Indonesia dan Jepang adalah negara yang sangat erat sejarahnya. Kedua negara luluh lantak di era Perang Dunia ke-2. Kita masih ingat bagaimana Jepang luluh lantak akibat bom Nagasaki dan Hirosima. Sedangkan Indonesia juga luluh lantak karena belum merdeka. Maka sejarah pun mencatat tahun 1945 adalah tahun di mana Indonesia mulai start menjadi sebuah negara. Di sisi lain jepang pun mengalami kejatuhan yang luar biasa sehingga menyebabkan negara itu harus memulai segalanya dari nol. Termasuk di dalamnya, adalah olahraga dan industri sepak bola. Jika kedua negara baru memulai dari masa nol dalam membangun sepak bola, kita bisa melihat hasil yang dicapai kedua negara sekarang.
Sebagai fans Persebaya, saya tidak akan membandingkan prestasi timnas Indonesia dan Jepang. Namun, saya akan membandingkan prestasi Persebaya dengan klub Jepang. Sepak bola Jepang sudah sangat maju, pemainnya sudah ada yang bermain di Eropa dan klub-klubnya langganan masuk Piala Dunia antar klub. Bagaimana dengan Indonesia, khususnya Persebaya? Kashima Antlers adalah salah satu tim asal Jepang yang baru berdiri tahun 1947, dua tahun pasca pengeboman. Dan tengok prestasi mereka sekarang.
Beberapa tahun lalu mereka bahkan berhasil menembus final Piala Dunia antar klub tahun 2016. Meski mereka harus mengakhiri mimpi di final, setelah kalah 4-2 dari Real madrid. Setidaknya di tahun yang sama, Persebaya masih harus berjuang untuk kembali lagi ke kancah sepak bola tertinggi di Indonesia. Sungguh ironi bukan? Persebaya yang memiliki selisih historis jauh dibandingkan Kashima justru bernasib miris.
Yang lebih mengherankan, jika kita membaca sejarah sepak bola dan liga di Jepang, justru di era 80-an saat Persebaya berada di masa kejayaan terutama di era Galatama dan Perserikatan. Justru Jepang masih belum punya liga profesional dan malah harus berguru kepada Indonesia. Jepang menganggap bahwa kompetisi Galatama dan Perserikatan yang ada kala itu, sebagai kompetisi profesional yang layak ditiru. Lantas mengapa sekarang keadaan seolah menjadi berbalik? Atau sebenarnya keadaan tidak berbalik, hanya kita saja yang terlalu diam dan tidak melakukan apapun sementara Jepang dan sepak bolanya telah melesat ber-transformasi.
Sebagai seorang yang lahir berdarah hijau dan di-emong (Jawa: asuh) dalam kultur Bonek, ada rasa malu dan iri hati melihat kesuksesaan yang sudah dicapai klub-klub Jepang. Dalam benak sanubari terdalam, apakah kita tidak boleh berharap bahwa kelak Persebaya benar-benar bisa bersaing di dunia internasional? Apakah kita tidak boleh berharap masyarakat dunia tiba-tiba browsing persebayastore.com dan mencari merchandise klub yang bisa juara dunia antar klub? Tentu hanya orang-orang gila yang boleh dan memimpikan hal tersebut. Dan karena kita adalah Bonek maka menjadi gila dalam artian nekat dan wani adalah salah satu kultur dan warisan kita. Maka bermimpi saja tidak akan mengubah apapun. Kita perlu melakukan beberapa hal agar mimpi ini tidak berakhir menjadi sesuatu yang gila alias hanya angan saja.
Menurut penulis, ada beberapa hal yang bisa dilakukan Persebaya di masa mendatang. Belajar dari Jepang dan kesuksesan dalam membangun persepakbolaan mereka, maka Persebaya juga bisa melakukan langkah yang sama. Agar mimpi-mimpi tersebut bisa diwujudkan.
