Penghormatan seperti apa yang bakal kita berikan kepada pemain yang telah mengabdikan diri selama empat musim dengan jumlah sembilan gol dari total enam puluh caps, plus sumbangan gelar juara Liga Kansas 1996/1997? Sebelum menjawab pertanyaan itu, alangkah baiknya kita simak cerita di bawah ini, sebentar:
“To me, Sala is a Bluebird. He signed for Cardiff and not many players want to sign for us. If you join our club you’re part of Cardiff City and that’s why I felt I had to come down and pay tribute. ujar David Tugwell, seorang fans Cardiff City setelah mengetahui kepergian Emiliano Sala. Ucapan Tugwell kepada Mirror tersebut bertepatan dengan kedatangan fans Cardiff ke Stadion De La Beaujoire, markas Nantes FC (mantan klub Sala), untuk memberi penghormatan terakhir kepada pemain yang hilang saat melakukan penerbangan menuju Cardiff itu. Bagi Tugwell, meski Sala tidak memberi kontribusi apa pun kepada Cardiff lewat giringan dan tendangan, namun Sala telah menyumbangkan rasa cinta kepada keluarga besar Cardiff. You’re part of Cardiff City, Sala.
Paragraf di atas merupakan sepenggal kisah tentang luapan emosional seorang fans pada pemain yang telah tiada sebelum sempat mencium rumput stadion kebanggaan The Bluebirds. Refleksi sederhananya, jika kepada pemain yang belum sempat menciptakan debut saja para suporter sudah sebegitu khidmat mengenang si pemain, lantas pengheningan cipta seperti apa yang akan mereka berikan kepada pemain yang notabenenya telah berkontribusi banyak bagi klub tercinta? Barangkali keluarga besar Persebaya menjadi salah satu subjek yang bisa menjawab pertanyaan tersebut secara baik dan fasih. Paling tidak, peristiwa nahas yang tersimpan dalam catatan obituari milik Persebaya tentang insiden yang membuat salah satu pemain terbaik Bajul Ijo meninggal akan mampu memberikan penjelasan.
Remembered History
Sembari kita panjatkan doa untuk Almarhum Eri Irianto yang pada 19 tahun lalu menghembuskan napas terakhirnya setelah terlibat benturan keras dengan Samson Kinga, alangkah baiknya apabila kita juga merefleksikan secara total kisah pilu tentang pendermaan seorang pemain pada klub yang dibela dan dicintainya itu melalui dua pesan, yakni pesan eksplisit dan pesan implisit.
Pertama, pesan eksplisit atau pesan yang secara tersurat (gamblang) muncul ketika mengenang kejadian yang menimpa Eri Irianto, yakni kecakapan tim medis dan kesadaran pelaku olahraga dalam menangani suatu accident di lapangan. Memang sepak bola, sebagaimana R.N. Bayu Aji (2018) mengatakan, pandai membuat orang-orang yang terlibat di dalamnya rela memberikan apa saja, tanpa paksaan. Namun begitu, kejadian demonstrasi besar-besaran di Brasil yang memprotes seputar arogansi pembangunan jangka pendek Piala Dunia 2014, membuat kita harus sadar, bahwa sepak bola tidak lebih mahal dari kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan hidup lainnya.
Barangkali bisa dikatakan, bahwa selain memang sudah kehendak Gusti Kang Murbeng Dumadi, kematian Eri Irianto bisa ditelisik lewat sejauh mana penanganan yang diberikan oleh tim medis. Hal ini bisa dilihat dari rentetan peristiwa mulai saat Eri berbenturan sampai meninggal di RSUD Dr. Soetomo.Misalkan saja ketika proses menuju RSUD, Eri justru yang berlari menghampiri ambulan, padahal bisa saja cedera yang dialaminya berada di kepala yang sangat riskan apabila dipaksa untuk beraktivitas sendiri tanpa bantuan.
