Propinsi Jawa Timur, khususnya kota Surabaya yang menjadi ibukotanya, menjadi sorotan dalam penanganan pandemi Covid-19. Kota ini menjadi zona merah, bahkan menjadi zona hitam. Jawa Pos edisi 9 Juli 2020 menulis berita utama berjudul Surabaya Paling Banyak Korban Virus Korona. Dalam beritanya, media utama di Jawa Timur ini menuliskan bahwa Surabaya menjadi kota dengan angka kematian pasien positif korona tertinggi di Indonesia.
Jawa Pos mengutip data terbaru Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (GTPPC-19) sehari sebelum berita mereka turunkan (8/7). Secara statistic, Surabaya mencatatkan total angka kematian sebanyak 525 orang. Dengan rasio 17,8 kematian per 100 ribu penduduk. Data ini menunjukan bahwa tiap 100 ribu penduduk terdapat 17–18 orang yang meninggal karena kasus positif korona.
M.Atoilaah Isfandari dalam artinya yang berjudul Dua Penyebab Utama Kasus Covid-19 di Jawa Timur Terparah Hingga Melampaui DKI Jakarta, yang dipublikasikan di The Conversation pada tanggal 13 Juli 2020 menyebutkan bahwa angka ketidakpatuhan penggunaan masker di Jawa Timur mencapai 70% saat berakvitas ekonomi dan sosial di luar rumah. Hal ini menunjukan bahwa hanya sekitar sepertiga penduduk yang menggunakan masker saat berinteraksi di ruang publik.
Temuan itu merupakan hasil evaluasi implementasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Surabaya Raya (Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik) tahap pertama dan kedua yang dilakukan pada Mei. Survei digelar oleh Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (PERSAKMI) Jawa Timur dan Ikatan Keluarga Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. Dari survei ini ditemukan mayoritas responden, sekitar 62%, tidak menjaga jarak fisik 1-2 meter saat beraktivitas di luar rumah.
Survei serupa dari lembaga yang sama yang dilakukan pada tanggal 23-24 Juni memperlihatkan ada peningkatan kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan protokol kesehatan meski belum mencapai 80%. Penggunaan masker dan menjaga jarak fisik merupakan protokol kesehatan yang paling mudah dilaksanakan, bisa diamati dan dievaluasi pelaksanaannya sehingga level kepatuhan masyarakat terhadap protokol ini bisa diukur.
Tidak kurang upaya pemerintah kota Surabaya maupun pemerintah propinsi Jawa Timur melakukan kampanye sosial kepada warga untuk menjalankan protokol kesehatan pencegahan virus Covid-19. Memakai masker menjadi salah satu isu utama yang dikomunikasikan kepada warga melalui aktivitas promosi kesehatan. Sayangnya upaya promosi kesehatan yang bersifat top down ini gagal memberikan penyadaran kepada publik untuk menjalankan protokol kesehatan pencegahan penyebaran virus Covid-19.
#WaniMaskeran dan Pelibatan Komunitas
Di tengah kebuntuan promosi kesehatan di Surabaya dan Jawa Timur sebagaimana ditandai dengan rendahnya kesadaran publik mematuhi protokol kesehatan, muncul Gerakan Bonek Wani Lawan Covid-19. Gerakan yang diinisiasi oleh Persebaya dan perwakilan Bonek dari komunitas berbasis posisinya di tribun stadion ini menjadi oase dalam penyadaran masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan.
Tagline yang dibangun dalam promosi kesehatan ini adalah Trisula Wani. Dalam Bahasa Indonesia, wani berarti berani. Trisula Wani ini meliputi wani pakai masker, wani cuci tangan, dan wani jaga jarak. Penggunaan kata wani tentu dilekatkan dengan salam Bonek, Salam Satu Nyali, Wani !. Dengan pilihan diksi wani, promosi kesehatan melalui Gerakan Bonek Wani Lawan Covid-19 menjadi lebih lekat dengan komunitas Bonek.
Melalui Persebaya dan Bonek, gerakan ini diharapkan mampu membangun kesadaran dan partisipasi publik. Efek bola salju berupa membesarnya Gerakan ini tentu diharapkan. Membesar menjangkau ke berbagai sudut kota Surabaya, bahkan Jawa Timur. Sebagai sebuah komunitas, Bonek memiliki jejaring dan solidaritas yang kuat. Modal potensial dalam promosi kesehatan untuk memberikan penyadaran kepada publik tentang pentingnya pelaksanaan protokol kesehatan untuk menghentikan penyebaran virus Covid-19
Komunitas adalah bagian yang seharusnya diperhatikan sejak awal dari promosi kesehatan. Carl I. Fertman, Diane D. Allensworth dalam bukunya yang berjudul Health Promotion Programs: From Theory To Practice (2010) menyebutkan pentingnya pelibatan komunitas dalam promosi kesehatan. Mereka menyatakan bahwa, komunitas-komunitas dalam masyarakat akan bergabung bersama untuk membentuk koalisi yang merencanakan dan mendukung program promosi kesehatan. Koalisi masyarakat dapat memanfaatkan berbagai lembaga dan penyedia layanan dalam suatu komunitas untuk mengatasi masalah kesehatan.
Pelibatan Bonek dalam promosi kesehatan menjadikan komunikasi kesehatan tidak lagi dari atas ke bawah (top down), namun dari bawah ke atas (bottom up) dan partisipatif. Pelibatan Bonek dalam promosi kesehatan juga tidak bisa dilepaskan dari modal sosial yang ada di Bonek. Bonek adalah komunitas suporter sepak bola yang memiliki kesadaran tentang mitigasi bencana. Ini terlihat dari adanya komunitas di lingkungan Bonek yang memiliki kepedulian dalam mitigasi dan penanganan bencana, seperti halnya Bonek Disasters Respons Team (BDRT). BDRT didirikan oleh Bonek dengan beranggotakan suporter sepak bola yang memiliki kompetensi sebagai paramedis dan Search and Rescue (SAR). Modal sosial yang tentu diharapkan mampu menjadikan Surabaya dan Jawa Timur kembali ke zona hijau.
Fajar Junaedi, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Menulis buku dan artikel tentang budaya fans sepak bola di Indonesia.