Kompetisi Liga 1 akan segera bergulir kembali mulai bulan Februari mendatang. Dengan segala protes dan persiapan yang ada, semoga semua berjalan baik-baik saja. Sebelumnya kompetisi sepak bola Indonesia ini berhenti berjalan cukup lama: sejak Maret. Ada banyak waktu yang sebenarnya bisa digunakan untuk memikirkan beberapa hal demi membuat sepak bola Indonesia lebih baik.
PSSI selaku federasi dan LIB sebagai operator kompetisi harus berjalan beriringan untuk mewujudkan impian tersebut. Menurut pandangan penulis, ada lima catatan yang perlu menjadi bahan diskusi dan pertimbangan bagi PSSI dan LIB selama tahun 2021 sampai 2023, diantaranya:
1Sistem Pemain Homegrown Ala Indonesia
Premier League Inggris merupakan salah satu kompetisi yang menggunakan skema aturan pemain homegrown. Menurut artikel dari Bola, pemain homegrown dibagi menjadi dua kategori, yakni homegrown klub dan homegrown asosiasi nasional.
Keduanya memiliki arti yang hampir sama, yakni seorang pemain akan berstatus homegrown jika terdaftar sebagai pemain suatu klub sebelum usianya 21 tahun. Yang membuatnya berbeda hanya lingkupnya saja, klub dan asosiasi nasional. Premier League mewajibkan klub memiliki minimal delapan pemain berstatus homegrown.
Indonesia rasanya perlu menerapkan konsep semacam ini dalam kompetisi resminya untuk pengembangan lebih lanjut dari Elite Pro Academy (EPA).
Sebagai tahap awal, dari total skuad tim yang mencapai 28 pemain, misalnya mewajibkan 2 pemain homegrown dengan opsi 1 pemain dari jebolan akademi atau kompetisi internal bagi tim Liga 1.
Keuntungan dari konsep ini adalah para pemain alumni Elite Pro Academy (EPA) memiliki kesempatan untuk berkembang lebih baik lagi. Selain itu, klub juga lebih intens dalam pembinaan pemain muda akademi atau kompetisi internal.
Dari sini, diharapkan muncul bibit-bibit generasi baru pesepakbola berkualitas yang siap bersinar dan membawa Garuda terbang tinggi di kancah internasional. Semoga aturan ini bisa mulai dipikirkan dan dieksekusi pada 2023 atau 2024 mendatang.
2Regulasi Financial Fairplay Ala Indonesia
“Kontak saya diblokir. Telpon tidak nyambung. Mereka semua lari dari tanggung jawab,”. Pernyataan mantan penggawa Kalteng Putra beberapa waktu lalu (via JP) soal tunggakan gaji ini sangat memalukan bagi sebuah klub profesional.
Saya teringat dengan pembahasan pak Azrul Ananda dalam kuliah tamu di UM Surabaya, beliau menyinggung soal kontestan tim Liga 1 yang masih menerapkan “how high can you go” dan tidak adanya Salary Cap (sejenis Financial Fairplay). Bebas lan karep e dewe, sebab belum ada regulasi yang mengatur secara khusus bagaimana seharusnya laporan keuangan tim.
Bagi tim yang “sudah mapan”, ini bukan sebuah masalah. Namun bagi tim yang (mohon maaf) “biasa saja”, ini salah satu potensi besar yang mengakibatkan terjadinya tunggakan gaji.
Klub harus merencanakan keuangan dengan tepat dan presisi untuk menghindari hal-hal memalukan seperti itu. Maka, PSSI perlu mulai memikirkan sebuah regulasi khusus dan spesifik soal laporan keuangan tim sesuai dengan keadaan disini agar lebih cocok dan pas ketika diaplikasikan nantinya.
Harapannya, dengan adanya regulasi dan pencerahan soal regulasi finansial, klub akan mengerti bagaimana mengelola rencana keuangan secara baik dan presisi.
Misalnya di awal musim, tim harus bisa memastikan bahwa budget yang dimiliki akan cukup untuk membiayai tim selama semusim, tanpa bergantung terlalu banyak ke sumber tidak menentu (misalnya tiket, atau subsidi wkwk). Artinya klub akan diarahkan untuk lebih mengandalkan sumber pemasukan yang pasti daripada yang tidak pasti.
Sehingga penulis berpendapat bahwa klub perlu melakukan rencana keuangan sebelum Liga 1 dimulai. Pemasukan fixed atau pasti yang berasal dari sponsor serta yang lainnya minimal harus mencakup 50% dari rencana pengeluaran klub selama semusim. Ini penting karena jika dilakukan, satu kaki klub sudah berada di zona aman. Misalkan sebuah tim memiliki rencana pengeluaran sebesar Rp 30 Miliar, maka total pemasukan fixed minimal harus Rp 15 Miliar.
Sedangkan 50% sisanya akan ditutupi oleh pemasukan “tidak menentu” seperti subsidi liga, hak siar, merchandise, serta tiket dengan memperhatikan perhitungan aman.
