Sabtu 1 Oktober 2022, Sabtu kelam dalam sejarah sepakbola di Indonesia. Sebagai Bonek yang harusnya malam itu bersorak sorai di jalanan Kota Surabaya merayakan kemenangan Bajul ijo di Malang, setelah setidaknya hampir 23 tahun Persebaya tidak pernah menang di Malang.
Tetapi malam itu berbanding terbalik dengan ekspetasi arek-arek bonek sekalian, bagaimana tidak laga derby yang tensi rivalitasnya hampir seperti derby antara River Plate dan Boca Juniors itu harus memakan korban jiwa ratusan orang. Tidak banyak kata-kata yang saya lontarkan malam itu setelah saya mendengar berita yang menggusarkan hati di Malang dini hari itu selain “Ya Allah Kok isok”
Seperti yang masih dalam ingatan kami 3 Juni 2012 ( Arapagani ) gas air mata di Gelora 10 Nopember kala Persebaya menjamu Persija yang mengakibatkan salah satu saudara kami meregang nyawa di stadion.
Lagi dan lagi gas air mata adalah penyebab kekacauan massa. Kanjuruhan hari itu bukan lagi menjadi sebuah stadion sepak bola, bukan pula stadion sebagai sarana hiburan keluarga melepas penatnya 6 hari bekerja. Bukan pula menjadi sebagai ruang melepaskan euforia supporter dalam laga derby tetapi Kanjuruhan hari itu menjadi saksi bisu meregangnya nyawa ratusan orang tak bersalah, ratusan orang yang meninggal terinjak injak.
Ratusan orang sesak nafas akibat racun pembunuh saat perang dunia ke 2 itu!. Tak disangka patch invansion yang dilakukan beberapa supporter Fanatik hari itu menyebabkan reaksi berlebihan dari aparat keamanan, hari itu banyak sekali kekacauan kekacauan di stadion hingga menyebabkan anak kecil tak berdosa meregang nyawa, anak yang ditinggal orangtuanya dan juga ada calon suami istri yang belum sempat menikah namun lebih dulu meninggal akibat chaos hari itu. Sepakbola yang harusnya menjadi sarana hiburan masyarakat menjadi kuburan massal bagi masyarakat Indonesia, Ngeri!.
Ini adalah salah satu bukti kegagalan PSSI dalam melaksanakan gelaran pertandingan yang aman dan nyaman bagi supporter, pemain dan masyarakat umum. Serta cerminan buruk apparat keamanan dalam pengendalian massa ketika terjadi crowded akibat tensi rivalitas yang amat tinggi.
Hastag berduka kembali mengudara, ucapan bela sungkawa kembali terucap, ajakan perdamaian kembali merebak. Namun apakah hal tersebut bisa mengembalikan nyawa yang telah berpulang atas peristiwa tersebut ? TIDAK.
Rivalitas yang berlebihan ditambah reaksi aparat yang berlebihan mengakibatkan ratusan nyawa itu meregang nyawa sia sia hanya karena sepak bola. Lantas setelah ini apalagi? Saya yakin, hastagnya akan meredup, ego yang sementara melunak akan kembali meninggi, rivalitas yang sudah melunak akan kembali mengeras derby akan berlanjut kembali.
Perdamaian hanya sementara ketika massif mengucapkan bela sungkawa. Tapi? Tanah makam mereka akan kering, keluarganya? Akan selamanya membenci syal dan jersey yang tersimpan di lemari kayu rayapan itu.
Sepak bola Indonesia layaknya sebuah bom waktu yang kompleks dengan segudang masalahnya mulai dari KKN Pengurus PSSI-nya, Regulasi yang tidak pernah ditaati oleh federasi, rivalitas buta antar supporter dengan tensi kedaerahan. Liga yang busuk tanpa prestasi dengan segudang kontroversinya. Sewaktu waktu meledak dengan momentum masalah yang sebegitu kompleksnya!
Habbit yang tidak sehat untuk sepak bola Indonesia! RIP Aremania!
Sudah saatnya Revolusi besar besaran dilakukan! Sudah selesai nyawa yang tak berdosa meninggal akibat rivalitas salah kaprah maupun akibat kebrutalan aparat keamanan! No Justice No Peace!
Semoga tidak ada lagi ibu yang berkata “Anak saya cuman nonton bola”
Ditulis oleh
Rizky Syahputra mahasiswa Untag Jurusan Administrasi Publik