepak bola. Terlebih ketika itu di Blitar pertandingan diadakan tanpa penonton yang pastinya tidak ada tiket yang dijual. Jadi tidak ada alasan untuk mengafirmasi anggapan liar bahwa seorang suporter terlunta-lunta karena membeli tiket. Anggapan itu hanya menguatkan tentang rasa cemburu atas ketidak berhasilan klub kebanggaan seseorang untuk mengelola manajemen dengan baik laiknya Persebaya. Beginilah hasilnya jika fanatisme diumbar tanpa kebijaksanaan.
Kedua, dalam pandangan orang yang kurang cerdas, Sego Elek merupakan ketidakberhasilan klub (Persebaya) memfasilitasi keterbatasan penggemar. Ada akun fanspage pendukung sebuah klub kaya Jawa Timur di instagram yang begitu cermatnya mencoba mengkorelasikan fenomena Sego Elek dengan keangkuhan klub yang memasang harga tiket seharga 50.000 rupiah ke atas. Begitu baiknya akun tersebut menuliskan kesalahan berlogika sehingga menjadi bahan yang begitu naif untuk ditertawakan.
Dalam tulisan tersebut, dikatakan bahwa fenomena Bonek kelaparan atau Sego Elek adalah akibat dari mahalnya tiket pertandingan. Dilanjutkan dengan presiden klub yang disebutnya pongah sehingga mempersilakan yang tidak kebagian untuk melihat di televisi. Kesiapan untuk duduk di tribun adalah juga berarti kesiapan finansial dan logistik. Urusan harga tiket adalah dengan penuh atau tidaknya stadion. Kita bisa coba mengunjungi situs yang mungkin tidak terlalu tren di tempat penulis.
Situs tersebut bernama YouTube. Di sana akan kita saksikan dengan jelas bahwa Gelora Bung Tomo tidak pernah punya masalah dengan harga tiket. Ada sih klub-klub lain yang tiketnya mungkin kemahalan sehingga setiap pertandingan stadionnya tidak penuh. Tapi itu tidak terjadi di Surabaya.
Kembali pada cacat logika di atas, bahwa seharusnya dan kenyataannya memang fenomena Bonek bernyali mulia dengan meminta Sego Elek tidak memiliki korelasi dengan harga tiket pertandingan sepak bola. Keadaan yang menimpa pemuda tersebut murni karena kondisi personal yang mengharuskannya bertahan demi kebanggaan. Perlu dicatat agar SDM kita naik sedikit, bahwa kondisi atau perilaku seseorang tidak bisa digeneralisasi terhadap budaya pada sebuah komunitas tertentu. Karena sebuah komunitas yang demokratis tentunya berisi individu-individu yang memiliki kecenderungan dan tujuan berbeda-beda.
Ketiga, dalam pandangan orang tidak cerdas, Sego Elek merupakan sebuah bahan olok-olok untuk bahan Psywar. Dibuatlah challenge yang menunjukkan para netizen dari antah berantah seolah lebih kaya dan tidak mungkin mengalami kejadian serupa pemuda yang meminta Sego Elek. Sego Elek setidaknya menurut mereka telah berhasil mengembalikan stigma buruk terhadap Bonek yang selama ini sudah mulai terkikis dengan banyaknya aksi sosial dan even-even positif yang terselenggara karena aktifitas Bonek. Ya sebut saja panti asuhan Bonek, Bonek siaga bencana, Bonek jogo Suroboyo, full house GBT, dan masih banyak lagi.
Rasa-rasanya sungguh tidak manusiawi ketika usaha seseorang untuk bertahan hidup tidak dibantu tapi justru harus dijadikan bahan olok-olok dengan dalih apapun. Terlebih ketika wajah orang yang diolok-olok disebarluaskan atas nama meme. Sungguh manusia telah mengalami kemunduran peradaban dengan hilangnya rasa kemanusiaan. Jika anda membaca tulisan ini kemudian mengatakan bahwa saya menulis karena baper, fix anda adalah orang dengan pandangan keempat (baca: dungu). Atau mungkin saya lupa jika manusia hanya sekali-sekali saja makan pisang.
Keempat, dalam perspektif yang lebih beradab, aksi seorang Bonek meminta Sego Elek adalah sebuah kemuliaan yang sudah jarang kita temukan pada diri pemuda-pemuda penggila fanatisme sepak bola. Bayangkan saja, di tengah segala keterbatasan yang menderanya, Bonek tersebut tidak menjarah atau merampas. Namun meminta dengan sopan terhadap warga. Yang diminta pun bukan sesuatu yang berharga, namun sesuatu yang sederhana bahkan cenderung kurang berharga untuk dapat mengisi tenaga.
Ya, Sego Elek merupakan cerminan betapa seseorang dalam kondisi terbatas masih tidak berusaha mengusik atau merugikan hidup orang lain dengan pemaksaan atau bahkan bantuan yang berlebihan. Hal ini jelas jauh bedanya dengan orang-orang kaya namun tidak memiliki loyalitas untuk sekedar memenuhi stadion dengan harga tiket yang bahkan tidak bisa untuk ditukar dengan Sego Elek. Tidak penuhnya stadion jelas merugikan, dan merupakan gangguan serius untuk klub sepak bola. Untuk urusan tiket tidak laku dan stadion tidak penuh tampaknya Persebaya harus belajar kepada klub lain yang suporternya kaya-kaya.
Terlepas dari sisi emosional ‘arek-arek’ (jangan dibalik nanti disangka rasis) yang mengadakan challenge Sego Elek, percayalah bahwa kegiatan unfedah seperti itu hanya akan menggerogoti komunitas mereka dari dalam. Selama kita masih mencari-cari kelemahan orang lain dan tidak mengoreksi kelemahan diri kita sendiri maka kita hanya akan bisa menjejakkan langkah kemunduran. Idiom Sego Elek hanya akan mengulangi kegagalan katak yang hendak jadi lembu seperti halnya olok-olok basi bernama maling gorengan.
Untuk urusan rebranding, Bonek jelas tidak patut diragukan. Bonek tidak akan pernah mampu menyandingkan diri dengan komunitas yang berkutat dengan provokasi. Melawan Bonek setidaknya pola pikir harus tertata terlebih dahulu, belajar tentang majas, baru memproduksi nyinyiran atau challenge. Kalau belum bisa berpikir runtut perbanyaklah baca buku, diskusi atau sering-sering bermaiyah sambil sekali-kali mengunyah sego apik.
Tulisan ini lebih tinggi kualitasnya daripada challenge Sego Elek yang kurang mengedukasi dan tidak lucu sama sekali ketika itu dimaksudkan untuk konten humor atau parodi. Belajar, belajar, dan teruslah belajar. Karena amanat kurikulum di negara kita adalah untuk mencetak pembelajar seumur hidup. Jika sebuah daerah isinya sebagian besar adalah provokator maka mereka adalah bahan tertawaan bagi para pembelajar.