Minggu, 21 Februari 1988 akan selalu menjadi hari yang bersejarah bagi Persebaya Surabaya sampai kapanpun. Pertandingan di Gelora 10 November, Tambaksari sore itu seharusnya sebuah “tragedi” bagi kubu Bajol Ijo. Namun kondisi anomali justru terjadi di stadion.
Ya. Sore itu, Persebaya Surabaya memutuskan untuk bermain “sepak bola gajah” melawan tim dari Papua, Persipura Jayapura dalam lanjutan kompetisi Divisi Utama PSSI Wilayah Timur musim 1987-1988. Sepak bola gajah merupakan sebuah istilah yang dipopulerkan oleh media Jawa Pos tentang permainan sepak bola yang telah diatur skor akhir sebelumnya, merujuk kepada gajah saat bermain sepak bola di pertunjukan yang memang telah diatur.
Latar Belakang Kejadian
Keputusan Persebaya yang “rela” dijebol gawangnya hingga 12 kali oleh pemain Persipura tentu menyimpan pertanyaan. Mengapa harus sebanyak itu? Apa yang ada dibenak para pemain dan manajemen hingga mengorbankan nama besar Persebaya? Apalagi, Persebaya sebagai tim tersukses dan terbesar di Jawa Timur memiliki penggemar yang sangat fanatik dan tidak mau melihat tim kesayangannya kalah, apalagi di kandang sendiri. Dengan skor mencolok pula.
Slamet Oerip Prihadi dan Abdul Muis dalam Sepak Bola Gajah Paling Spektakuler (2016) menuliskan bahwa hal itu berawal dari penderitaan yang dialami Persebaya di Semarang saat musim 1985-86 Divisi Utama Wilayah Timur. Teror luar dalam didapatkan oleh para penggawa Bajol Ijo ketika bermain di stadion Diponegoro, Semarang dalam putaran dua. Ketika itu sistem yang digunakan adalah home tournament.
Teriakkan “Persebaya gombal, Surabaya jelek” menggema di stadion Diponegoro, Semarang untuk merusak konsentrasi pemain Persebaya. Lemparan kertas dan kotak minuman menghujani lapangan. Ditambah lagi kapasitas stadion yang seharusnya hanya menampung 10.000 penonton, malam itu dipenuhi sekitar 20.000 penonton hingga stadion meluber namun pertandingan tidak dihentikan oleh panpel dan tetap berjalan (hlm. 34).
Mustaqim, Totok Sriyanto, Supriyono dan M. Ridwan menjelaskan, “Kita di hadapan penonton (Semarang) serba salah, cacian di luar batas merusak konsentrasi permainan,” ujar mereka (hlm. 29). Pelatih Persiba, Sutjipto Soentoro pun juga turut menyesalkan kejadian itu dan merasa kasihan kepada Persebaya akibat tekanan yang kelewat batas. “Apa kesalahan pemain Persebaya kepada Semarang, kok dilempari seperti itu oleh penonton? Mereka (Persebaya) kan bangsa kita sendiri,” ujar beliau (hlm. 29).
Persebaya akhirnya tersingkir dari persaingan tiga besar setelah PSIS diduga mengalah atas PSM 0-1 berkat gol bunuh diri bek PSIS Budi Utomo menit ke-6 pada pertandingan ke-9. Hal itu karena Persebaya sudah tidak mungkin lagi mengejar perolehan poin PSM ataupun Perseman.
Seolah tidak cukup dengan penderitaan yang ada, hal ini diperparah dengan ditetapkannya Semarang sebagai host untuk Babak Enam Kecil, dimana tiga tim terendah di setiap wilayah barat dan timur saat itu akan disatukan dan berjuang kembali untuk menentukan dua slot degradasi ke Divisi Satu. Syukur Alhamdulillah Persebaya akhirnya berhasil lolos dari jerat degradasi.
Itulah yang menyebabkan publik Persebaya dan Surabaya menyimpan dendam kepada PSIS Semarang beserta suporternya saat itu. Momentum untuk membalas “penderitaan” saat di Semarang itu hadir pada musim 1987-1988 ketika permainan Persebaya sedang berada di atas angin.
12 Gol di Tambaksari
Ketika permainan Persebaya musim 1987-1988 sedang bagus-bagusnya, hal bertolak belakang dialami oleh PSIS Semarang. Persebaya sudah menyegel juara group Wilayah Timur dan Persiba di posisi dua juga sudah memastikan diri mendampingi Persebaya ke putaran final di Senayan. Sedangkan nasib PSIS, PSM, dan Persipura berada “di tangan” Persebaya karena saat itu Persebaya masih harus berlaga menghadapi Persipura.
