Pertandingan Persik Kediri kontra Persebaya yang berlangsung di stadion Maguwoharjo, Sleman diwarnai aksi berat sebelah dari sang pengadil lapangan Ginanjar Rahman.
Mulai dari pinalti Persik yang didapatkan dari diving Faris, dan kontroversi terakhir kiper Persik yang melakukan body charge kepada Ahmad Nufiandani, namun protes pemain Persebaya tidak digubris oleh wasit.
Belum selesai surat layangan Persebaya atas kinerja wasit dalam pertandingan Persebaya vs Persib, kini Persebaya harus dirampok lagi oleh keputusan kontroversial wasit.
Laman lini masa juga diwarnai kekecewaan Bonek dan penggemar sepakbola atas keputusan wasit yang merugikan. Bisa jadi mungkin suatu saat team yang mereka dukung akan mengalami hal yang sama.
Bahkan ada yang berharap Indonesia segera memiliki perangkat VAR ( Video Assistant Referee) untuk membantu wasit memutuskan apa yang seharusnya dilakukan di lapangan.
Memang asal-usul VAR juga sudah lama, dirancang 2010, dan diuji cobakan pada liga Belanda. Dan VAR secara resmi digunakan secara luas saat pagelaraan Piala Dunia 2018, sebuah helatan piala dunia yang menghasilkan banyak pelanggaran, tendangan bebas dan pinalti.
Sebuah keputusan yang didukung teknologi yang bagi saya sedikit membunuh sepakbola dengan drama, namun terkadang saya juga sulit memahami jika keputusan kontroversial wasit selalu sama dan tidak ada pembenahan dalam setiap tahun nya.
Kita ambil contoh 2022 ada sejumlah nama wasit sekitar 18 wasit mendapatkan saksi berupa hukuman larangan memimpin pertandigan, lantas apa?
Yap.. tidak ada perubahan dari penampilan wasit berikutnya, kesan hukuman ini selayaknya hanya sebagai aturan biasa, mengingat masih ada kejanggalan keputusan wasit yang lainya.
Harusnya PSSI lewat komite wasit memberikan sebuah pelajaran intensif mengenai wasit, bukan hanya soal Reward dan Punishment, namun ada sarana latihan dan bagaimana menentukan sebuah keputusan.
Kami tahu VAR memang sedikit membunuh sebuah drama tapi tidak seperti yang dikatakan salah satu petinggi PSSI Iwan Budianto pada tahun 2019 saat itu yang mengatakan VAR membunuh drama. Bagi saya ini hanyalah alasan klasik jika sebuah organisasi dinilai malas melakukan perubahan ke arah lebih baik.