“Salam satu nyali!”
“Wani!”
“Salam satu nyali!”
“Wani!” jawab serempak sembari tangan kiri yang dihantamkan menghadap ke angkasa.
“Bonek bersatu!” seru pusat komando.
“Tak bisa dikalahkan!” jawab seluruh massa yang menghijaukan jalanan.
Teriakan-teriakan ritual, sulutan yang menggema, pemompa bara semangat yang tanpa sadar menjadi pagar asa perjuangan agar tidak berhenti tunduk dan menyerah begitu saja. Arek Bonek 1927, paradigma harapan tentang perjuangan di tengah ketidakstabilan nilai-nilai yang menguasai. Kesetiaannya terhadap sang kebanggaannya tak sekali dua tiga kali diuji. Dihantam bertubi-tubi, dibenturkan berkali-kali, sekarat… hingga “sempat mati” pun tak memadamkan gelora perlawanan Bonek dan melepaskan genggaman atas asa gumpalan perlawanan sebagai isyarat bahwa “Kami akan terus melawan sampai nanti, sampai mati!”. Kedigdayaan federasi yang jelas menjadi lawan nyata bagi Arek Bonek 1927 sama sekali tak menciutkan nyali perjuangan yang mulia, mengembalikan marwah Persebaya yang menjadi pusaka budaya dari Mbah Pamoedji dan Paidjo dan kawan-kawan seperjuangan yang kala itu sengaja membentuk perlawanan dari dominasi kaum Benua Biru yang mendominasi tanah air tercinta.
Tirani vs Satu Nyali
Di era 45, pertama kali pertempuran mempertahankan kemerdekaan bangsa ini tergelar di Surabaya. Tipu daya sekutu dan sejumlah rentetan peristiwa-peristiwa kecil hingga pencatatan sejarah baru pertama kalinya Jenderal Inggris di Asia Pasifik mati di tangan Arek-arek Suroboyo. Kematian AWS mallaby oleh Arek-arek Suroboyo menjadi pemercepat sumbu perang 10 November yang dijuluki Hell of East Java berkat heroisme Arek-arek Suroboyo yang menunjukkan jiwa Bonek itu kepada para sekutu. Ultimatum yang dilakukan sekutu agar para pejuang menyerah sama sekali tidak digubris. Lecutan semangat oleh Bung Tomo yang tersebar melalui radio semakin membarakan Bonek-Bonek yang menyerukan “Merdeka atau mati!”. Target menaklukkan Surabaya dalam waktu 3 hari sangat jauh di luar perkiraan. Gigihnya perlawanan memaksa perang kota berlangsung selama 3 minggu. Sebuah peristiwa besar hingga satu-satunya di dunia, Surabaya mendapatkan julukan Kota Pahlawan. Peristiwa yang akan terus diingat oleh anak cucu Bung Tomo.
Hal yang kembali diulangi, dengan skala dan tujuan yang tak sama. Perjuangan mission impossible, perlawanan di luar nalar yang diperagakan cucu-cucu Bung Tomo sama sekali di luar rencana peta perkiraan para kartel perusak sepakbola di negeri yang ingin Persebaya hangus dari dunia persepakbolaan tanah air. Pergerakan arek-arek yang masif dan intensif membuat mereka kelabakan dan mengeluarkan strategi-strategi yang menunjukkan sikap bertolak belakang dengan kedigdayaanya. Arek Bonek 1927 yang mengkombinasikan taktik kuno dengan pergerakan masif yang dipadu dengan pemikiran-pemikiran solutif yang tentunya bermuara kepada “Kebangkitan Persebaya Adalah Harga Mati” membuat federasi bergeming. Upaya penggembosan kekuatan, pelemahan mental, penyempitan ruang gerak, intimidasi terhadap penggerak, propaganda, dan pembungkaman suara ternyata mampu dihantam balik oleh semangat Satu Nyali bersama yang diusung Arek Bonek 1927.
Yang federasi sangka bakal terjadi reduksi, sebaliknya malah semakin melipatgandakan bara juang yang membara. Lebih baik kelaparan karena mempertahankan harga diri daripada kenyang karena suap, lebih baik kami menderita menjaga pusaka budaya daripada bergembira. Namun, lupa sejarah. Lebih baik hancur lebur sekalipun daripada harus menyerah kepada gerombolan yang menyakiti Persebaya. 7 tahun perjuangan yang tak mudah, melawan dengan ketidakmampuan… meyakini kebenaran dan memperjuangkan selamanya. Gusti Allah mboten sare!.
