Persebaya, Prioritas atau Popularitas?

Iklan

Tak perlu dijelaskan lagi bahwa sepak bola merupakan olahraga yang paling digemari di belahan dunia. Tak memandang umur, gender, maupun agama meskipun kita tahu bahwa penguasa sejati dunia sepak bola tetaplah kaum pria.

Banyak yang menjadikan sepak bola sebagai hobi di pagi hari, ajang berkumpul bersama kawan-kawan, melatih tubuh agar segar bugar, atau sekadar mengisi waktu luang. Di sini saya berbicara sepak bola dari sudut pandang pelaku (orang yang bermain sepak bola).

Contoh sederhananya begini, kau mencintai olahraga renang maka kau akan belajar berenang hingga bisa, kau mencintai olahraga bulu tangkis, maka kau akan belajar bulu tangkis hingga bisa.

Jadi, kau mencintai sepak bola maka kau akan bermain sepak bola, terlepas dari bisa atau tidaknya dirimu dalam menggiring bola tersebut, dan menghiraukan segala aturan-aturan di dalamnya. Intinya yang penting kita bahagia.

Iklan

Lantas apa anda benar-benar mencintai sepak bola?

Setidaknya sekali seumur hidup pasti kamu pernah bermain sepak bola, entah waktu kecil, ketika lomba agustusan atau ketika tugas olahraga di sekolah. Setidaknya kamu pernah bermain sepak bola bersama teman-teman, meski tak sampai bermimpi jadi pemain profesional. Setidaknya kamu tau bagaimana lelahnya berjuang merebut bola dari kaki lawan.

Jangan-jangan kamu hanya mencintai suporternya?

Kamu cinta suporter, karna itu kamu mempelajari lagu-lagunya, menghafalkannya, mengikuti semua gerakannya, hingga tak sempat melihat jalannya pertandingan sepak bola. Kau habiskan suaramu, kau habiskan tenagamu untuk bernyanyi dan menari. Bagimu, itu adalah kepuasaan tersendiri dan rasa bangga yang mengalir di nadi.

Di sini sebuah pertanyaan muncul, kalian merasa merinding, merasa bahagia, merasa kagum terhadap suporter apa sepak bolanya?

Tak perlu membohongi diri sendiri, pasti kalian lebih merinding ketika melihat suporter serentak bernyanyi dan menggema di dalam stadion. Pasti kalian lebih bahagia ketika melihat suporter kompak bergandeng tangan satu sama lainnya. Pasti kalian lebih kagum dengan berbagai kreativitas yang mereka suguhkan.

Ibarat sepak bola adalah pacar, dan suporter adalah selingkuhannya. Katanya kalian cinta sepak bola, tapi masih lirik-lirik suporter, malah fokus ke suporter, malah sibuk dengan suporter.

Memang, dunia sepak bola tak bisa dipisahkan dari dunia suporter, dua objek tersebut secara tak sengaja telah disatukan meskipun memiliki arti yang berbeda. Suporter juga bagian dari sepak bola, suporter adalah pemain kedua belas yang membantu jalannya pertandingan.

Suporter adalah sepak bola.

Ada satu kesalahan di sini, suporter bukan sepak bola, suporter bukan kata khusus yang hanya ditujukan untuk sepak bola. Suporter memiliki makna luas, misalnya saja begini, ketika kalian lihat basket, pasti ada suporternya kan? Mereka teriak-teriak memberi support pada para pemain agar bisa menang. Misal kalian lihat pertandingan bulu tangkis, pasti ada yang teriak-teriak memberi semangat. Nah itu yang dinamakan suporter.

BACA:  Persebaya Akan Baik Jika Sekelilingnya Baik

Jangan jadikan alasan bahwa sepak bola adalah prioritas sedang kita sebagai suporter adalah wajib hukumnya untuk mendukung kebanggaan. Banyak di luar sana yang lebih mementingkan membesarkan nama komunitasnya dibanding dengan mengedepankan klub yang didukungnya.

Selalu menggebu-gebu agar dapat tempat di kalangan orang-orang atas atau juga agar disegani oleh suporter lainnya. Pada ujungnya perang dingin sesama suporter pasti terjadi dan tentunya akan ada kubu-kubu yang memisahkan mereka. Merasa kubunyalah yang paling benar dan patut untuk jadi panutan. Hal ini terjadi terutama biasanya pada suporter yang mulai besar dan berkembang.

Teruntuk kaum pria penggemar sepak bola, kau mungkin punya tim kesayangan, membelanya hingga mati-matian, rela tidak tidur walau pagi harinya harus seharian bekerja, rela ambil cuti walau hanya lelah yang kau derita. Bagi sebagian orang sepak bola memang sebagai ajang taruhan sesama pria di warung kopi, ladang usaha bagi para pedagang jersey, juga tempat nebeng popularitas kaum kartini.

