Sepakbola tanpa rivalitas suporter seperti sayur kurang garam. Hambar. Persaingan panas antar suporter merupakan bumbu penyedap dalam setiap pertandingan. Maka, saat kita menonton Real Madrid vs Barcelona, kita tak bisa melupakan aroma persaingan antara pendukung Madrid dan Barca.
Aroma kebencian pendukung Barca kepada Madrid sangat tinggi. Ini mungkin dilatarbelakangi penindasan yang dilakukan Jendral Franco, diktator Spanyol yang berkuasa antara 1936-1975, kepada Barcelona. Dia dikenal sebagai suporter fanatik El Real. Franco selalu menganggap orang-orang Catalan sebagai kelompok separatis yang wajib ditindak.
Pendukung Madrid juga membenci Barcelona. Klub berjuluk Blaugrana ini merupakan rival paling kuat Madrid dalam meraih gelar juara Liga Spanyol. Kedua klub saling berebut lambang supremasi tertinggi sepakbola Spanyol.
Kebencian di antara kedua kelompok suporter tetap abadi meski Franco telah tiada.
Namun, rivalitas panas itu tak lantas membuat masing-masing kubu bertindak kebablasan. Pendukung Barcelona selalu bisa menonton pertandingan klub pujaannya di kandang Madrid, Stadion Santiago Bernabeau. Begitu juga sebaliknya.
Kedua suporter juga tidak melakukan sweeping atribut, plat nomor, atau orang-orang yang dianggap sebagai pendukung klub lawan. Pendukung Barcelona tidak melarang pendukung Madrid memasuki kotanya. Mereka bisa duduk manis menonton pertandingan di Camp Nou.
Perang urat syaraf, kata-kata makian selalu ada menjelang dan sesudah laga klasik kedua tim. Namun ini tidak membuat para suporternya menjadi anarkis, saling melukai secara fisik atau bahkan menghilangkan nyawa.
Acungan jempol mungkin harus disematkan kepada RFEF, PSSI-nya Spanyol, yang bisa membuat atmosfir pertandingan menjadi kondusif. Mereka tak segan-segan menjatuhkan hukuman kepada klub yang pendukungnya berbuat anarkis. Sanksi pengurangan poin dan denda ratusan juta rupiah akan langsung dijatuhkan tatkala klub tidak bisa mengontrol para pendukungnya. Tak ada kompromi dalam penerapan sanksi. Ini membuat semua pihak percaya jika federasi tidak berpihak kepada satu kubu. Timbulnya trust membuat semua pihak menghormati aturan yang ada.
Kredit juga harus diberikan kepada pihak keamanan yang mampu menjaga keamanan para suporter away. Tugas keamanan dalam sebuah pertandingan memang mengamankan para suporter, bukan sekedar melarang suporter untuk datang ke stadion lawan.
Rivalitas yang tidak berujung tindakan anarkis membuat sepakbola menjadi hidup. Banyak pihak yang merasakan manfaatnya. Media-media akan berlomba-lomba mengulas preview pertandingan, bukan menulis tindakan anarkis para suporter. Ini membuat siapa saja enak melihatnya. Masyarakat akan merasakan dampak positif pertandingan. Para penjual seragam dan atribut tim bisa menjual barang dagangannya dengan aman. Masyarakat tidak akan merasa takut meski plat nomor mobilnya berasal dari kota asal klub lawan.
Rivalitas Suporter Tanah Air
Rivalitas antar suporter klub-klub tanah air terbentuk sejak Liga Indonesia bergulir. Beberapa persaingan panas terjadi. Misal antara Jakmania (Persija) dan Bobotoh (Persib). Atau yang tak kalah panas antara Bonek (Persebaya) dengan Aremania (Arema). Persaingan ini sayangnya lebih ke arah negatif. Persaingan panas sering berujung bentrok dan hilangnya nyawa suporter. Banyak ekses negatif yang ditimbulkan.
Hal ini patut disayangkan. Fanatisme yang seharusnya bisa menjadi bumbu penyedap seringkali membuat pertandingan terasa menakutkan. Masyarakat awam menjadi malas ke stadion. Wajar jika masyarakat menyematkan stigma negatif kepada kelompok suporter. Sepakbola yang seharusnya menjadi media hiburan berubah menjadi media teror menakutkan.
Saya tidak berharap persaingan panas itu hilang. Saya juga tidak mengharapkan Bonek dan Aremania bergandengan tangan dan berpeluk-pelukan di dalam stadion sambil menonton pertandingan. No way!. Sepakbola bukan ajang persahabatan suporter di dalam stadion. Sepakbola tidak mengenal koalisi. Yang ada hanyalah persaingan panas. Namun harus dicatat bahwa persaingan itu tidak lantas menimbulkan efek negatif berupa tindakan anarkis kedua suporter. Persaingan hanya berlangsung 2×45 menit. Setelah pertandingan berakhir, kita boleh mengumpat lawan serta melontarkan psy war. Namun masih dalam koridor sportifitas.
Peran PSSI dan Kepolisian Membuat Suasana Kondusif
Suasana kondusif dalam sebuah pertandingan harus diciptakan. Yang paling bertanggung jawab membuat sebuah pertandingan di Liga Indonesia menjadi aman adalah PSSI dan Kepolisian.
PSSI sebagai federasi sepakbola harus bisa membuat klub dan pendukungnya tidak berbuat anarkis. Misalnya, harus ada sanksi tegas kepada klub yang pendukungnya berbuat anarkis. Pengurangan poin atau denda ratusan juta rupiah bisa menjadi opsi. Mungkin sanksi itu sudah ada. Namun selama ini hanya menjadi macan kertas. Penerapannya sering tidak konsisten. PSSI juga tidak berani menjatuhkan sanksi kepada klub yang pendukungnya berbuat anarkis di luar stadion. Misalnya apa yang dilakukan Aremania saat men-sweeping Plat L dan merusaknya. Tak ada tindakan yang dilakukan PSSI. Ini membuat kejadian seperti ini akan selalu berulang.
Pihak kepolisian yang bertanggung jawab mengamankan pertandingan di dalam dan di luar stadion harus bisa menciptakan atmosfir yang kondusif. Setiap pelanggaran yang dilakukan pendukung klub wajib ditindak. Kepolisian bisa juga memberi sanksi larangan bagi suporter menonton pertandingan klubnya jika kedapatan berbuat anarkis. Jika ini konsisten dilakukan, maka suporter akan berpikir dua kali sebelum bertindak anarkis.
Kepercayaan kepada PSSI dan aparat penegak hukum harus ditingkatkan. Caranya, kedua lembaga ini menjaga kepercayaan suporter dengan tidak berpihak dan konsisten dalam memberi sanksi jika ada yang melanggar peraturan. Tanpa adanya kepercayaan, maka tindakan anarkis suporter akan tetap berulang. Sepakbola Indonesia selamanya akan terasa menakutkan. Rivalitas suporter tidak akan membuat untung namun malah membuat orang jadi buntung. (*)