Persebaya dan Kisah Perkenalan yang Terlambat

Foto: Rizka Perdana Putra/EJ
Iklan

Saya percaya dengan kalimat sederhana yang sering digaungkan oleh orang-orang optimis yang berbunyi, “Di mana ada kemauan, di situ ada jalan”. Kata-kata yang saya yakini sejak Sekolah Dasar itu betul-betul tidak pernah mengecewakan.

Pada awal tahun 2020 secara tiba-tiba saya memiliki keinginan yang aneh. Sebuah keinginan yang saya pikir agak sulit untuk saya lunaskan. Tapi, saya tetap yakin sanggup menempuh berbagai upaya agar keinginan itu berhasil. Keinginan itu adalah mengenal sepak bola Indonesia dengan lebih baik.

Saya dan sepak bola bukanlah hubungan yang asing. Sepak bola menjadi bagian penting dalam hidup saya sejak satu dekade terakhir. Meski pengetahuan bola saya minim, tapi saya pernah pula merasakan jatuh cinta pada sepak bola. Sayangnya, rasa cinta saya terhadap sepak bola tumbuh dan masih terus berlangsung untuk tim sepak bola Thailand bukan Indonesia.

Segala hal tetang sepak bola lokal mungkin hanya segelintir saja yang saya tahu. Saya sempat beberapa kali mencoba memberi perhatian khusus pada klub lokal, tetapi perhatian itu hanya mampir sebentar. Saya tidak betah dan tidak berniat memaksakan diri. Toh, memang rasa suka tidak baik bila dipaksakan. Saya tidak punya motivasi untuk mengenal tim itu dan sejarahnya lebih jauh.

Iklan

Meski keinginan untuk mengenal sepak bola Indonesia itu sudah ada dalam diri saya, tetapi saya tidak kunjung memulai petualangan. Sampai akhirnya, seseorang dihadirkan dalam hidup saya secara mendadak. Mugkin situasi ini yang acap kali disebut oleh anak indie dengan istilah “semesta mendukungmu”.

Semesta rasanya paham bahwa saya butuh seseorang yang mampu menuntun saya untuk lebih banyak tahu tentang sepak bola Indonesia. Seorang mahasiswa Komunikasi semester akhir ternyata adalah jawaban yang dikirim Tuhan. Ia yang memperkenalkan saya pertama kali dengan sebuah klub yang sangat identik dengan kota Surabaya, Persebaya, secara tidak sengaja.

Sejak kecil saya sudah sering mendengar nama Persebaya dan saya juga sejak lama sudah tahu sebutan bagi pendukung klub ini, Bonek. Kesan tentang Bonek dari yang saya dengar di media ketika kecil dulu yaitu sebagai kelompok suporter yang sesekali terlibat kerusuhan. Tapi, pengetahuan saya saat itu ya sebatas nama klub dan kelompok suporter yang agak terkesan negatif.

Dari mahasiswa tadi, saya disodori sejumlah tautan tulisan-tulisan beliau tentang sepak bola lokal yang telah dimuat di media daring, beberapa di antaranya membahas Persebaya. Saya benar-benar baru paham tentang nasib Persebaya yang sempat menghilang dari dunia sepak bola Tanah Air setelah membaca tulisannya. Fakta tentang adanya dualisme Persebaya dan bagaimana kisah perjuangan jajaran ofisial dan Bonek dalam memperjuangkan Persebaya untuk kembali diakui secara resmi oleh PSSI membuat saya merinding.

BACA:  Aku Bagian dari Kamu, Persebaya

Sejak saat itu, saya mulai tertarik membaca artikel-artikel tentang Persebaya lainnya dan bahkan mulai mengikuti akun media sosial EJ. Ya, itu memang belum lama, baru sekitar dua bulan lalu mungkin. Itulah kemajuan terbesar saya dalam upaya mengenal sepak bola Indonesia dengan lebih baik.

Saya mungkin sudah jauh terlambat untuk mengenal Persebaya, tapi saya menikmati perkenalan unik saya dengannya. Persebaya adalah klub lokal pertama yang membuat saya tertarik untuk mengulik banyak hal tentangnya. Saya mengulik bagaimana sepak terjangnya dalam sejarah persepakbolaan Indonesia, siapa saja pemain bintang jebolannya, dan dari literatur yang saya temui, saya menemukan banyak informasi tentang kemajuan klub ini beserta suporternya, Bonek, setelah Persebaya mampu bertengger gagah di Liga 1 lagi.

Sejumlah artikel berisi dukungan untuk Persebaya banyak saya temui di internet. “Teruslah berjuang, Bajul Ijo! Rebut kembali kejayaanmu!” atau, “Berbenahlah, Persebaya!”. Hal ini membuat saya menemukan kritik, masukan, dan harapan untuk Persebaya pula. Setiap tulisan yang saya baca makin menambah khasanah pemahaman saya tentang Bajul Ijo.

