Setelah kecewa berat atas hasil Pra Piala Dunia, kami remaja gila bola berharap PSSI bisa sukses di Sea Games 1977 Kuala lumpur. Dan sepertinya, harapan itu bakal terwujud.
Di depan layar kaca TVRI kami bersorak ketika eksekusi penalti Santokh Singh bisa ditepis Ronny Pasla, apalagi aku, yang jelas-jelas mengidolai.
Dan bersorak lagi “Goooolll…!!!” kala Iswadi Idris memperdayai kiper Malaysia Ramasamy Arumugam, gol, 1-0 untuk PSSI.
Berkali-kali kami menahan sorak sorai kala Hadi Ismanto menang adu lari lawan duet Soh Chin Aun – Santokh Singh namun belum menjadi gol. Dan akhirnya sorak sorai yang tertahan itu pecah jadi kenyataan menjelang laga usai, Hadi Ismanto, kanan luar PSSI asal Persebaya kebanggaan kami, mencetak gol, membenamkan tuan rumah Malaysia 2-1.
Dua laga berikutnya melawan Brunei (4-1) dan Philipina (1-1) tidak disiarkan, tapi PSSI yang menjadi juara grup akan ketemu Thailand di semi final. Kami yakin sekali bahwa Thailand akan digulung, karena squad PSSI SEA Games 1977 sungguh yahud, tim terbaik, warisan Pre Olympic 1976 dari Wiel Coerver.
Bermain di lapangan buruk akibat hujan, Hadi Ismanto berkali-kali mampu menerobos barisan bek Thailand dengan lari kencangnya, tetapi wasit Othman Omar dari Malaysia yang berat sebelah selalu meniup peluit. Suatu saat, di sisi kiri penalti Thailand Hadi Ismanto mengejar bola yang sepertinya akan out gawang. Tak disangka Hadi masih bisa mengirim trek ball dengan kaki kanannya, maksudnya mungkin mengumpan, tetapi saking kerasnya dan itu bola efek, sehingga malah masuk gawang, menipu kiper Nawee Sookying.
Indonesia unggul 1-0 dan sudah ditunggu tuan rumah Malaysia yang lebih dulu memastikan tiket final setelah membantai Burma 9-1. Rupanya publik Malaysia tidak menginginkan kita berhadapan lagi dengan mereka. Apapun caranya.
Semua pecinta bola senior sudah tahu cerita ini berakhir pilu. Setelah Sittiporn Pongsri berhasil menyamakan skor 1-1 via tendangan pojok, lalu terjadi tawuran massal, bahkan penonton Malaysia bisa memukul kapten Iswadi Idris dan Indonesia mogok lalu dinyatakan kalah WO, sesuai keinginan Malaysia. Thailand yang ke final dan akhirnya mereka gilas dengan skor 2-0 menandai kalungan medali emas sepakbola bagi Malaysia.
Remaja-remaja zaman Old yang memang hobby tawuran begitu geram melihat kejadian itu. Rasa-rasanya ingin nimbrung berkelahi menghajar wasit dan pemain-pemain Thailand. Seluruh rakyat Indonesia geram, sakit hati, dendam dan akan membalas di kesempatan lain.
Sudahlah, kita lupakan SEA Games 1977, di depan sudah menanti Kompetisi PSSI 1975-1977 di mana Persebaya sudah puasa gelar sejak tahun 1952.
Waduhhh, lama amat kita tidak juara… padahal Persebaya dari waktu ke waktu berisi pemain-pemain kelas wahid macam Tee San Liong, Jacob Sihasale, Harry Tjong, Waskito, Lukman Santoso dan Abdul Kadir. Maka, kalau tidak sekarang, kapan lagi?
Selama kompetisi, tidak ada satu pun laga yang aku tonton langsung, karena Persebaya kudu berlaga di Probolinggo dan Jakarta. Kami hanya mengikuti dari Radio RRI-RGS dan Surabaya Post, saat itu koran Jawa Pos belum menjadi raksasa seperti sekarang, hurufnya pun masih tidak rapi, tapi punya nilai lebih karena terbit pagi, sedang Surabaya Post muncul di sore hari.
Berita pertama, Hartono dan Slamet Pramono menyeberang, memperkuat Persema Malang.
Babak 18 besar dibagi menjadi 4 pool yang berlangsung di Surabaya, Bandung, Semarang dan Jakarta. Namun sebelum ikut 18 besar, Persebaya kudu melewati penyisihan wilayah (Jawa Timur) yang dihelat di Stadion Gajayana Malang untuk menentukan 2 tim Jatim ke babak 18 besar, dengan hanya diikuti 3 tim yaitu Persebaya, Persema dan PSBI Blitar.
Asumsi masyarakat sudah jelas, Persebaya dan Persema yang akan mulus ke babak 18 besar.