Hai Persebayaku, terhitung sudah tiga tahun kau terbangun dari tidur panjangmu. Rasanya baru kemarin ya, melihat berbagai macam spanduk perlawanan berkibar di gang-gang, di pepohonan, di tembok-tembok jalanan juga di jejaring sosial.

Rasanya baru kemarin juga kita berteriak, turun ke jalan, berpanas-panasan, terpecah belah sesama saudara, dicaci maki tetangga, diteror -diintimidasi penguasa, tapi tak ada yang tahu, kita hanya seorang manusia yang memperjuangkan cinta.

Cinta bukan tentang materi, bukan tentang siapa kau, dari mana kau, atau seberapa sempurnanya kau, tapi cinta adalah tentang perjuangan, pengorbanan, dan kesetiaan. Cinta adalah bahagia ketika dia yang kita cinta juga bahagia. Menurutku itu betul, meskipun kalimat itu sudah mainstream di telinga.

Hai Persebayaku, yang ketika terpuruk hanya kami yang berjuang, tak pernah kulihat tuh para pemain atau official ikut turun ke jalan, aku jadi berfikir, katanya kalian adalah pahlawan, tapi kok cuma berdiam diri melihat kami berjuang? Jadi siapa yang pahlawan? Kukira kami sedang menghidupkan ladang pekerjaan kalian, agar kalian tak jadi pengangguran.

Tidak, kami tak butuh imbalan, cukup ucapan terima kasih serta senyum kalian di instagram, cinta kami tak main-main, tapi jiwa raga kami kalian abaikan. Di saat kawan kami ada yang gugur di perjalanan atau menginjak daerah lawan. Kalian hanya mengucap duka cita tanpa ada air mata, kalian hanya memberi materi tanpa mengerti rasa sakit hati kami turun temurun hingga anak cucu nanti.

BACA:  Persebaya adalah Ladang Bersyukur dan Kebahagiaan

Hai pahlawan yang katanya pahlawan tapi kami yang harus berkorban, sudah beberapa kali ketika kau berlaga selalu saja meminta tumbal satu nyawa. Aku jadi takut, karena semua itu seperti keharusan yang harus terjadi.

Bagaimana bila selanjutnya dia adalah temanmu, saudaramu bahkan dirimu? Aku jadi merinding menuliskan ini, jadi mereka yang sudah tiada benar-benar menyandang prinsip “Persebaya sampai mati”.

Kenapa harus Persebaya sampai mati? Kenapa tidak Persebaya sampai juara?

Hilangkan mindset seperti itu, sebab sepak bola bukan segalanya. Kau masih punya keluarga, punya kehidupan lain di luar sana. Kau bukan manajemen, kau bukan wartawan olahraga yang memang itulah dunia mereka.

Sepak bola adalah alat pemersatu bangsa, namun hal itu hanyalah sebuah bualan yang tak ada habisnya. Jangan jadikan kami sebagai tumbal rivalitas para generasi dulu, tugas kami bukanlah menuntaskan dendam yang telah kalian tanam sejak dulu, kami adalah generasi hebat pembawa perdamaian.

Ini hanya sepak bola, kenapa akhir-akhir ini terlalu banyak aturan yang membebani? Cari tiket saja susah, Bonek harus gini, Bonek harus gitu. Ayolah, ini hanya sepak bola, kami hanya ingin lihat Persebaya. Kalian sadar gak sih, sistem ini benar-benar aneh dan membuatku gila. Kenapa hanya untuk nonton sepak bola, kami harus dikebiri layaknya ngurus E-KTP atau bantuan sosial lainnya.

Yah memang aturan seperti itu sudah sangat maju bila dibanding dengan klub lain, mungkin saya saja yang belum bisa mengikuti perubahan ini.

Tapi kadang kesal juga bila harus diatur begini dan begitu, katanya kami ini konsumen, harusnya dimudahkan, bukan malah digiring layaknya kambing. Perlu kalian ingat kami bukan sapi perah yang bisa dimanfaatkan dan diatur sesuka kalian.

Cinta kami tergadaikan, hanya karena sebuah nama yaitu Persebaya. Jangan salah gunakan nama itu, karena cinta kami tak pernah menipu.

Seseorang pernah berkata, “Kereta tak menunggu untuk satu orang”, ya itu benar.

Tapi kereta akan selalu berhenti di sebuah stasiun, selalu mencari, mencari dan mencari penumpang yang baru. Yang kami minta hanya satu, kemenanganmu. Sebab itu adalah harga diri kami. Jangan pernah mengungkit-ungkit prestasi terdahulu, sebab itu hanyalah masa lalu. Bila kau sudah tak sanggup, silahkan pergi, sebab kereta akan terus melaju, melesat ke manapun yang iya tuju (JUARA). (*)

*) Tulisan ini adalah salah satu tulisan yang diikutkan dalam “EJ Sharing Writer Contest” edisi Mei 2020. Dengan tema Persebaya dan Harapan Masyarakat, kontes dibuka hingga 31 Mei 2020. Kirim tulisanmu ke email: [email protected].

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display