Sebagaimana harapan saya pada klub sepak bola asal Thailand yang sejak lama saya cintai, harapan itu juga saya semogakan untuk Persebaya—klub lokal pertama yang menarik perhatian saya—yaitu, semoga semua elemen mulai dari manajemen, pelatih dan pemain, dan bahkan juga suporternya menjadi semakin baik.

Presiden klub dan manajemen Persebaya dinilai sudah bagus selama ini. Bagaimana pihaknya mampu membuat terobosan dalam mencari sumber pendanaan, baik melalui sponsor maupun dari sisi merchandise. Harapan secara umum tentu saja semoga ini bisa dikelola dengan semakin baik, semakin persisten, bukan malah mengalami kemunduran di masa yang akan datang agar Persebaya makin kuat baik di dalam maupun di luar lapangan. Hubungan manajemen dengan suporter juga semoga semakin harmonis.

Dua aspek penting yang juga turut diharapkan agar semakin baik, yaitu pelatih dan pemain. Pelatih memiliki peran yang sangat penting dalam sebuah kesebelasan, bagaimana kejelian pelatih dalam melihat potensi pemain memiliki andil yang amat besar. Penempatan pemain sesuai dengan mental dan kemampuan pemain harus mampu ditunaikan dengan baik oleh pelatih.

Aspek selanjutnya yang ingin saya bahas adalah tentang suporter. Sebelum lebih jauh berbicara soal harapan terhadap Bonek, ada sebuah cerita yang cukup menarik yang belum lama ini saya alami setelah mengenal seorang Bonek. Namanya Mas Riski, saya mengenalnya di media sosial. Kami tiba-tiba mengobrol dan berbagi cerita tentang sepak bola.

BACA:  Awas, Persebaya itu Menular!

Dari obrolan itu, saya tahu kalau dirinya amat sangat mencintai Persebaya. Ia bercerita, bahkan demi Persebaya ia rela menunda sidang skripsinya. Saat itu ia mengaku menjadi saksi perlawanan Bonek, ia ikut pergi ke Jakarta. Saya tahu banyak kekonyolan yang dilakukan suporter sepak bola untuk mendukung tim kesayangannya. Apa yang Mas Riski lakukan, menurutnya ya karena cinta akan Persebaya.

Dari cerita ini, saya bisa membayangkan bahwa Mas Riski hanya satu di antara banyaknya pendukung Persebaya yang rela mengorbankan hal-hal penting. Jika saya bisa mendengar cerita-cerita Bonek lainnya, pasti ada yang jauh lebih ekstrem pengorbanannya dari yang Mas Riski lakukan. Itu sungguh menggetarkan. Mas Riski ikut ambil bagian kenapa saya semakin ingin tahu tentang klub kebanggaan Bonek ini.

Saat saya masih kecil, Bonek memiliki kesan negatif dalam ingatan saya. Namun, melihat bagaimana perjuangan Bonek dalam upayanya mengembalikan Persebaya membuat pikiran negatif itu tidak sepenuhnya sama. Bebera informasi yang saya baca juga, Bonek kini sudah makin dewasa. Sejumlah aksi sosial telah Bonek lakukan. Harapan saya hal itu bisa terus ditunaikan, dan kikis kesan negatif secara perlahan.

Inilah jalan dari kemauan yang pernah terbesit dalam benak saya. Memulai mengenal sepak bola Indonesia melalui klub besar bernama Persebaya. Bila pendemi ini berakhir, saya pastikan diri saya untuk menyempatkan diri menonton Green Force berlaga. Sebagai tambahan, saya ingin mengaminkan harapan orang-orang yang mencintai Persebaya, agar lekas memperoleh gelar juara.

Saya cukup perhatian dengan Timnas Indonesia, tapi maklumilah kalau saya baru mau belajar mengenal sepak bola Indonesia. Semoga tidak terlalu terlambat. Terima kasih Persebaya, kalau bukan karena daya tarikmu, bisa jadi saya belum memulai belajar mengenal sepak bola lokal.

Meminjam template kalimat yang diungkapkan Dilan pada Milea, ada satu pesan yang ingin saya sampaikan pada Persebaya.

“Persebaya, kamu keren. Tapi aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau besok.” (*)

*) Tulisan ini adalah salah satu tulisan yang diikutkan dalam “EJ Sharing Writer Contest” edisi Mei 2020. Dengan tema Persebaya dan Harapan Masyarakat, kontes dibuka hingga 31 Mei 2020. Kirim tulisanmu ke email: [email protected].

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display