Persebaya adalah nama besar. Satu klub sepak bola profesional di Indonesia dengan banyak prestasi dan penuh kontroversi. Saya tidak bisa menjelaskan bagaimana, mengapa, dan karena apa nama Persebaya menjadi besar? Siapa pun dari antara kita jika mendengar namanya sudah barang pasti tahu melalui sumber keberanekaragaman tutur kata mesra yang sering disebut sebagai “katanya”. Kata si (a) kata si (b) hingga kata si (x, y, z) tidak pernah salah, hanya saja mungkin masing-masing memiliki pengetahuan yang tidak sama. Tapi, terlepas dari apa pun yang namanya “katanya”, fakta sudah membenarkan dan, ya. Tidak perlu diperdebatkan.
Masa kejayaan Persebaya ada pada kompetisi di era Perserikatan. Musim 1941 hingga 2004, prestasi yang diraih kala itu mendapat banyak sanjungan, termasuk pengakuan dari pendukung setianya. Delapan trofi terpampang gagah di dalam wisma Persebaya. Sisi lain dari banyaknya prestasi adalah kontroversi, salah satu yang pernah menempel di nama besarnya adalah istilah sepak bola gajah.
Kira-kira pada tahun 1988, Persebaya mengalah dengan skor yang sangat tidak wajar ketika menjamu klub sepak bola asal Irian Jaya, 12 gol tanpa balas untuk kemenangan Persipura Jayapura. Beberapa kalangan menyebutnya sebagai taktik untuk menyingkirkan klub sepak bola asal kota Semarang, PSIS, dengan maksud balas dendam. Beberapa dari kalangan yang lain menyebut sebagai permainan orang (dalam) untuk mempertahankan Persipura Jayapura pada kompetisi Perserikatan yang, hingga detik ini semua itu masih dipertanyakan kebenarannya.
Hal lain yang menjadi banyak perbincangan adalah ketika pada musim 2009/2010 di ajang kompetisi ISL (Indonesia Super League). Dualisme yang pernah terjadi pada Persebaya menggegerkan publik, khususnya di kalangan suporter sepak bola. Empati dan dukungan serta harapan dari supporter lain tidak pernah berhenti. Hal tersebut membuat wujud nyata adanya suatu perjuangan. Sikap para pejuang ketika meyakini kebenaran, dan kebenaran itu menjadi mutlak karena didasari atas sebuah sejarah. Hasilnya, tentu kita semua tahu. Persebaya kembali merebut jati diri yang sebenar-benarnya benar dari para oknum yang terhormat yang haus akan… hmm salah satunya kekuasaan, salah satunya lagi ketenaran, dan yang paling pasti hasil akhirnya sama dengan uang.
Ketika kita berbicara dari sudut pandang mana saja, tentang; loyalitas, totalitas, atau apa pun namanya bentuk suatu dukungan, jangan bertanya kepada mereka para suporter pejuang. Mereka tahu persis apa yang mereka perjuangkan adalah jiwa, darah, atau bahkan nyawanya. Mereka tahu persis apa yang mereka banggakan adalah bentuk suatu kecintaan yang kadang mengalahkan logika. Mereka para pejuang tapi kadang juga pembangkang disebut sebagai Bonek. Siapa yang tak tahu namanya? Anak kecil, asal sudah bisa mengeja dan berjalan saya yakin pasti tahu.
Persebaya dan Bonek adalah dua kesatuan yang tidak akan musnah ditelan masa. Ironisnya, pada masa di mana semua menjadi bisa dan sangat mungkin menjadi mudah, fanatisme yang kadang tidak masuk diakal, kenekatan yang sungguh di luar dugaan, semestinya dibalas dengan prestasi yang membanggakan. Tapi pada kenyataannya tidak demikian.