Tidak menentu maksudnya nilai dari sektor ini bisa naik-turun alias tidak saklek. Perhitungan aman artinya potensi seluruh pemasukan “tidak menentu” ini melebihi batas minimal, misalkan totalnya Rp 20 Miliar. Sehingga tim ini bisa dikatakan melakukan perhitungan aman karena kekurangan 50% dari tim “hanya” Rp 15 Miliar.
Selanjutnya, dengan menggandeng lembaga independen untuk memastikan laporan keuangan tim baik, maka sepak bola Indonesia sudah selangkah lebih maju. Karena ini bukan soal tim kaya atau tim biasa saja, tapi soal merencanakan keuangan yang baik agar tidak terjadi hal memalukan seperti tunggakan gaji.
3Upgrade Fasilitas Kompetisi EPA
Elite Pro Academy yang mulai dijalankan pada 2018 lalu menjadi “mesin” baru penghasil pemain berkualitas di Indonesia. Pembagian piramida levelnya pun cukup baik, dengan tiga level mulai U-16, U-18, hingga U-20. Jumlah laga yang dijalani juga terbilang cukup, setidaknya untuk melihat pemain yang potensial.
Namun salah satu hal yang masih menjadi kendala mungkin adalah kualitas lapangan bertanding. Selama ini pertandingan memang tidak dilangsungkan di stadion kelas Liga 1, kecuali pada fase tertentu seperti semi final ataupun final. Kualitas rumput lapangan mayoritas belum baik. Apalagi lapangan tersebut dipakai dengan intensitas pertandingan yang cukup tinggi.
Nah, yang perlu jadi pertimbangan PSSI dan LIB adalah upgrade kualitas lapangan tersebut sehingga rumput yang ada menjadi rata. Pemain akan lebih enjoy untuk menampilkan peforma terbaiknya. Bahkan jika perlu, disediakan opsi lapangan rumput sintetis supaya menambah pengalaman pemain.
PSSI dapat bersinergi dengan kontraktor yang khusus menangani rumput lapangan untuk mewujudkan upgrade fasilitas ini. Harus keluar dana memang, namun ini semua demi kebaikan sepak bola Indonesia untuk generasi yang akan datang.
4Prioritaskan Jadwal Akhir Pekan
Dari tahun ke tahun, permasalahan jadwal nyaris selalu “menghantui” kompetisi sepak bola Indonesia. Berbeda dengan jadwal tim Eropa yang lebih banyak digelar pada akhir pekan.
Liga Indonesia justru sebaliknya. Penjadwalan terkesan amburadul dan kejar tayang. Hingga akhirnya muncul tudingan salah satunya karena “intervensi” yang dilakukan oleh televisi selaku pemilik hak siar. Hal yang masuk akal memang, mengingat di Liga Inggris misalnya, mereka punya banyak saluran televisi sehingga bisa menyiarkan lebih dari satu pertandingan dalam waktu yang bersamaan.
Apabila hal ini tidak segera dicari solusi, maka yang paling terkena dampaknya adalah penonton atau suporter. Pertandingan di hari kerja, terutama sore hari, jelas sesuatu yang berat karena setiap penggemar memiliki kesibukan masing-masing.
Akibatnya pemasukan klub dari segi tiket ikut tersendat karena stadion sepi. Padahal, sejatinya sepak bola adalah sarana hiburan bagi masyarakat. Harapannya, dalam jangka waktu 2021 hingga 2023 mendatang PSSI dan LIB sudah bisa mengatasi permasalahan ini. Entah dengan menggandeng lebih banyak broadcaster lagi atau apapun wes, pokoke bisa bermain mayoritas di akhir pekan.
5Pembagian Hak Siar/Komersil yang Jelas
Selama ini, sulit bagi sebagian kita untuk mengakses informasi soal pembagian hak siar kepada klub peserta Liga. Berapa nominalnya, dan bagaimana metodenya. Beberapa waktu lalu muncul artikel tentang hal ini dimana LIB melalui Cucu Somantri berencana akan membagi rata uang hak siar kepada klub.
Sebenarnya pembagian ini akan lebih baik jika berkaca dari Premier League. Iwan Iwe dalam rubrik Green Inside nya pernah mengulas soal pembagian 50-25-25 ala Liga Inggris, dimana 50 persen akan dibagikan merata ke semua tim, lalu 25 persen berdasarkan posisi di klasemen akhir kompetisi, dan 25 persen lagi sesuai banyaknya pertandingan klub yang disiarkan langsung. Sebuah konsep yang lebih menarik dan terlihat fair.
PSSI dan LIB perlu untuk merumuskan pembagian hak siar ini demi kemajuan sepak bola Indonesia dari sisi industri. Nominal hak siar memang sebenarnya tidak disarankan menjadi acuan utama keuangan klub Indonesia (karena disini pembagiannya tidak jelas), namun ketika cair uang tersebut bisa menjadi angin segar bagi klub. Bagaimanapun, hak siar adalah hak setiap klub.
Itulah lima catatan singkat saya. Semoga dari semua itu ada yang terwujud selama 2021 hingga 2023. Lebih-lebih jika terwujud seluruhnya. Demi sepak bola Indonesia yang lebih baik.
Salam Satu Nyali, WANI!