Sepak bola merupakan olahraga yang paling sukses memukau jutaan penonton setianya. Seorang legenda Manchester United, Gery Neville, berkata, “Di mana pun sepak bola akan memiliki penikmat setianya.”
Hal demikian yang membuat munculnya sebuah pasar industri sepak bola modern yang pada akhirnya menciptakan suatu kelas baik di kalangan suporter maupun pemain. Modern football telah berkembang pesat di benua biru dan merambat ke seluruh penjuru dunia. Dampak yang muncul adalah mengkelaskan sebuah pemain bercap timnas yang akhirnya gencar diperebutkan oleh tim-tim elite. Tak tanggung-tanggung sebuah tim elite rela menggelontorkan uangnya demi sebuah label ataupun eksistensi. Walaupun pada akhirnya mereka lebih mementingkan sebuah tren daripada harus membibit dari akademi mereka sendiri.
Sekitar tahun 90-an, ada dua klub tersohor dengan sebuah kejayaannya sebagai klub Ibukota dalam lingkup yang berbeda. Lahir di tahun yang sama, Persebaya dan AS Roma merupakan klub yang bisa mencetak pemain-pemain berlabel timnas bagi negaranya masing-masing. AS Roma melahirkan Francesco Totti dan Persebaya melahirkan Mat Halil yang pada akhirnya keduanya menjadi pahlawan yang berjuang walaupun klubnya merasakan pahitnya liga.
Pangeran Totti merupakan pemain jebolan akademi AS Roma yang memulai karir tahun 1989 hingga akhirnya menjajal timnas Italia muda sampai senior hingga menjadi kapten dalam Piala Dunia 2006. Sejumlah pencapaian dimilikinya hingga akhirnya klub sekelas Real Madrid mengincarnya. Namun kesetiaannya kepada AS Roma harus membuat Real gigit jari. “Mungkin aku pernah berselingkuh dengan pacarku, tapi tidak dengan As Roma,” ujar pangeran Totti.
Selain itu, Totti merupakan sosok yang paling disegani oleh Romanisti. Kepemimpinannya di lapangan serasa tak tergantikan walau di akhir karirnya, ia hanya penghuni bangku cadangan. Nama Totti selalu terpampang di banner dan hand banner para Romanisti. No Totti No Party itulah yang bisa digambarkan betapa besarnya jasa sang pangeran untuk Serigala Ibukota.
Tak berbeda dengan Roma, begitu juga terjadi di Surabaya yang melahirkan seorang bocah bernama Mat Halil. Ia memulai karir di tahun 1999 dan menjajal Persebaya hingga ia terpaksa gantung sepatu karena regulasi. Mat halil juga pemain yang pernah menjajal timnas sampai memiliki label pemain bagus hingga dilirik tim elite kala itu.
Dia pernah mengungkapkan, “Saya asli Surabaya dan dibina Persebaya, saya sudah cinta sama Persebaya. Saya tidak akan meninggalkan Persebaya. Tapi ketika Persebaya dibekukan saya pernah bermain untuk Sidoarjo, tapi itu cuma sebentar.”
Kesetiaanlah yang membuat Mat halil kembali walaupun rela tak digaji. Bahkan sosok Mat halil adalah satu-satunya ikon Persebaya dikala menggantungnya status Persebaya di PSSI. Namanya pernah menggeser Cristian Carassco yang menjadi salah satu legendaris Persebaya.
Hal tersebut bisa menggambarkan bahwa Mat halil adalah salah satu aktivis Persebaya yang berjuang di lapangan ketika Persebaya tertatih-tatih. Pengabdiannya terhadap bajol ijo tak akan pernah terlupakan.
Dua pemain tersebut adalah sebuah gambaran di mana di kala modernisasi sepakbola mengubah wajah sepak bola dengan bahasa materialisme. Tetapi keduanya masih memikirkan sebuah pengabdian terhadap dua klub yang membesarkannya dan lebih mengesampingkan materi. Terbukti cita-cita sebagai pemain sepak bola profesional telah terkabulkan dengan segala gelar yang diraih dengan kesederhanaan yang dimiliki kedua pemain ini.
Inilah yang dinamakan sebuah jatuh cinta, di mana ia tak berkhianat dan mengerti rumah dan asalnya. Sepak bola akan selalu memiliki wajahnya masing-masing. Oleh sebab itu sepak bola adalah perjuangan, cinta dan kebanggaan. (*)