Persebaya merupakan salah satu klub tertua di Indonesia, lahir sejak 1927 dan tentunya memiliki sejarah panjang di republik ini. Banyak pemain, pelatih, dan pengurus datang silih berganti dengan berbagai rupa. Namun ada satu yang tidak akan berganti, yaitu dukungan suporternya yang disebut Bonek, yang selalu setia, militan, dan WANI.
Bonek tidak kemana-mana, tapi ada dimana-mana. Itulah quotes menarik tentang betapa banyaknya Bonek. Lantas bagaimana bisa klub yang bahkan pernah “dipaksa” mati ini seolah-olah tidak pernah kekurangan suporter?
Saya melemparkan ingatan saya di masa kecil saya, tahun 90an. Kenapa di tahun tersebut? Ya bisa saja, saya ulas tulisan ini berdasar tahun 80an, 70an, dsb. Tapi saya menyukai fakta-fakta yang tersaji ketika saya alami sendiri karena lebih bisa diterima. Toh, saya yakin tahun berapa pun yang diulas, akan dapat ditemukan jawabannya. Kenapa?
Saat itu sekitar 4 tahun, saya belum mengerti soal sepak bola (melihat di tivi pun, saya tidak tahu, kenapa bola direbutkan banyak orang) namun saya sudah mencintai Persebaya. Saya lihat orang-orang di kampung saya selalu bicara soal Persebaya, betapa hebatnya permainan Persebaya. Di mana-mana nama Persebaya dan sepak bola dibicarakan. Bahkan saya dulu mengira negara kita adalah negara nomor satu sepakbola. Saking banyaknya obrolan seputar bola di mana-mana. Hehe, ya itulah anak kecil melihat apa yg diteladani lantas memupuk sense of belonging-nya akan Persebaya, rasanya harus bersyukur saya sudah lahir di tengah-tengah masyarakat Surabaya yang mencintai Persebaya.
Hingga Liga Indonesia bergulir, Persib dan Petrokimia Putra sedang berjaya. Namun saat itulah saya mengenal apa itu rivalitas. Masih teringat bagaimana tidak terimanya saya atas insiden Nurkiman yang harus kehilangan fungsi satu matanya karena terkena lemparan suporter malang. Rasa itu semakin meninggi tatkala periode The Dream Team Persebaya dengan nahkodanya Rusdy Bahalwan hadir. Munculnya Bejo Sugiantoro, Uston Nawawi, Abdul Kirom, Jacksen, Mursyid, dsb.
Masih teringat Cak Narto di awal musim mengatakan “tidak ada target apapun untuk Persebaya.” Tapi yang dihadirkan adalah skuad luar biasa, hingga Persebaya juara. Bahkan timnas didominasi pemain-pemain Persebaya. Sejak itulah kiprah Persebaya semakin dinanti, Bonek pun beberapakali tret tet tet ke Jakarta dengan segala cerita positif dan negatifnya, semakin menghiasi cerita-cerita bola tanah air. Hingga Persebaya menjadi klub pertama yang mendapatkan dua gelar Liga Indonesia (yang kedua pada tahun 2004, Bersama Jacksen sebagai pelatih).
Hidup seperti roda, kadang di atas kadang di bawah. Begitu juga dengan Persebaya. Ketika sedang jaya-jayanya, Persebaya harus kehilangan legenda mereka di lapangan, Eri Irianto. 3 April 2000. Almarhum menghembuskan nafas terakhirnya setelah berjibaku di lapangan. Itulah kejadian memilukan sekali lagi (setelah Nurkiman) yang pernah saya rasakan tentang pemain Persebaya. Sedih pasti, dan untungnya Persebaya tidak melupakan jasa pemainnya, Nomer 19 dipensiunkan, dan nama Eri Irianto enjadi nama Wisma Persebaya. Dan Nurkiman saat ini menjadi pegawai PDAM dan sempat menjadi pelatih Persebaya Junior.
