Latar belakangnya adalah pasca pandemi Covid – 19. Persebaya finish di peringkat kelima liga Indonesia 2020-2021, dan Liga selanjutnya masih dipenuhi tanda tanya.
Biasa lah Liga Indonesia sebelum ada pandemi saja serba tidak pasti karena jadwal bentrok dengan kalender timnas juga masalah sponsor dan pembagian hak siar yang selalu saja menimbulkan ketidakpastian. Apalagi ini pasca pandemi kondisi ekonomi dan sosial tentu juga akan mempengaruhi Liga sepakbola sebuah negara. Hal ini tentu menjadi pilihan yang sulit untuk pengelola klub sepak bola.
Tetapi sepakbola tetaplah sepakbola, sebuah olahraga yang mempunyai daya tarik yang luar biasa, maka tidak heran juga dalam kondisi yang serba sulit pun olahraga ini masih menjadi magnet buat para investor untuk menjajal peruntungan di bidang ini.
Pengusaha yang kita kenal dengan Crazy Rich baru banyak yang terjun ke sepak bola tahun ini seperti Raffi Ahmad atau Juragan 99. Ini juga yang menjadi penyebab naiknya harga gaji dan juga kontrak pemain di tengah situasi ekonomi nasional yang serba sulit pasca pandemi.
“Tinggal sekarang kita pilih menjadi rasional atau ikut ikutan Gila” demikian yang dikatakan manajer Persebaya yang baru Yahya Alkatiri saat itu, ketika ditanya tentang kondisi Persebaya di sebuah podcast. Dan Persebaya memilih untuk rasional dalam mengelola klub ini, dari banyak alasan yang disampaikan oleh manajemen memang sangat masuk akal.
Pernah di sebuah konten youtube Presiden Persebaya Azrul Ananda berkata bahwa kondisi sosial ekonomi pasca pandemi akan sangat dirasakan di sekitar setahun setelah pandemi berakhir dan itu mulai kita rasakan dengan ada nya kenaikan BBM dan gejolak ekonomi di sana-sini.
Bisa kita bayangkan bahwa biaya operasional sebuah klub juga pasti melonjak setelah adanya kenaikan BBM, ini hanya contoh kecil dari imbas kondisi pasca pandemi.
Akhirnya Persebaya memilih mengorbitkan pemain-pemain muda dengan kontrak jangka panjang dan mungkin dari sisi harga kontrak pemain tidak semahal pemain-pemain yang sudah berpengalaman.
Target dari manajemen bahwa musim ini Persebaya finish di urutan ketiga klasemen, menurut penulis sangat bisa diterima jika melihat banyak gambaran kondisi diatas akan tetapi yang tidak disadari oleh manajemen adalah klub-klub lain selain Persebaya tidak melakukan hal yang sama.
Kita lihat Persija belanja pemain asing yang boleh dibilang kelas atas untuk ukuran pemain asing Indonesia, belum lagi Persib menggunakan jasa pelatih tingkat dunia juga yaitu Luis Milla, bahkan RANS yang pendatang baru di liga Indonesia mampu mendatangkan Makan Konate yang juga pemain asing tingkat atas di Liga Indonesia.
Ibarat kata mungkin musim ini seperti start lomba lari Persebaya memilih mundur satu langkah untuk menyehatkan kondisi finansial klub tetapi tanpa diduga klub lain justru maju selangkah dengan tetap jor-joran membeli pemain dan pelatih dengan harga setinggi langit yang terjadi adalah permainan Persebaya kalah kelas dibanding klub lain.
Tapi keputusan sudah diambil Presiden Azrul Ananda memilih mundur dari posisinya yang harus disikapi semua pihak dengan sikap sabar dan legowo. Toh bukan hanya Persebaya kalau kita lihat banyak klub elite dunia seperti Real Madrid atau Manchester United juga sering terjadi permasalahan antara manajemen klub dengan suporter ataupun sebaliknya.
Kalau mengutip pernyataan manajer Persebaya diatas mungkin ada benarnya, Pilihannya di liga Sepakbola Indonesia saat ini adalah “kita ikut-ikutan Gila atau kita dipaksa ikut Gila”
Tetap semangat Bonek dan juga Persebaya