Persebaya bukan lagi tim baru yang amatiran. Mengingat sepak terjang Persebaya adalah tim yang diperhitungkan di jagat kompetisi sepak bola indonesia. Bajol ijo atau Persebaya telah merengkuh empat gelar perserikatan dan dua gelar Liga Indoneia, serta sembilan belas kali menjadi runner-up di kompetisi teratas tanah air. Terutama tahun 1996-1997 tersebut, persebaya menjadi Juara Liga indonesia dengan tampil dominan dan mendapat julukan Dream team. Dilanjutkan pada tahun 2003/2004 bersama pelatih Jackson F. Tiago menjadi juara Liga Indonesia kembali.
Bagi saya persebaya adalah tim kebanggaan yang terpilih untuk dijagokan. Entah kenapa naluri ini muncul sedangkan saya sendiri hanyalah pendatang di Surabaya. Perkenalan saya dengan Persebaya sudah dimulai dari Sekolah Dasar. Kesan saya tertuju pada tahun 2004, era pelatih Jackson F. Tiago yang menjadi juara Liga Indonesia bersaing ketat dengan PSM dan Persija.
Naluri mengidolakan Persebaya semakin menjadi setelah saya datang ke Surabaya. Sahabat saya Gatot, salah seorang Bonek sejati yang tinggal di Gayungan, persisnya dimana saya tidak tahu, yang pasti warga asli Surabaya. Gatot selalu mendukung langsung pertandingan Persebaya bersama para Bonek yang lain. Ceritanya dalam suatu waktu, Gatot sempat memangku temannya yang menjadi korban ketika tragedi tawuran di Stasiun Jebres, Solo dalam perjalanan pulang setelah menyaksikan pertandingan Persebaya di Bandung pada tahun 2010. Gatot bercerita dengan mata berkaca, mbrebesi. Tenan, Lur.
Keberadaan Bonek dan Persebaya tidak terpisahkan. Bonek selalu melengkapi persebaya sebagai pemain kedua belas, ikut andil memberi kobaran semangat dalam bertanding. Seperti yang tertuang dalam tulisan sepanduk “PERSEBAYA SAMPEK KIAMAT”, menurut saya ini sangat luar biasa. Tidak saja sampai mati dan tidak berlebihan, tulisan itu juga berarti mewariskan semangat dukungan dan rasa kebanggaan pada anak turun selanjutnya. Dan telah terbukti, keberadaan bonek dari tahun ke tahun tidak pernah hilang, bukan.
Meskipun kadang terjadi tragedi yang tidak diinginkan. Kejadian tersebut sebenarnya tidak perlu, di mana rasa fanatik jangan sampai memantik tindakan anarkis. Semua sepakat untuk menjunjung kebersamaan antar suporter meskipun membela tim yang berbeda.
Namun, anarki bisa juga terjadi karena rasa tidak puas terhadapi tim idola yang bermain kurang temen. Semua suporter mengidolakan timnya menang dan berjaya. Meskipun kenyataan memberikan kekalahan, menang dan kalah telah dipahami betul adalah konsekuensi dalam kompetisi. Tetapi, ketika melihat pemain tim bertanding dengan apik serta berjuang sepenuh tenaga meski kalah sudahlah cukup, artinnya membuahkan kebanggaan tersendiri. Pada intinya, balas pengorbanan suporter dengan seimbang, tidak hanya menjadikan suporter sebagai konsumen gawe golek untung.
Tulisan ini saya buat setelah saya membaca sepanduk cermin keluhan Bonek di suatu tempat. Spanduk besar backround hijau dengan font tebal itu berbunyi, “TOLONG BALAS PENGORBANAN KAMI DENGAN KEMENANGAN”, menempel di dinding pinggir jalan. Kurang gamblang bagaimana Bonek mengutarakan keinginan mereka melihat kejayaan Persebaya. Bonek yang paling merasa sakit ketika gawang Persebaya terkoyak. Boneklah yang paling kecewa jika Persebaya mengalami kekalahan. Ini implementasi dari “Emosi Jiwaku” yang banyak terpampang di kaos-kaos, tempok, stiker helm dan body motor.
Selamat ulang tahun Persebaya ke-93, semoga kejayaan bersama kita. (*)
*) Muslikhul Hadi adalah mahasiswa Unesa. Bisa dihubungi di [email protected]