“Thailand sangat kuat. Apalagi Thai League-nya menghuni peringkat 1 di kompetisi Asia Tenggara…Tidak mudah untuk meningkatkan level tim nasional bila kompetisi domestiknya tidak mendukung untuk itu.” ucap Shin Tae-yong (pelatih timnas Indonesia) beberapa waktu lalu.
Pernyataan pelatih timnas asal Korea Selatan di atas seharusnya disadari oleh seluruh stakeholder persepakbolaan tanah air. PSSI, klub, pemain, suporter, dan pemerintah harus bergerak memperbaiki kompetisi lokal demi terciptanya prestasi timnas atau klub di level internasional. Semua stakeholder ini tidak boleh bawa perasaan terhadap kritik yang menimpanya, tetapi menjadikan kritik itu sebagai dorongan ke arah yang lebih baik.
Sepak bola adalah salah satu cabang olahraga di Indonesia, yang miskin prestasi dalam 20 tahun belakangan. Timnas ataupun klub sama-sama memalukannya! Menurut akun twitter @FootyRankings, timnas Indonesia setelah gelaran AFF CUP 2020 berada di peringkat FIFA 164 (FIFA belum merilis rangking per Januari 2022). Sedangkan Liga Indonesia menempati urutan 26 dalam AFC Club Competitions Ranking 2021. Fakta ini menunjukkan bahwa sepak bola Indonesia jauh tertinggal dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
Pertanyaannya kemudian, apa yang salah dengan sepak bola Indonesia?
Pertama, kita lihat kondisi klub-klub liga Indonesia yang di atas kertas dikatakan profesional (liga 1 dan 2). Apakah benar sudah profesional?
Pada 2021, klub Indonesia yang berhak mendapatkan lisensi AFC hanya 9 klub. Padahal, AFC sudah memberikan panduan berupa Club Licensing Cycle kepada seluruh klub untuk bisa disebut sebagai sebuah tim sepak bola profesional. AFC Club Licensing Cycle ini mensyaratkan lima unsur: olahraga, infrastruktur, administrasi personil (pelatih dan staf), legal, dan finansial. Hal-hal mendasar seperti ini saja diingkari, lantas bagaimana menjalankan manajemen klub dengan baik dan menciptakan pemain-pemain profesional. Sangat meragukan.
Klub liga 1 dan 2 yang memiliki home base (stadion) sesuai standar AFC atau FIFA bisa dihitung jari. Ini berdampak pada pertandingan Liga 1 dan 2 dalam kondisi lapangan yang banjir saat hujan, serta pantulan bola tidak jelas akibat tanah yang tidak rata. Liga 1 dan 2 pada 2021-2022 dikecualikan, karena kompetisi berlangsung terpusat dan stadion dipilih federasi. Selain buruknya lapangan, kebanyakan stadion juga belum single seat. Stadion klub Indonesia juga banyak yang belum aksesibel bagi penyandang disabilitas. Terakhir terkait stadion, belum adanya larangan merokok bagi penonton di kompetisi Liga 1 dan 2. Ini menjadikan kompetisi tidak ramah ditonton bagi wanita hamil dan anak di bawah umur. Padahal, AFC dan FIFA sudah memberikan panduan stadion yang layak digunakan dalam suatu pertandingan sepak bola profesional.
Berapa klub yang memiliki fasilitas training ground? Kita sering melihat klub berpindah-pindah tempat latihan, bahkan rutin melakukannya di stadion utama. Penggunaan stadion utama untuk latihan rutin tentu berdampak pada menurunya kualitas rumput. Lebih mirisnya lagi, anak-anak muda potensial yang tergabung dalam kelompok umur harus berlatih dan bertanding di lapangan yang tidak layak. Hal ini bisa dilihat pada pertandingan kompetisi internal klub, kompetisi PSSI Elit Pro Academy, Soeratin Cup, dll. Bandingkan dengan pertandingan kompetisi kelompok umur di Jepang, Korea Selatan, atau Eropa, yang digelar di lapangan berkualitas baik.