Jiwa Korsa
Bagi saya yang belum banyak mengetahui yang diketahui orang lain, jiwa korsa adalah sebuah sikap satu jiwa sepenanggungan atau jika dalam istilahnya arek-arek sering disebut loro siji loro kabeh. Adalah sebuah sikap konkrit yang terbentuk dan terpupuk karena kesadaran kolektif yang selalu terjaga. Sangat sulit memang menumbuhkan jiwa korsa dalam sebuah kelompok besar, apalagi yang tidak terorganisir secara struktural, yang sifatnya cair dan dinamis meskipun ada tatanan-tatanan tidak mengikat yang disepakati dan dilaksanakan secara bersama-sama.
Jiwa korsa adalah rumusan positif di tengah derasan gelombang egosentrisme dan individualistik masyarakat modern pada umumnya yang terumus di dalam rasa tepo seliro (semangat kebersamaan, senasib sepenanggungan), saling ngajeni (menghormati yang lebih tua, nama baik kesatuan dan kebanggaan), seduluran saklawase (tidak mementingkan diri sendiri, kesetiaan, dan kemauan untuk berkorban) dalam jiwa korsa adalah dasar keharusan yang didalami oleh masyarakat karena siapapun yang benar-benar menjiwai sikap korsa, secara otomatis ia akan menjadi sentral karena jika korsanya telah menjadi stimulan bagi yang lain untuk saling menjaga satu sama lain.
Kenyataannya pun setiap manusia mempunyai jiwa-jiwa korsa yang berbeda parameternya dari tiap-tiap faktor yang tidak sama pula. Bonek pun juga punya jiwa korsa. Misalnya, yang sederhana… jika ada satu di antara Bonek sedang mendapatkan musibah kecelakaan dengan penuh kesadaran. Bonek yang lain akan mengumpulkan urunan dan menjenguk untuk sekedar memberi dukungsn moril dan meringankan beban atau juga contoh ketika Bonek terus berusaha untuk menjaga, memproteksi, melindungi nama besar Bonek sendiri dari perilaku-perilaku yang tak seharusnya.
Juga kita disempit, padat, spesifikan lagi… dunia militer yang sangat kental dengan apa itu Jiwa Korsa seperti tertuang dalam bahasa Perancis “Espirit de Corps” teori dari ahli perang ulung asal Perancis, Napolean Bonaporte, yang harfiahnya berarti semangat tubuh. Terminologi sederhana bahwa lingkaran yang memiliki kesadaran korsa adalah tubuh yang sudah berbagai job desknya masing-masing dan saling untuk berkolaborasi hingga tercapailah tujuan yang diinginkan. Contohlah ketika komponen-komponen organ tubuh merasakan haus yang kemudian direspon oleh rangkaian sistem saraf yang mengirimkan informasi kepada otak apa kebutuhan yang harus dipenuhi, hingga otak merespon dan mengirimkan sinyal kepada indra yang merasakan. Lalu indra mata yang bekerja melihat sebuah botol berisi air mineral di atas meja makan, otomatis otot merespon dan melangkahkan sepasang kaki yang laras ke arah berdirinya botol air mineral, disambung 5 jemari tangan kanan yang bekerja sama menggenggamnya direspon cepat oleh jemari tangan kiri untuk membukanya… hingga tertuanglah air itu ke rongga mulut yang siap menjadi pintu masuk tujuan kebutuhan sederhana itu.
Jiwa Korsa Bonek
Diandaikan ada 2 cermin yang bersebelahan… di setiap cermin satu ialah dihadapkan oleh seorang militer dan satu yang lain adalah Bonek, apa yang membedakan di antara keduanya? Keberanian, nyali, kenekatan? Tak diragukan diantara keduanya. Militansi, menembus batas, prinsip, cinta, dedikasi, loyalitas? Pembuktian itu sudah dilakukan di antara keduanya. Senasib sepenanggungan, kesetiakawanan, ikatan emosional? Bukan korsa kalau tidak menjiwai atas setiap prinsip-prinsip itu. Lalu apa? Mencolok yang membedakan adalah… hanya terletak pada peranan, fungsi dan tata letak tujuan saja. Militer bukanlah Bonek yang memiliki lingkup yang familiar dengan dunia sepakbola beserta sejuta ceritanya. Begitu sebaliknya, Bonek pun bukanlah latar belakang militer yang dipersenjatai untuk menjaga kedaulatan bangsa dari luar pagar. Dua itu memang mengandung jiwa korsa, dengan sedikit perbedaan yang lebih kedalam dan kultural seperti yang diperagakan oleh Bonek.