Pertama, memulai dari membangun mindset sepak bola yang benar. Jepang sukses setelah mengalami banyak kegagalan dan punya mindset dasar “Cahaya Asia”. Apa itu? Konsep sederhana yang ingin unggul di antara masyarakat Asia. Mindset ini yang kemudian menjadi dasar perilaku masyarakatnya dalam membangun sepak bola yang baik. Bagaimana jika mindset ini juga diterapkan di Persebaya? Bahwa orang tua yang kadung cinta dengan Persebaya mendorong agar anak-anaknya bisa unggul dan lebih baik dibanding yang lain. Maka hal lain seperti sarana, pengorbanan waktu, uang, dan tenaga akan senantiasa mengikuti. Mindset ini pun yang menjadikan kita mawas diri dan tidak cepat puas dengan apapun pencapaian yang didapat. Bonek dan Bonita harus berani bersaing di manapun mereka berada. Bayangkan jika seluruh orang tua dan siswa di kompetisi internal Persebaya punya mindset yang sangat kuat ini, maka akan lahir banyak jiwa ngeyel baru setiap tahunnya. Didukung orang tua yang juga ngeyel, pelatih ngeyel, staff ngeyel dan menghasilkan pondasi tim yang berani bersaing dan mengejar prestasi.
Kedua, setelah mindset ngeyel sudah tertanam, selanjutnya semua pihak terutama yang cinta Persebaya wajib memberikan dukungan dalam bentuk insfrastruktur dan kompetisi yang sehat. Tanpanya, mindset yang sudah setebal baja itu akan sia-sia. Jika kita menengok Jepang, bakat-bakat yang ada digodok dan dibina di semua sekolah yang ada di Jepang, mulai SD sampai SMA. Dan hebatnya semua terintegrasi dan terkurikulum. Bayangkan jika ini juga dilakukan di seluruh sekolah di Surabaya, mulai SD sampai SMA. Ada klub sekolah sepak bola yang punya fasilitas yang baik, dan kurikulum pelatihan yang baik, lalu setelah mereka lulus SMA, masuk ke kompetisi internal Persebaya, di dalamnya dilaksanakan kompetisi sehat dan juga kompetitif. Bisa dibayangkan dalam 5 sampai 10 tahun lahir generasi seperti apa?
Saya sampai mbrebes mili waktu membayangkan. Tanpa sarana dan infrastruktur serta kompetisi berjenjang yang sehat, sepertinya mustahil membangun sebuah tim hebat. Dan yang menyenangkan adalah Persebaya sebagai tim profesional sudah mulai menapaki jalan terjal itu. Meskipun dalam perjalanannya tidak sedikit hambatan yang harus dihadapi, ada saja yang ingin menggagalkan usaha tersebut. Sebut saja perselisihan dengan Pemkot yang tak berujung masalah Mes Karanggayam. Tentu hal-hal seperti ini haruslah dihindari jika ingin membangun Persebaya yang mendunia. Saya berharap ke depan kerjasama yang dibangun bukan saling menjegal.
Yang terakhir adalah, revolusi suporter. Ya benar. Pepatah mengatakan “tidak ada yang abadi selain perubahan”. Jika makna revolusi adalah berubah, kita sebagai Bonek juga harus senantiasa berubah dan berbenah diri, mengikuti perkembangan zaman, dan berkontribusi untuk tim sesuai kapasitas dan kondisi diri kita masing-masing. Saya percaya Persebaya dan Bonek adalah sebuah tubuh, jika satu sakit maka satu yang lain juga merasakan sakit. Maka jika saat ini Bonek sudah berubah dan jadi baik, maka ke depan tugas lebih berat menanti. Kita juga harus terus berbenah ke arah yang lebih baik. Sampai kapan? Tidak ada garis akhirnya, Persebaya kelak akan menjadi besar. Dan sudah tugas kita semua menjaga kebesaran Persebaya itu dan menyebarkan vibes ke-Bonek-an di mana pun kita berada. Tanpa dukungan dan revolusi suporter, mustahil mimpi Persebaya bersaing di kancah dunia bisa terwujud. Pertanyaannya, siapkah kita mengawal Persebaya melangkah ke arah tersebut?
Semoga kelak, kita bisa menyetel alarm dini hari, bikin secangkir kopi dan melihat saluran televisi berbahasa Inggris menyaksikan pertandingan final Piala Dunia antar klub, yang menayangkan Persebaya. Ahhh… indahnya malam itu. (*)
*) Tulisan ini adalah salah satu tulisan yang diikutkan dalam “EJ Sharing Writer Contest” edisi Mei 2020. Dengan tema Persebaya dan Harapan Masyarakat, kontes dibuka paling lambat 31 Mei 2020. Kirim tulisanmu ke email: [email protected].