Ada rupa ada harga. Itu jawaban pendek dari Bu Anny. Cukup pede. Menepis keriuhan netizen menanggapi mahalnya harga yang dipatok di warung lesehannya. Di perempatan Slawi Tegal, Jawa Tengah. Sama pedenya dengan nama warung lesehan yang dipajang; “Lamongan Indah”. Kendati belakangan diketahui, ternyata Bu Anny tidak dari Lamongan.
Muasal kehebohan itu, postingan dari salah satu netizen yang habis kena getok harga. Pesan beberapa menu seafood, kena harga Rp 700 ribu. Woww mahal amat. Seperti tarif makan di hotel bintang lima. Begitu ciutnya. Seperti biasa, warga +62 pun langsung rame dengan komennya. Teriring doa dan sumpah serapah segala.
Tapi Bu Anny, seperti dikutip banyak media, enteng saja menanggapi. Ya itu tadi. Ada rupa ada harga. Dalihnya, menu yang disajikan bahan dasarnya memang mahal. Kalau mahal, masak dijual murah? Malah, dia menyebut sudah sempat mengorting harga yang dipatok jadi Rp 300 ribu saja. Tapi, toh, keriuhan tak otomatis berhenti. Justru, warung lesehannnya yang dihentikan aparat setempat.
Model getok harga, juga jamak terjadi di sepak bola Indonesia. Pemain kualitas biasa saja, dengan pede-nya dibanderol tinggi. Atau ada yang pede berlebihan, menilai kualitas diri dengan rupiah selangit. Profesionalisme. Kata magic itu yang biasa dibawa sang agen atau pemain itu sendiri. Pikirnya, semakin tinggi angka yang dipatok, menunjukkan tingkat profesionalisme yang dimiliki.
Benarkah demikian? Tesis ini masih perlu dikaji. Apalagi, kadang tingginya harga kontrak yang dipatok sang pemain tak berbanding lurus dengan sikap professional yang didengungkan. Kontraknya profesional tapi perilaku amatiran. Abai menjaga kondisi, kebugaran dan pola makan. Sepanjang 90 menit penampilan di lapangan, hanya nama besar yang dibanggakan.
Tentu, ini menjadi tantangan tersendiri bagi klub-klub Indonesia di bursa transfer. Kejelian melihat potensi dan melabeli harga yang pantas menjadi seni tersendiri. Sayangnya, kerap pergerakan di area ini, dipandang secara sederhana. Bahwa klub yang jor-joran mengeluarkan rupiah langsung dilabeli dengan beragam pujian kata. Disebut profesional sejati, hebat dan bila perlu sepuluh acungan jempol diberikan. Tak mau tahu, seberapa kuat, kaki-kaki klub itu menopang kemampuan finansial. Bahwa di sana ada besar pasak daripada tiang, tak dihiraukan. Pun demikian dengan sederet contoh, bagaimana klub yang awalnya jor-joran namun justru colaps saat kompetisi baru separuh jalan. Tak penting. Pokoknya, klub itu bisa belanja pemain puluhan milyar, kenapa kita tidak?
Kiranya, itu pula yang dialami Persebaya saat ini. Terlebih, ketika kemenangan tak juga kunjung menyapa di tiga laga yang dijalani. Tudingan klasik itu pun langsung meluncur. Manajemen pelit. Rekrut pemain lelesan. Lebih perbanyak store daripada skor. Dan sederet tudingan nyinyir lainnya.
Well, mari dibedah soalan ini. Dengan serius dan akal sehat, tentu saja. Bukan hanya mengandalkan emosi dan argumen serampangan. Benarkah manajemen Persebaya pelit?
Rasanya tudingan ini sulit dibuktikan. Kendati sejauh ini, tak ada data resmi besaran budget kontrak pemain, namun bocornya angka kontrak Osvaldo Haay beberapa waktu lalu, sebesar Rp 2 miliar lebih bisa menjadi sinyal jelas; tudingan pelit itu terbantahkan.
Bocoran angka Osvaldo ini juga bisa dipakai untuk menelisik nilai kontrak pemain lain. Khususnya yang kini dipanggil bergabung di Timnas U-23 dan senior. Dari 18 klub Liga 1, Persebaya menyumbang pemain terbanyak ke timnas yakni 6 pemain. Disusul Los Galacticos Indonesia, Madura United dengan empat pemain.
Enam pemain Persebaya yang dipanggil: tiga di senior yakni Ruben Sanadi, Hansamu Yama, dan Irfan Jaya. Tiga lagi di Timnas U-23 yakni Rachmat Irianto, Alwi Slamat dan Osvaldo Haay. So, bisa ditebak kan kira-kira berapa angka kontrak yang didapat para penggawa Persebaya di timnas tersebut? Tentu saja tidak murah.
Banyaknya pemain ke timnas ini juga menyisakan pertanyaan tersendiri. Satu sisi, menunjukkan kualitas pemain lokal Persebaya musim ini jauh lebih bertenaga dibanding musim sebelumnya. Bahkan, dibanding Madura United sekalipun. Tapi, kenyataan di lapangan kenapa berbeda? Tiga laga berjalan, Madura United menorehkan rekor sempurna. Sedang Persebaya, hanya mampu mengamankan dua poin saja. Tanya kenapa?
Ini PR yang mesti diurai manajemen Persebaya. Evaluasi mesti dilakukan di semua sisi. Tapi, mesti diingat, semua proses tersebut dilakukan dengan tenang dan terukur. Tak perlu ikutan panik. Karena kepanikan hanya akan melahirkan kesalahan dan kefatalan.
Mari, beri kelapangan waktu manajemen Persebaya untuk melangkah cepat, cerdas dan tuntas menyelesaikan persoalan ini. Jangan lagi ditambahi beban dengan beragam pernyataan, tudingan yang penuh syak wasangka dan mengedepankan prasangka. Mari bersama, Jaga Persebaya! (alexi)