Persipura yang menjadi kebanggaan masyarakat Papua akhirnya mendapatkan “hadiah” tiket grand final ke Senayan. Laga sore itu di Tambaksari tampak sangat “aneh” karena tidak berjalan seperti biasanya. Mulai dari starting line up Persebaya yang mayoritas pemain cadangan, jumlah gol yang tercipta, hingga atmosfer stadion.
Kapten Persebaya ketika itu, Muharom Rusdiana menceritakan situasi stadion Gelora 10 November yang dipadati sekitar 20.000 penonton dalam laga sore itu, ketika para pemain Persipura Jayapura menjebol gawang Persebaya, mereka langsung menyambutnya dengan suka cita bersama bunyi terompet yang sangat meriah. Begitu juga sebaliknya ketika para pemain depan Persebaya membawa bola dan mencoba memasuki area pertahanan Persipura, penonton berteriak “Huuu…. Huuu….” sebagai bentuk protes (hlm. 18).
Sempat terjadi sedikit kepanikan ketika laga berlangsung akibat informasi yang simpang siur tentang hasil laga lain PSM Makassar melawan Perseman Manokwari. Wajar, sebab pada zaman itu penyebaran informasi belum secepat era sekarang. “Waktu itu dikabarkan bahwa di Makasssar PSM menang 6-0 atas Perseman. (Sehingga) Untuk menyingkirkan PSIS, Persebaya harus mengalah lebih dari 8 gol,” kata asisten pelatih Persebaya saat itu, Nino Sutrisno (hlm 11). Namun informasi tersebut ternyata tidak akurat sebab PSM hanya menang 2-0 atas Perseman sehingga kemenangan Persipura 12-0 atas Persebaya sebenarnya “terlalu banyak”.
Berkat kemenangan (sangat) besar itu, pemain Persipura M. Duaramuri merasa gol sebanyak itu tidak akan terjadi bila tidak “dibantu” oleh Persebaya. “Saya merasa punya utang budi pada Persebaya,” kata pemain yang mencetak hattrick tersebut (hlm. 46).
Para penonton tampak sudah mengerti bahwa ini adalah momentum untuk menyingkirkan tim PSIS Semarang setelah beberapa musim sebelumnya Persebaya juga “disingkirkan” secara halus dengan cara yang diduga sama (mengalah untuk menyingkirkan). Maka dari itu, anomali tersebut terjadi. Para suporter seolah mendukung penuh Persipura dalam laga ini.
Sementara wasit yang memimpin laga tersebut M. Zaenal asal Lampung terlihat sering tersenyum melihat gol demi gol yang tercipta. Meski menolak berkomentar tentang pertandingan karena menganggap tidak etis sebab bertugas sebagai wasit, dia sedikit berkomentar soal suasana stadion ketika Persebaya terkena penalti dimana para suporter tidak marah sedikitpun padahal sedang dalam kondisi tertinggal (hlm. 47).
Namun demikian, di tengah sorotan publik akibat dagelan yang terjadi Persebaya tetap fokus dan berjuang hingga akhirnya menjadi juara di Senayan, Jakarta. Ketika itu tidak ada sanksi dari FIFA sebab belum ada aturan resmi yang mengatur tentang sepak bola gajah.
Hubungan Semarang-Surabaya Kini Membaik
Setelah mengalami rivalitas yang panas pada era 80-90an, hubungan antara Semarang dengan Surabaya kini telah membaik. Kedua suporter dipertemukan lagi di kandang baru Persebaya (GBT) setelah lama tidak berjumpa akibat dualisme yang dialami Persebaya. Momen itu jatuh saat laga Homecoming Game di Gelora Bung Tomo, Surabaya setelah Persebaya duakui kembali oleh PSSI tahun 2017 lalu.
Bahkan salah satu laga terbaik Persebaya menurut penulis di Liga 1 musim 2018 lalu adalah pekan 34 saat bersua PSIS di Gelora Bung Tomo, Surabaya. Kedua suporter hadir di stadion, saling bersahut-sahutan chant, kemudian banjir koreografi di setiap tribun GBT merupakan sebuah pemandangan yang sangat indah.
Hubungan baik tersebut berlanjut hingga musim ini. Rivalitas yang terjadi pada masa lalu mampu menjadikan kedua suporter semakin dewasa dan saling menerima perbedaan. Semoga hubungan baik ini terus terjaga dan terjalin dengan baik hingga kapanpun. Soal “tragedi” sepak bola gajah ini, tak perlu malu untuk mengakuinya. Sebab ini adalah bagian dari melestarikan sejarah panjang Persebaya Surabaya untuk generasi selanjutnya.
Salam Satu Nyali, WANI!