Persebaya saat ini dikelola lebih terarah dari yang sebelum-sebelumnya, dengan kata lain “istimewa”. Sumber daya manusianya yang sarat akan kecerdasan intelektual, dan pengetahuan yang sangat dalam tetapi melupakan satu hal, “Pengorbanan”. Apa pun yang namanya pengorbanan sudah selayaknya diberi imbalan. Mereka, para Bonek tidak meminta banyak hal, hanya satu, atau mungkin dua hal, dan yang pasti tujuan utamanya tentu untuk mengembalikan harapan bersama, kejayaan Persebaya. Jangan berkata “menang-kalah adalah hal biasa” ketika nyawa sudah menjadi taruhannya. Saya sangat tahu, hanya Malaikat atau bahkan Tuhan Yang Maha Esa yang mampu membendung emosi-emosi para pejuang, pembangkang ini untuk satu alasan, kebanggaan.
Menurut saya (masyarakat biasa yang sejak tahun 1995 tinggal di kota Surabaya), Persebaya dan Bonek harus memiliki kesepakatan bersama, kesepakatan tersebut bukan dibentuk dengan janji-janji seperti para politikus yang manis, bukan juga seperti Undang-Undang yang mengatur ini itu tentang banyak hal, tetapi lebih tertuju pada kesepakatan yang membuahkan toleransi dan pengertian satu sama lain. Artinya, Management Persebaya harusnya sedikit lebih mendengar tentang apa yang menjadi suara para Bonek, karena di situlah letak nyawa sebuah klub. Toh, tujuan utama masih tetap sama, menjadi juara.
Meskipun, saya tidak paham dan bahkan tidak mengerti tentang perhitungan algoritma rumus untung rugi atau apalah itu namanya untuk menggerakkan suatu roda klub sepak bola. Tetapi, bukan berarti logika selalu bertentangan, ini bukan tentang tribun timur atau barat, bukan juga tentang harga lumpia dan air mineral, tapi tentang prediksi saya yang mengarah persis k earah sana, ya. Keuntungan sepihak. Jika itu memang benar, apa artinya pengorbanan hingga puluhan nyawa melayang, maaf, sia-sia hanya untuk kecintaan yang tidak jelas ujungnya.
Jika berkata tentang isi perut, Bonek justru tidak memikirkan itu. Begitupun sebaliknya, para Bonek, saya tidak bisa berkata apa-apa apabila nyawa sudah berani dipertaruhkan, pada dasarnya kembali kepada pribadi masing-masing. Dalam hal ini, penekanan-penekanan yang utama dan yang paling pertama menurut saya adalah bentuk kesadaran. Kesadaran akan suatu tindakan, kesadaran yang nantinya bisa menghukum banyak hal, dan kesadaran-kesadaran lainnya yang harusnya bersifat logis. Akronim Bondo Nekat jangan di asumsikan sebagai segala-galanya harus nekat, apa pun itu, jelas suatu pemikiran yang keliru. Pengertian saya, Bondo Nekat merupakan bentuk sikap perjuangan dan dukungan untuk satu klub kebanggaan dengan batasan-batasan yang masih bisa di ukur secara garis besar. Artinya, untuk mengukur sebuah kecintaan dengan mengorbankan nyawa, saya rasa hal itu sudah menjadi kekeliruan yang mendasar atas pemahaman dari sebuah pengorbanan.
Itulah harapan saya sebagai pecinta sepak bola “jangan ada lagi nyawa yang melayang, maaf, sia-sia.” Dan juga sebagai Bonek yang dulunya pernah berkhayal menjadi pemain profesional yang akan selfie setelah akhir pertandingan di depan ribuan para suporter dengan mengenakan kaos “Salam Satu Nyali! Wani!”. (*)
*) Tulisan ini adalah salah satu tulisan yang diikutkan dalam “EJ Sharing Writer Contest” edisi Mei 2020. Dengan tema Persebaya dan Harapan Masyarakat, kontes dibuka hingga 31 Mei 2020. Kirim tulisanmu ke email: [email protected].