Hal tidak profesional lainnya yang terus dilakukan oleh klub adalah memaksa mengambil pelatih di bawah standar. Padahal ini jelas melanggar peraturan yang ada. Sehingga yang terjadi adalah klub memanipulasi peraturan. Contoh yang terjadi baru-baru ini: Bali United pada awal musim ini mendaftarkan pelatih utama sebagai manajer dan pelatih kiper sebagai penerjemah; kedua, Persipura mendaftarkan pelatih kiper sebagai kit man; Persiraja mendaftarkan pelatih kepala yang belum sesuai standar yang ditetapkan. Masalah lain yang harus diselesaikan klub Indonesia adalah kontrak dan gaji pemain. Kasus terakhir yang sempat viral menimpa Alex Dos Santos dengan Tira Persikabo, bahkan kasus ini sampai melibatkan presiden Brazil.
Klub-klub liga Indonesia harus sadar diri sebagai tim olahraga profesional, tidak hanya berpikir “yang penting ada pertandingan”, dan mendapatkan keuntungan ekonomi semata. Klub harus punya rencana secara sustainable dalam jangka 5 bahkan 20 tahun mendatang, dan minimal bertindak serta dikelola sesuai AFC Club Licensing Cycle.
Kedua, permasalahan pengelolaan PSSI dan liga. Apa yang salah dari dua hal ini?
Pengurus PSSI masa jabatan 2019-2023 banyak yang terlibat ikut mengelola klub peserta kompetisi. Nama-nama yang diketahui melakukan ini adalah Iwan Budianto mempunyai saham di Arema FC, Pieter Tanuri di Bali United, Haruna Soemitro di Madura United, Yoyok Sukawi di PSIS Semarang, dan mungkin ada lainnya yang tidak terungkap. Rangkap jabatan ini dapat menimbulkan konflik kepentingan. Dimana seorang yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan dapat bertindak sesuai kepentingan pribadi, atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya, sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya.
Selanjutnya terkait pelaksanaan liga 1 dan 2 musim 2021-2022. Ketika kompetisi di negara lain sedang berdiskusi dan memperdebatkan penggunaan video assistant referee (var), di Indonesia masih berkutat soal hal-hal mendasar yang seharusnya tidak terjadi dalam kompetisi sepak bola profesional.
Beberapa yang menjadi sorotan publik adalah penggunaan jersey kiper tidak boleh sama dengan lawan dan wasit. Ini terjadi saat pertandingan putaran pertama lalu antara Persipura vs Persita, Persela vs Persik, dan Arema vs Persebaya. Kemudian ada kejadian pemain salah menggunakan jersey, dan klub memainkan pemain yang belum terdaftar di operator liga. Contoh dalam kasus ini terjadi pada pertandingan Persija vs Persipura, dimana Riko Simanjuntak memakai jersey tidak sesuai dengan nomor punggungnya; dan Jandia Eka Putra memakai jersey atas nama Joko Ribowo pada pertandingan PSIS vs PSM. Kasus klub memainkan pemain ilegal terjadi saat PSG Pati menurunkan I Gede Sukadana bertanding melawan Persis Solo dalam fase grup Liga 2.
Permasalahan klasik lainnya yang belum terselesaikan perihal kinerja wasit. Kompetisi liga 1 dan 2 musim 2021-2022 banyak diwarnai keputusan salah dari wasit. Terutama terkait offside dan pelanggaran yang terjadi di lapangan. Kualitas wasit seperti ini seharusnya dapat diatasi oleh PSSI, dengan mendorong seluruh wasit dan asisten wasit untuk mendapatkan lisensi FIFA. Data menunjukkan wasit Indonesia hanya 5 orang dan asisten wasit sebanyak 7 orang, yang memegang lisensi FIFA.
Berbagai permasalahan di atas adalah tanggung jawab semua stakeholder, sesuai dengan kuasa dan wewenangnya. Jika permasalahan ini tidak dapat diselesaikan, maka jangan harap sepak bola Indonesia dapat berprestasi di level internasional.
Name: Mohammad Imam Faisal
Address: Ds. Sumuragung RT/RW 09/03, Kec. Sumberrejo, Kab. Bojonegoro. Jawa Timur 62191
Twitter: @fafaapapa
Medium: @fafaa