EJ – Buku berjudul Sepak Bola Gajah Paling Spektakuler, Persebaya Ngalah 0-12 Buat Persipura telah terbit. Buku yang ditulis duo mantan wartawan Jawa Pos, Slamet Oerip Prihadi dan Abdul Muis, bisa didapatkan masyarakat pecinta bola yang ingin mengetahui kisah di balik sepak bola gajah yang dimainkan Persebaya melawan Persipura pada 21 Februari 1988 itu.
Buku tersebut diluncurkan di Coffee Toffee, JX Expo, Rabu, 29 Juni 2016. Acara peluncuran itu juga diisi sesi bedah buku yang dihadiri langsung oleh Suhu, panggilan akrab Slamet Oerip Prihadi. Cak Amu, panggilan akrab Abdul Muis sayangnya berhalangan hadir.
Bedah buku tersebut juga dihadiri para mantan pemain Persebaya yang menjadi “aktor” sepak bola gajah. Mereka di antaranya Mustaqim, Hengky Kastanya, Maura Hally, Muharrom Rusdiana, Seger Sutrisno, Syamsul Arifin, dll. Hadir juga mantan Ketua Umum Persebaya, Arif Affandi dan mantan pengurus Iwan Syafii.
Acara yang dimulai pukul 17.00 WIB dikemas secara santai dan menjadi ajang testimoni para pemain yang melakoni sepak bola gajah. Suhu mengucapkan rasa senangnya bisa menerbitkan buku yang mengungkap salah satu momen sejarah Persebaya. Menurutnya, apa yang dilakukan Persebaya sangat unik.
“Persebaya adalah satu-satunya tim di dunia yang memberi kemenangan 12-0 kepada lawannya,” ujar Suhu mengawali acara.
Iwan Syafii yang didapuk untuk berbicara menyatakan jika faktor non teknis sangat kuat pengaruhnya dalam sepak bola. Berdasar pengalamannya, mantan manajer Persebaya Agil Ali pernah memanfaatkan faktor non teknis saat Persebaya menghadapi Persipura di Jayapura.
“Manajer Persebaya Agil Ali pernah membawakan rokok kretek untuk pemain Persipura. Pak Agil tahu jika harga rokok kretek di Irian Jaya (Sekarang Papua, Red) sangat mahal. Besoknya Persebaya menang 2-0. Kemenangan ini merupakan rekor karena tak ada satu pun tim yang bisa menang di Jayapura.”
Menanggapi sepak bola gajah, Iwan memahami keputusan Agil untuk mengalah. Menurutnya, kekalahan itu ada unsur politiknya. Agil tak ingin Persipura kalah dan terdegradasi. Karena sepak bola di Papua adalah hiburan.
“Kekalahan Persebaya bisa menyelamatkan NKRI. Dengan menang besar, Persipura bisa memberi hiburan kepada masyarakat di Irian,” tambahnya.
Sementara itu, mantan pemain belakang Persebaya, Muharrom Rusdiana lebih banyak bercerita kisah sebelum terjadinya sepak bola gajah. Dia menceritakan bagaimana para pemain dikumpulkan Agil Ali di Hotel Majapahit untuk mengatur skenario.
“Waktu itu tak ada pemain senior yang mau main. Hanya saya yang mengangkat tangan saat ditanya Pak Agil. Karena itulah, saya ditunjuk sebagai kapten tim,” ujarnya.
Tiga hingga empat rapat digelar untuk memuluskan skenario itu. Empat pemain Persipura bahkan dilibatkan dalam rapat-rapat tersebut. Agil Ali mampu memotivasi para pemain untuk mau melakukannya.
“Pak Agil selalu berpidato jika Persebaya harus menyelamatkan NKRI. Motivasi Pak Agil membuat kami tertegun,” ungkapnya.
Selain itu, sakit hati para pemain terhadap PSIS akibat perlakuan yang tidak wajar dari klub asal Semarang dan pendukungnya pada kompetisi setahun sebelumnya sangat kuat. Kekalahan Persebaya atas Persipura akan membuat PSIS tersingkir dari babak 6 Besar di Senayan.
“Pelatih PSIS, Sartono Anwar, waktu itu nonton pertandingan di Tambaksari. Saat Persebaya tertinggal 0-8, dia meninggalkan stadion dan menyatakan kepada wartawan jika Persebaya melakukan sepak bola gajah. Itulah mengapa istilah itu kemudian populer,” tambahnya.
Kiper ketiga Persebaya, Usnadi, yang diturunkan pada pertandingan itu menyatakan saat Persebaya tertinggal 0-8, dirinya masuk menggantikan Eddy Mujiarto di pertengahan babak kedua.
“Kami kemudian main sungguhan. Ternyata ada instruksi agar skor ditambah. Akhirnya kami memberi empat gol tambahan,” ungkapnya.
Dia mengaku sejak pagi di hotel pemain, masyarakat menelpon para pemain agar pada pertandingan nanti mereka mau mengalah.
“Setiap Persebaya kemasukan gol, semua penonton bersorak gembira. Padahal kalau pertandingan sebenarnya, mereka akan marah jika Persebaya kebobolan. Masyarakat mungkin juga jengkel kepada PSIS.”
Mustaqim, Maura Hally, dan Seger Sutrisno juga menyampaikan testimoni atas sepak bola gajah yang mereka mainkan.
Di akhir acara, Suhu menyatakan jika tahun 1988 merupakan masa keemasan Surabaya. Selain Persebaya juara, Niac Mitra Juara Galatama, dan Suryanaga juara nasional antarklub. Dengan terbitnya buku, dia berharap agar Persebaya bisa segera bangkit dan Surabaya kembali jadi barometer kekuatan sepak bola nomor satu di Indonesia.
Bedah buku mendatangkan antusiasme tinggi bagi penikmat sejarah Persebaya. Tak kurang 50-an orang memadati tempat acara. Para peserta tak lupa membeli buku dan meminta tanda tangan Suhu.
Jika anda ingin mengetahui detil peristiwa sepak bola gajah, anda bisa memesannya di sini. (iwe)