Beberapa hal tersisa dan mewarnai Piala Gubernur Jatim 2020 yang telah usai. Selain Persebaya sukses mengunci gelar juara, media sosial juga diramaikan dengan beredarnya video: Sego Elek. Video menampilkan adegan suporter yang karena lapar, minta Sego Elek pada warga Blitar. Video ini viral dan jadi bahan ejekan pada pendukung Persebaya.
Ejekan ini melengkapi sederet cap sinis yang sudah disematkan pada pendukung Persebaya sebelum ini. Mulai pasukan sandal jepit, maling gorengan, pasukan wadimor, dan sederet sinisme lainnya. Tentu, kita tak perlu marah atas semua sinisme itu.
Pengalaman membuktikan, sederet cap negatif itu justru menjadi energi bagi Bonek untuk menjadi lebih baik. Masih ingat kan, saat kita dicap maling gorengan? Tudingan itu dijawab dengan lahirnya Panti Asuhan Bonek, Unit Bonek Tanggap Bencana, dan saat ini, teman-teman Bonek Nganjuk sedang inisiasi pembangunan musholla.
Inilah yang kerap membuat kaum pembenci dan para pencaci frustasi. Bagaimana tidak. Siang malam diserang dengan kabar buruk, ternyata Bonek tak juga terpuruk. Mereka memang salah pilih lawan. Ejekan Sego Elek ini kecil. Persebaya dan Bonek sudah melewati ujian yang lebih berat dari itu. Saat Persebaya dimatikan. Saat Bonek beralih ke tribun jalanan. Bukan satu atau dua. Tapi lima tahun kondisi nestapa ini harus dijalani. Apakah Persebaya mati? Bonek menjual diri? Tidak. Perjuangan itu akhirnya menemukan jalannya sendiri. Persebaya bisa kembali dan eksis hingga saat ini. Adakah suporter lain yang bisa seperti ini?
Romantisme itu harus selalu dikenang. Bukan untuk melenakan diri. Tetapi sebagai pengingat, bahwa, ada masa, tim ini dibangun dengan tetesan keringat bahkan darah. Bukan hanya untuk sebuah nama tapi juga keyakinan dan kebenaran yang membalutnya.
Pengingat itu penting. Sebagai pengabar pada semuanya, akan jiwa ksatria yang harus terus dijaga. Oleh siapapun yang mengaku pendukung Persebaya. Dimanapun dan kapanpun. Jika lapar, minta Sego Elek pun, jauh lebih ksatria daripada harus menjarah. Lebih mulia dari mereka yang sok punya dan pura-pura kaya. Tapi sejatinya miskin hati dan harta.
Sego elek adalah PR kita. Tak perlu malu, kita akui saja. Di lapangan, masih ada kesenjangan dan perbedaan definisi dalam mendukung tim kebanggaan. Wajar saja, ini problematika bawaan bagi klub dengan jumlah pendukung yang cukup besar, seperti Persebaya. Yang, sebarannya merata. Tak hanya di Surabaya tapi seluruh kota di Jawa Timur bahkan Indonesia. Inilah PR bersama yang harus dipecahkan.
Tentu saja, tugas besar itu tak bisa dibebankan pada Persebaya semata. Kendati di Surabaya, pengelolan suporter yang dilakukan manajemen relatif berhasil. Tapi, bagaimana pendukung Persebaya yang di daerah-daerah lain? Tangan dan sumber daya yang dimiliki Persebaya tak akan mampu menjangkau ke sana.
Karena itu, pemerintah harus hadir untuk bahu membahu mengatasi masalah ini. Kenapa pemerintah? Karena institusi ini yang miliki semua variabel yang diperlukan. Lagian, ini bukan semata mengurusi pendukung klub sepakbola. Lebih dari itu. Ini juga menyangkut nasib anak bangsa , di mana undang-undang mengamanatkan, negara harus turut peduli juga.
Beruntung Jawa Timur miliki gubernur yang peduli sepak bola. Setidaknya sudah ditunjukkan dengan menghidupkan kembali turnamen tahunan Piala Gubernur Jatim yang sempat mati suri. Kendati masih muncul kekurangan di sana-sini, tetapi apapun itu, langkah ini patut diapresiasi. Kepedulian itu, sudah cukup menjadi modal besar untuk menyemai harapan. Bukan saja menjadikan Jatim makin kuat sebagai barometer sepakbola nasional, sekaligus miliki jutaan pendukung tim sepakbola yang fanatik sportif. Itu mimpi besar yang harus diwujudkan.
Bisakah? Pasti bisa, jika ikhtiar ini dihelat bersama-sama. Uppss. Bukankah Ibu gubernur itu telah melukai perasaan insan sepakbola Surabaya dengan komentar bau sampah? Ah, sudahlah. Komentar itu memang bikin panas telinga. Tapi sampai kapan amarah itu menyelimuti kita? Gubernur memang salah. Dia juga sudah berusaha kuat memperbaikinya. Permintaan maaf juga sudah dilayangkan. Di final kemarin, dia pun menyanyikan Song For Pride bersama kita semua. So, di mana ksatria-nya jika kita terus memperpanjangnya?
WANI!