Laga pertama, Persebaya-Persema, penalti Hartono (atau Slamet Pramono?) langsung membawa Persema unggul duluan 1-0. Namun Persebaya bisa membobol gawang Hari Saroso (adiknya Surharsoyo) dua kali, meng-kick balik menjadi kemenangan, skor 2-1.
Laga berikutnya Persebaya ketemu batunya, PSBI Blitar yang diperkuat oleh sebagian besar pemain klub Blitar Putra seperti Nuzur, Sodiq, Dhofir dan kapten M. Yusuf, mereka melawan Persebaya dengan gigih, kiper hebat Sudarto menjadi bintang lapangan, berhasil memaksa skor imbang 0-0. Meski dengan itu Persebaya tetap melaju ke babak 18 besar. Tinggal menunggu, siapa diantara PSBI atau Persema yang mendampingi.
Prediksi masyarakat nyaris mendekati kenyataan, karena sampai menit ke-89 Persema masih unggul 2-1 dan penonton berangsur meninggalkan stadion Bayuangga.
Tapi siapa sangka di detik-detik terakhir PSBI berhasil mencetak gol, menyamakan skor jadi 2-2, membuat pemain-pemain Persema dan PSBI menangis, kubu Persema menangis perih dan sedih sedangkan kubu PSBI menangis gembira, tak menyangka hasilnya.
Persebaya 2-1-1-0 2-1 3
PSBI Blitar 2-0-2-0 2-2 2
Persema 2-0-1-1 1-2 1
Berkali-kali aku membaca berita itu di koran Surabaya Post milik tetangga dengan takjub. Konon katanya, menurut cerita yang beredar, sebelum itu, PSBI klub yang notabene dari pelosok, mampu menahan Persija. Kiper Sudarto lah yang jadi kunci, sehingga membuat emosi pemain lawan. Lalu kiper Sudarto dilanggar dengan keras oleh Andilala, berakibat gegar otak dan diberitakan tewas, ternyata kiper Sudarto selamat.
Di babak 18 besar, Persebaya tergabung di grup-C (Menteng) sempat mengalami masa kritis, padahal diprediksi akan jadi raja di grup itu. Sebaliknya, PSBI Blitar yang tergabung di grup D (Semarang) malah sukses, padahal diprediksi kalah bersaing lawan Persija dan PSP Padang yang lebih punya nama.
Saat pagi hari membaca Koran Dinding di sekolahku, SMP Negeri 8, kami tersentak kaget ada berita heboh di Jawa Pos, Persebaya dikalahkan Persiraja Banda Aceh 1-2. Nanar mata kami demi memandang foto Bustaman, M. Daan dan kiper Zaim Mardika, bergembira setelah menumbangkan raksasa.
Berarti, Persebaya terancam gagal ke babak 8 besar.
Untunglah, akhirnya krisis itu berlalu seiring kemenangan telak 7-0 atas Persisam Samarinda. Hadi Ismanto mengamuk dengan hattrick-nya ke gawang Bachriyun Rachman (kelak ia akan menjadi kiper Persiba Balikpapan di 1987-1988) ditambah gol Waskito, Kadir, Sapuwan dan Joko Malis, Persebaya terbang ke babak 8 besar di Senayan, didampingi Persiraja.
Sementara, PSBI sempat kritis setelah dikalahkan Persija 3-0 dan kapten M. Yusuf menyia-nyiakan hadiah dua tendangan penalti yang semua ditepis Ronny Pasla. Tetapi kemudian M. Yusuf menebusnya saat mendapat penalti ketika mengalahkan PSP Padang 1-0.
Semua berita-berita itu sempat aku buat Kliping di tahun 1978, sampai kemudian dipinjam entah oleh siapa, aku lupa dan tidak pernah kembali lagi. Andai kata kliping itu masih di aku, maka tidak ada kesimpang-siuran berita yang mengatakan bahwa Persebaya Juara itu musim kompetisi 1978 bukan 1977, karena memang endingnya di Januari 1978.
Aku hanya berani berkata bahwa memang BENAR Persebaya itu Juara Nasional 1977 meski tanpa bukti tertulis, hanya bermodal ingatan, syukur-syukur bila ada pembaca tulisan ini yang masih menyimpan potongan beritanya.
Logikanya, PSSI selalu menggelar kompetisi dalam 2 tahun atau dalam 1 tahun, tidak pernah sampai 3 tahun kosong, terkecuali ada Force Majeur seperti Perang Kemerdekaan, Gerakan Reformasi atau Kisruh Nasional. Yah, begitulah wajah sepakbola kita, selalu berubah-ubah, baik nama, durasi waktu maupun geografisnya.
Yang tetap hanya satu: KEGAGALAN… (maaf). (bersambung)
*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.