Bonek bukanlah organisasi yang struktural, pakem dan kaku dengan segala aturan baku. Bonek adalah mengalir, cair dan dalam sekejap muncul dari tanah. Yang menjadikan Bonek begitu solid dan tak mudah “dikalahkan” adalah korsa yang terus dijaga walau perputaran generasi terus terjadi. Pedoman seduluran saklawase, persaudaraan selamanya yang menjadi kekuatan terus diikatkan kepada setiap didalamnya menjadikan Bonek tidak mudah untuk ditaklukan. Semangat kebersamaan sama rata sama rasa terus dipupuk menjadi pertahanan tebal yang memudahkan perjalanan Bonek dalam menghadapi tantangan demi tantangan. Karena kebersamaan itu, “lawan” menjadi bingung untuk mendeteksi mana kepala mana tubuh dan mana ekor. Begitu fleksibelnya, yang disangka itu adalah kepala yang harus “dimatikan”, dalam sekejap bisa berubah menjadi ekor, kemudian ekor bisa berubah menjadi kepala, tubuh bertukar posisi dengan ekor, kadang menjadi kepala, terus seperti itu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Dari seduluran saklawase itu, muncul satu cabang kepada yang dinamakan tepo seliro, yang merupakan budaya jawa tentang unggah-ungguh, sopan santun dan sikap saling menghargai satu sama lain.
Menghargai kepada yang lebih tua juga memberi pengayoman kepada yang lebih muda. Bukanlah peraturan baku yang harus ditaati dan akan mendapatkan hukuman jika melanggar, namun dirasa ada semacam kesadaran kolektif dan pendidikan informal yang menganut nilai luhur itu. Lalu dicabang yang lain, juga muncul prinsip loromu loroku, tentang nasib satu rasa sepenanggungan yang terbalut di tubuh Bonek. Tidak ada yang merasa lebih diantara yang lain, juga tidak ada yang merasa kurang diantara yang lain. Jika satu mengalami “sakit”, menjadi otomatis yang lainnya juga merasakan “sakit” yang sama yang menjadi kewajiban bersama untuk menyembuhkan “sakit” yang diderita. Juga begitu ketika menghadapi kegembiraan, semua akan tersiratkan kegembiraan yang sama pula. Tidak ada yang tidak, semua akan dihadapi secara bersama-sama, gotong royong, bahu-membahu hingga tujuan tercapai dengan rasa bangga dan syukur. Diantara cabang-cabang itu muncullah medium yang disebut patriotisme. Patriotisme Bonek sudah tak terbantahkan. Yang terkadang tidak dimiliki oleh yang lain, Bonek sudah menembus lapisan-lapisan batas yang belum dilampaui oleh yang lain. Terlepas dari manfaat dan mudaratnya, mereka wani untuk melangkahkan kakinya tanpa terlalu mempedulikan apa yang akan terjadi. Butuh ketepatan antara keyakinan dengan ruang dan waktu untuk hal semacam ini, butuh semacam klik antara letak diri dan rangkaian konstelasi di waktu itu. Bonek sangat teruji melakukan itu, sangat ahli mempertunjukkan itu. Bonek tidak akan tinggal diam dengan segala upaya yang ingin menyentuh harga diri dan kebanggaannya, akan dengan segala cara mempertahankan dan melawannya. Tak perlu diragukan.
Jiwa korsa didalam Bonek, Bonek dalam setiap jiwa adalah karunia yang diberikan Tuhan jika kita mampu menemukan segala nilai-nilainya. Potensi-potensi Bonek haruslah dicari dan diasa secara bersama, hingga jika sudah saatnya… potensi Boneklah yang akan menjadi garda untuk kemajuan Bangsa Indonesia.
*) Bisa ditemui di @rifihadju