Dari pemain kampung, Syamsul Arifin mampu menembus tim nasional Indonesia. Padahal, saat itu, dia bukan pilihan utama di Persebaya.
***
Sambil mengebulkan asap rokok, Syamsul melanjutkan kisahnya menjadi pemain nasional. Kemampuannya terpantau saat Persebaya B mendapat tawaran mengikuti kejuaraan Yusuf Cup di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 1978.
Dalam ajang itu, Persebaya, ungkapnya, tak bisa mengirim tim utama. Padahal, musuh-musuh tim asal Kota Pahlawan, julukan Surabaya, tersebut turun.
”PSM sebagai tuan rumah, PSMS Medan, dan Persija Jakarta tampil dengan kekuatan penuh. Tapi, kami di tim B tak gentar,” jelas Syamsul.
Di kejuaraan itu, Syamsul tampil on fire. Dia menyumbang gol hampir setiap pertandingan.
”Ternyata di Yusuf Cup ada pemantau dari PSSI. Yang main bagus di sana akan dipanggil tim nasional,” ucap lelaki yang kini berusia 61 tahun tersebut.
Hanya, itu belum membuat Syansul memperoleh posisi utama di Persebaya. Hingga akhirnya pada 1979, kesempatan dia menjadi penyerang utama di tim besar tersebut kandas.
”Mitra berubah nama menjadi Niac Mitra dan ikut kompetisi Galatama. Jadi, saya tak di Persebaya lagi,” jelas dia.
Syamsul pun mengenang masuknya Niac Mitra sebagai peserta Galatama. Pada 1979, bos Niac, sebagai sponsor utama Mitra, Wenas penasaran dengan prestasi kesebelasannya.
Untuk itu, dia ingin melihat penampilan Syamsul dkk. Sebagai tolak ukur, lawan uji cobanya adalah klub milik rekan Wenas, Benny Mulyono, yakni Warna Agung.
Ketika itu, Warna Agung diisi para pesepak bola dengan nama-nama besar seperti Risdianto dan sudah disegani. Sedangkan Mitra masih klub anggota internal Persebaya.
”Ternyata, hasilnya imbang dan Mitra mampu mengimbangi. Bos (Wenas) senang banget dan langsung berniat gabung Galatama,” ujar Syamsul.
Hanya, materi yang ada, tambahnya, dianggap masih kurang oleh Wenas. Untuk itu, beberapa pesepak bola top Indonesia, khususnya dari Indonesia Timur didatangkan.
”Dari Persebaya juga diambil. Ada Rudy Keltjes dan Joko Malis plus PSM ada Dullah Rahim,” lanjut Syamsul.
Dengan kombinasi itu dan dibawah racikan M. Basri, Niac Mitra menjadi klub Galatama tangguh. Di musim pertamanya, mereka mampu menjadi runner-up.
”Barulah di tahun kedua, Niac Mitra menjadi juara. Kami pun dapat kepercayaan mewakili Indonesia di Aga Khan Cup di Bangladesh,” ujar Syamsul.
Selain Niac Mitra juara, gelar pribadi pun diraih Syamsul. Dia mampu menjadi pencetak gol terbanyak dengan 30 gol.
”Posisi saya sudah bukan lagi pemain sayap tapi penyerang tengah. Joko Malis yang bergeser menjadi gelandang serang,” paparnya.
Setelah juara, Niac Mitra perlahan melakukan regenerasi. Syamsul jadi korban. Ke mana dia pindah? (Bersambung)