EJ – Dalam situasi pandemi corona ini, tentu sebagai Bonek kita rindu. Rindu untuk nribun, rindu untuk bernyanyi bersama mendukung kebanggaan, dan rindu dengan berbagai macam aksi koreo di tribun Gelora Bung Tomo yang selalu berhasil menjadi daya tarik tersendiri bagi penikmat sepak bola Indonesia.
Dari sekian banyak koreo, poster, atau banner, ada satu ikon yang tak pernah absen bertengger di tribun stadion atau di atribut pakaian para Bonek. Ikon tersebut menggambarkan wajah seorang pemuda dengan rambut gondrong yang memakai ikat kepala bertuliskan Persebaya. Ikon itu kemudian dinamai “Wong Mangap” (wajah seseorang dalam ekspresi berteriak, Red).
Lalu bagaimanakah sejarah di balik wajah Wong Mangap yang legendaris itu?
Ikon Wong Mangap ternyata lahir hampir bebarengan dengan dikenalnya penyebutan Bonek akronim Bondo Nekat bagi suporter Bajo Ijo. Wong Mangap pada mulanya dibuat oleh seorang ilustrator harian Jawa Pos bernama Muchtar.
Pria yang akrab disapa Mister itu mengawali karirnya pada tahun 1986. Tepat saat digelarnya Piala Dunia di Meksico. Saat itu ia membuat sketsa gol untuk meyakinkan pimpinannya, Dahlan Iskan bahwa dirinya bisa berkontribusi untuk ilustrasi di Jawa Pos ini. “Jadi nonton live pertandingannya. Saat gol, langsung saya buatkan sketsanya,” jelas Mister.
Satu tahun kemudian Jawa Pos terlibat dengan Persebaya. Pada era Perserikatan itu, Persebaya bertemu dengan PSIS Semarang di pertandingan final 1987. Sayang Persebaya harus puas keluar sebagai runner up. Tetapi tahun berikutnya, Persebaya kembali berhasil menembus partai final. Lawan yang harus dihadapi adalah tuan rumah Persija Jakarta.
Pada saat itulah gema nama suporter Bonek semakin membesar. Kala itu Persebaya menjadi tim sepak bola pertama di Indonesia yang memberangkatkan pendukungnya dalam laga tandang. Ratusan bis disewa untuk berangkat ke Jakarta. Fenomena ini kemudian dikenal dengan “Tret Tet Tet”.
Tak sampai di situ saja, agar lebih menarik, Dahlan berinisiatif membuat kaos untuk para Bonek. Saat itu tagline yang sudah dikenal untuk Persebaya adalah Kami Haus Gol Kamu. “Tapi rasanya kurang lengkap jika hanya tulisan saja. Tolong mister buat kan apa gitu supaya lebih ekspresif,” ujar Mister menirukan ucapan Abah Dahlan saat itu. Bos Jawa Pos tersebut memang selalu punya julukan unik untuk orang-orang andalannya.
Mister yang merupakan seniman lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) sekarang Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta mau tidak mau harus berpikir lebih keras malam itu. Sebab pihak sablon kaos sudah menunggu desainnya untuk segera dicetak.
Bahkan puluhan Bonek juga hadir berkumpul di kantor Jawa Pos, Kembang Jepun. Kala itu kantor Jawa Pos memang sudah seperti base camp bagi Bonek. “Saya masih ingat kebanyakan Bonek yang ada di kantor saat itu adalah pegawai PLN. Mereka meneriaki saya, ayo Pak Muchtar, ayo,” jelasnya menggambarkan situasi malam itu.
Dari mana datangnya inspirasi wajah Wong Mangap?
“Saya berpikir begini saat itu. Surabaya ini kan kota pahlawan. Sudah berapa ribu orang yang mati di sini. Wajah-wajah patung pahlawan di Surabaya ini kan kebanyakan gitu semua. Menggambarkan kobaran semangat, ekspresfif, walau mereka orang bawahan. Saya kira itu yang paling representatif untuk Surabaya,” jelas Mister dengan penuh semangat.
“Maka gambar Wong Mangap awalnya hanyalah sebuah pelengkap untuk merchandise. Saat itu belum ada lho yang terpikir untuk membuat merchandise secara profesional,” tambahnya. Lagi-lagi Persebaya menjadi tim yang mengawali terbentuknya kultur suporter sepak bola modern di Indonesia.
Setelah Wong Mangap berhasil digambarnya hanya dalam waktu satu jam (19.00-20.00 WIB) dan Persebaya berhasil keluar sebagai juara. Beberapa orang yang fanatik bahkan mengaitkan kemenangan Persebaya karena daya magis logo ini.
“Padahal enggak juga, tagline Kami Haus Gol Kamu termasuk yang berpengaruh besar sekali untuk membangkitkan gairah sepak bola Surabaya pada saat itu. Jadi dua kombinasi tagline dan gambar tersebut semakin membakar semangat arek-arek Suroboyo untuk bertanding,” Mister mempertegas.
Bagaimana dengan mereka yang menganggap Wong Mangap meniru wajah pahlawan Lamongan atau Malang?
Pria yang pensiun dari Jawa Pos pada tahun 2007 itu menjelaskan, “Nah itu, memang banyak sekali tafsiran macam-macam. Ada malah yang menganggap itu wajah separuh malaikat separuh setan. Wah, macem-macem pokoknya.”
“Padahal boro-boro niru, buat aja kepepet dalam waktu sesingkat-singkatnya,” tambahnya.
Menurutnya berbagai interpretasi yang ada juga tidak bisa disalahkan, itu adalah hak mereka sebagai penikmat seni. “Karena toh itu juga akan berhenti hanya sebagai tafsiran saja, kan?” terang seniman yang mengidolakan Basuki Abdullah ini.
Apabila diperkenankan meminjam pendekatan sastra maka terdapat sebuah esai Roland Barthes berjudul The Death of The Author yang mengajarkan kita bahwa tidak ada penafsiran tunggal dalam sebuah karya.
Artinya pada kondisi karya telah dipublikasikan maka the author had died (sang pemilik karya dianggap telah “mati”). Ia tidak berhak untuk menuntut semua orang berperspektif sama sesuai dengan pesan yang ingin ia sampaikan. Seni memang dipertontonkan untuk dapat dinikmati dengan cara masing-masing.
“Menangnya, saya hanya menang duluan nggawe (duluan membuat),” ujarnya dengan penuh rendah hati. Sampai saat ini dirinya mengaku masih terus menggambar dan mengikuti perkembangan Persebaya.
Seiring berjalannya waktu gambar Wong Mangap hitam putih milik Mister kemudian diberi warna dan beberapa sentuhan baru oleh Boediono yang juga ilustrator harian Jawa Pos. Sampai akhirnya dikenal wajah Wong Mangap seperti yang sekarang. Berambut gondrong dengan perpaduan warna yang apik. (amz)
*) Wawancara bersama Mister ini beliau persembahkan untuk sahabatnya Slamet Urip Pribadi, wartawan senior Jawa Pos tahun 1980an. Pencetus istilah Bonek.