Entah bagaimana, saya selalu merindukan sosok Dahlan Iskan ketika kondisi Persebaya tengah terpuruk. Tiba-tiba, saya teringat berbagai aksi koboi Pak Dahlan, dari masa ke masa.
Ingatan jahil saya itu kemudian menghadirkan lagi kemarahan Dahlan di sebuah gerbang tol di kawasan Semanggi, Jakarta. Pagi-pagi, tahun 2012 silam. Dahlan terjebak antrean panjang di pintu tol. Dia marah karena ternyata hanya satu pintu tol yang difungsikan, sedangkan dua sisanya mangkrak, tanpa petugas.
Saat itu, sistem pembayaran tol belum menggunakan uang elektronik, sehingga masih butuh petugas untuk transaksi tunai di gerbang tol. Dahlan yang ngamuk kemudian membuka sendiri gerbang tol dan mempersilakan ratusan kendaraan yang sempat antre, langsung masuk tol, gratis.
Ketika itu, Dahlan memang menjabat sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tapi di saat yang sama, dia juga merupakan customer jalan tol. Sebagai customer, dia dan orang-orang lain yang terjebak antrean itu berhak marah karena tak mendapatkan layanan prima.
Begitulah logika customer. Belakangan, Presiden Persebaya Azrul Ananda dalam sejumlah kesempatan dengan tegas menyebutkan bahwa suporter adalah customer. Dengan paradigma itu, maka kemarahan Bonek di Stadion Gelora Bung Tomo, Selasa (29/10/2019) menjadi punya legitimasi.
Dalam industri sepakbola, Persebaya sebagai produsen dituntut untuk memenangkan pertandingan. Produk kemenangan tersebut yang tak mampu dihasilkan dalam 6 pertandingan terakhir.
Tentu saja, Bonek sebagai pelanggan, membeli tiket pertandingan bukan hanya untuk melihat Persebaya memproduksi kekalahan. Bukan itu yang dibeli Bonek. Pembeliannya pun tak tanggung-tanggung. Rekor penjualan tiket terbanyak Liga 1 dipegang Persebaya, semua tahu itu.
Belum lagi kalau kita bicara banyak hal lain yang tak bisa ternilai dengan mata uang: cinta, waktu, keringat, darah, air mata, bahkan nyawa. Semuanya telah dibayar lunas oleh Bonek, tanpa pemberian subsidi dari siapapun.
Dalam paradigma ini pula, Bonek berperan lebih jauh dari sekadar pelanggan. Di saat bersamaan, Bonek adalah komoditas yang bisa ‘dijual’ ke sponsor. Nyatanya memang sederet potensi Bonek ini juga dicantumkan dalam proposal sponsor Persebaya.
Ya, marketing Persebaya memang jempolan. Meski tak pernah menyebut angka pasti pendapatan dari sponsor, namun Persebaya tergolong sebagai tim yang bergelimang sponsor, jika dibandingkan tim Liga 1 lainnya.
Semua kerja gemilang itu ternyata tak sebanding dengan hasil di lapangan pertandingan. Ketimpangan ini yang kemudian menjadi pertanyaan. Ada apa? Bagaimana bisa tim yang secara keuangan sangat sehat, tak mampu bersaing dengan tim yang belum tentu gajian sesuai jadwal?
Semua kerumitan itu, seharusnya tak perlu jadi pikiran Bonek sebagai pelanggan. Bonek hanya perlu tahu menang, atau setidaknya itikad baik berusaha menang. Usaha itu yang tak terlihat sejak beberapa pertandingan terakhir.
Pada akhirnya, bola salju pecah jadi api yang membakar papan-papan sponsor di tepi lapangan. Secara tersirat, bara itu seolah berteriak: PERCUMA AKEH SPONSOR TAPI GAK TAU MENANG!
*) Muhammad Choirul Anwar, customer Persebaya Surabaya yang sedang mencoba menjalani ujian dari Tuhan.