Agar bisa survive di era digital, salah satu upayanya adalah Persebaya harus sehat secara finansial. Sebenarnya melihat apa yang dilakukan manajemen saat ini sudah sangat benar. Dengan mendirikan Persebaya Store sebagai official merchandise, yang bisa dibilang berkembang sangat pesat merambah kota-kota lain sekitar Surabaya.
Lalu dengan akun YouTube nya, ada baiknya mencari dan mengunggah video-video lama Persebaya. Yah itung-itung untuk menambah pemasukan klub. Apalagi di tengah pandemi ini, kita kehilangan pemasukan dari sisi tiket masuk dan hak siar tv, sepertinya masuk akal. Toh Persebaya tidak kekurangan penonton digital.
Selanjutnya, kalau finansial sudah sehat, langkah konkrit lain tentu komposisi klub itu sendiri, staf kepelatihan dan pemain. Persebaya butuh orang-orang yang kompeten. Dan kalau dilihat setiap musimnya, Persebaya selalu punya kedalaman skuad yang bisa dibilang sudah layak juara. Tapi entah kenapa dari musim pertama naik ke Liga 1, Persebaya belum bisa juara. Persebaya hobi rombak skuat di atas 50 persen pemain inti, pemain yang sudah punya chemystri satu sama lain. Meski penggantinya juga pemain top, tapi mereka harus menciptakan chemystri di awal musim, sehingga pasti tidak berjalan mulus di awal liga. Barulah kira-kira 10 pertandingan terakhir, Persebaya ngegas. Akhirnya cuma jadi top 5.
Dengan mengesampingkan isu tentang “juara pesanan” di liga kita, opini ini masuk akal. Jadi kedepannya mohon untuk mengurangi hobi bongkar pasang pemain inti. Oh iya, jangan lupakan kompetisi internal Persebaya yang sudah berjalan baik, mereka juga banyak menyumbang pemain-pemain muda sebagai punggawa Persebaya.
Kembali lagi ke soal finansial, kepemilikan mandiri sebuah stadion bisa dibilang antara perlu dan tidak perlu. Kita bisa melihat klub-klub top Eropa banyak yang tidak punya stadion sendiri, mereka masih menyewa. Tapi kalau melihat kondisi akhir-akhir ini, di mana seringkali GBT dan G10N jadi sumber kisruh antara Persebaya dan Pemkot Surabaya. Pihak Persebaya pun juga bisa apa kalau tidak diberi ijin pemakaian GBT sebagai homebase dan G10N sebagai alternatifnya, toh itu punya Pemkot. Kita tentunya tahu kalau musim ini Persebaya terancam terusir dari Surabaya mengingat GBT dijadikan venue Piala Dunia U-21. Untuk mulai berpikir tentang kepemilikan mandiri stadion dirasa perlu. (*)
*) Tulisan ini adalah salah satu tulisan yang diikutkan dalam “EJ Sharing Writer Contest” edisi Mei 2020. Dengan tema Persebaya dan Harapan Masyarakat, kontes dibuka hingga 31 Mei 2020. Kirim tulisanmu ke email: [email protected].