Belajar dari fakta tersebut, maka tuntutan terhadap kecakapan tim medis dan kesadaran semua pelaku olahraga tidaklah bisa diganggu gugat, sebab kecerobohan sekecil apa pun bisa berakibat sangat fatal, seperti yang baru saja menimpa Fabian Schaer, bek tengah Swiss, dalam laga kontra Georgia. Saat itu, Schaer yang baru saja siuman dari pingsannya paska berbenturan dengan bek Georgia justru diperbolehkan melanjutkan permainan di tengah kondisi yang mengharuskannya untuk beristirahat saja. Keteledoran-keteledoran ini membuat kita harus mengangkat kembali kertas karton yang pernah dibentangkan oleh salah satu massa aksi Brasil berkostum Batman yang bertuliskan: Tidak masuk akal untuk menjadi negara sepakbola apabila tidak ada layanan kesehatan dan pendidikan.
Kedua, pesan implisit atau pesan mendalam yang secara tersirat bisa kita tangkap dari peringatan sembilan belas tahun mangkatnya Eri Irianto, yakni keteladanan. Sebelum beranjak lebih jauh, perlu disadari bahwa banyak dari kalangan kita yang tidak atau kurang mengenal Eri Irianto. Saya termasuk yang tahu Eri tetapi tidak mengenalnya. Meski begitu, untuk urusan ‘mencintai Eri’, barangkali tidak ada satu pun dari kita yang bisa mengelaknya. Mudahnya, tidak peduli entah Anda kenal atau tidak dengan sosok pemilik tendangan gledek itu, mencintai pemain yang telah meneteskan keringat dan mendermakan segalanya saat membela klub tercinta merupakan sebuah bentuk penegasan bahwa Anda layak disebut manusia. Sebab bagaimanapun, Eri telah menjadi bagian dari remembered history (sejarah yang diingat) Persebaya.
Kembali mengingat dan menarasikan kisah-kisah teladan tentang sepenggal cerita yang dimiliki Persebaya, baik tentang pemainnya ataupun klub secara umum, menjadikan mapannya suatu ingatan kolektif tentang keberadaan identitas serta makna yang melekat erat. Dalam konteks ini, kita patut mencontoh Liga Eropa, di mana penghormatan kepada pahlawan klub sangat mendapat atensi luar biasa dari khalayak umum dan selalu digerakkan dalam bentuk upacara serentak, seperti yang dilanggengkan pada setiap tanggal 6 Februari guna memperingati Munich Air Disaster 1958 yang menewaskan delapan pemain Man. United.
Selain daripada itu, harus diakui bahwa Eri Irianto merupakan orang besar (great man) dengan sifat personal yang patut dijadikan suri teladan. Eri dikenal sebagai sosok yang dekat dengan semua komponen, baik internal maupun luar Persebaya. Abah Bejo Sugiantoro dalam satu kesempatan pun mengatakan betapa kedermawanan dan keusilan Eri mampu menyedot banyak pihak untuk menjalin persahabatan dengannya. Oleh karenanya tidak mengherankan apabila berita kematian sosok pemain Timnas yang pernah membuat quattrick saat Indonesia melibas Kamboja dengan skor 10-0 ini, membuat pilu para pencinta sepak bola tanah air sehingga disematkanlah pita hitam setiap klub-klub lokal melakoni pertandingan. Bagi Persebaya, rasa pilu tersebut ditunjukkan dengan memensiunkan nomor punggung ‘19’, persis seperti yang dilakukan oleh Fiorentina dan Cagliari kala ditinggal mangkat legenda mereka, Davide Astori. Tentu hal tersebut mengandung suatu pesan agar roh Eri Irianto turut serta melatih mentalitas pemain sekarang, sebagaimana sahabatnya, Bejo Sugiantoro, melatih keterampilan para pemain.
*) Ferhadz Ammar Muhammad (Bonek Writer Forum)