Semakin banyak wartawan menggunakan kata mempermalukan dalam ranah olahraga. Kecenderungan ini perlu dicermati dan dikritik. Dalam olahraga yang menjunjung tinggi sportivitas, semestinya tidak dikenal kata malu, mempermalukan, atau dipermalukan. Kalah itu soal biasa. Sebab dalam pertandingan atau perlombaan selalu ada pihak yang menang dan kalah.
Kata-kata tendensius yang juga digemari wartawan olahraga kita antara lain menghabisi, menggilas, memecundangi, atau menghancurkan. Tujuannya, menarik perhatian pembaca. Semakin keras kata yang digunakan sebagai judul berita diharapkan semakin banyak mengundang pembaca. Bertekuk lutut niscaya lebih menohok daripada menyerah dan membantai dianggap lebih mengesankan dibandingkan dengan mengalahkan saja.
Baiklah, tetapi apakah masih layak menggunakan kata menaklukkan apabila suatu kesebelasan hanya menang 1-0 atas kesebelasan lain? Biasanya wartawan yang memihak kesebelasan tertentu memilih kata-kata yang bersifat menekan kesebelasan lawannya dan sebaliknya. Bila kesebelasan kesayangannya kalah, ia akan memakai kata-kata kalah terhormat atau kalah tipis dalam menulis laporannya biarpun skor akhir menunjukkan kesebelasan yang dibelanya kalah telak 0-4.
Berimbang bagi wartawan olahraga—normalnya—berarti menyerang tim musuh dengan kata-kata tajam dan memuji tim sendiri setinggi langit. Penyerang lawan diejek malas, pemain belakangnya dikatakan gugup, dan pelatihnya disebut hijau. Sementara itu, penyerang tim favoritnya dipuji gigih, beknya tangguh, dan pelatihnya bertangan dingin.
Tak heran olahraga Indonesia, teristimewa sepak bola, ribut melulu dan sering dilanda perkelahian. Sebab khazanah bahasa Indonesia memang tidak mengenal padanan untuk kata Inggris sportive yang terpaksa kita alih eja menjadi sportif saja. Kita juga tak mengenal terjemahan terhadap kata fair atau frase fair play. Kata fair ada kalanya di-Indonesia-kan menjadi adil saja. Padahal masalahnya bukan keadilan yang membutuhkan penghakiman, melainkan berbuat adil atas dasar ikhlas dengan sadar.
Kita juga sering kebablasan asal mencopot kata untuk membangun makna asosiatif dan menulis: ”Markus berhasil menjaga gawangnya tetap perawan hingga pertandingan berakhir.” Penggunaan kata perawan di sini sebenarnya kurang kena, kurang tepat, dan kurang ajar.
Baguslah kalau wartawan menggali lebih banyak kata untuk menulis laporan yang nikmat dibaca asal tidak asal-asalan. Pemakaian kata merumput: ”Ronaldo masih betah merumput di Real Madrid”, misalnya, sangat tepat, dan segar. Menggetarkan jala, menembus pertahanan, mengecoh bek kanan, menggunting langkah, mengoyak barisan belakang, atau memberikan umpan terobosan merupakan beberapa rangkaian kata hasil galian wartawan yang cukup menggugah dan enak dibaca.
Gerakan pemain sepak bola di lapangan dapat diumpamakan seperti kendaraan, kapal, atau macan sehingga lahirlah kata-kata menyalip, melaju, dan menerkam yang imajinatif. Namun, bila pikiran wartawan sudah kacau, kita akan membaca kata mengganyang, menyobek, atau memerkosa dipertuliskan dalam ulasan sepak bola.