Persebaya sendiri pernah jatuh 2 kali. Yang pertama ketika mereka memutuskan tidak bertanding di delapan besar dengan alasan keamanan, yang mengharuskan Persebaya degradasi di musim berikutnya. Bagi saya saat itu, keputusan itu seolah-olah bukan sikap Persebaya sejati, kenapa harus menolak bertanding, kenapa tidak dibuka saja, kalau memang ada yang membahayakan? Terlebih akhirnya dijatuhi hukuman degradasi. Dongkol jelas, tapi ya mau gimana lagi, sudah kejadian.
Kejatuhan yang kedua ini yang benar-benar super dongkol. Ketika itu, Persebaya seharusnya berjumpa Persik Kediri pada 29 April 2010 di Stadion Briwijaya, Kediri. Laga itu amat penting karena kemenangan akan membuat mereka mendapatkan tiket playoff agar tidak terdegradasi. Pertemuan itu ditunggu oleh Pelita Jaya yang juga berjuang mendapatkan playoff. Dan Persik tidak mengantongi ijin keamanan. Sesuai regulasi, Persebaya seharusnya menang tanpa bertanding dan mendapat kemenangan dengan skor 3-0. Alih-alih melakukannya, PT Liga Indonesia kemudian memindahkan laga ini di Stadion Gelora Jakabaring, Palembang, pada 5 Agustus 2010. Persebaya enggan datang karena merasa dikerjai oleh PSSI. Dan Persebaya pun dinyatakan kalah WO dan posisinya terdegadasi. Cerita selanjutnya sudah banyak yang tahu. Itulah momen tergetir Persebaya dan suporternya. Dipaksa vakum, diadakan dualisme, dsb.
Dan kini Persebaya telah kembali, dengan manajemen, pemain dan pelatih yang baru. Tapi tetap ada Bonek, masih militan dan Wani. Tentu klaim saya ini berdasar, setidaknya sewaktu saya datang langsung ke Bandung Ketika Final Liga 2. Dari Jakarta saya lihat banyak Bonek dimana-mana. Dari Jakarta saya berpapasan berulangkali dengan kendaran pribadi yang ditempeli spanduk Persebaya. Teman saya sendiripun ada yang langsung ke Bandung menggunakan pesawat. Dan di stadion pun saya mendapat cerita beberapa Bonek, ada yang menyisihkan gajinya sebagai kernet bus untuk berangkat ke Bandung, ada pula mahasiswa dari Malang harus di-sweeping dulu sama oknum sana ketika berangkat dari Arjosari dengan alasan rivalias. Ada pula temen saya yang guru SMA bertemu dengan mantan muridnya di sana, dan kebersamaan Bonek dan Viking di dalam stadion. Sungguh berbagai cerita, berbagai keadaan, berbagai karakter dalam diri masing-masing Bonek tersaji di laga Final tersebut.
Kevakuman tidak dapat menghentikan denyut nadi Bonek dan Persebaya. Bagaimana bisa klub yang pernah vakum, klub yang pernah dua kali degradasi, klub yang sudah berulangkali terkena skors ini tetap dicintai? Meskipun fakta lain klub ini juga berulangkali mengorbitkan pemain timnas dan mengoleksi beberapa gelar juara. Tapi jelas ini bukan sebuah klub yang sempurna, jauh dari sempurna. Malah kalau dilihat dari cerita di atas, belum lagi cerita-cerita lain yang semakin menjauhkan dari kata sempurna (seperti gol bunuh diri pemain legenda mereka, Mursid Effendi, atau kasus sepak bola gajah, dsb).
Tapi laksana manusia, makhluk yang dikatakan sempurna, tapi justru dapat menangis, melakukan kesalahan, dsb. Tapi itulah kesempurnaan manusia. Begitu juga Persebaya, ketidaksempurnaannya itulah yang sempurna sebagai klub yang begitu dicintai. Karena ada rasa suka, senang, sedih, semangat, kemarahan, kebanggaan, keberanian, semuanya ada dan membekas di hati pendukungnya.
Kembali ke masa sekarang. Persebaya, ketidaksempurnaan, namun sempurna. Hidup selalu berproses, teruslah berbenah, ketidaksempurnaan itu bukan untuk dibanggakan, tapi sebagai cerminan, karena cerita yang berulang akan menjadi tidak lucu dan menjemukan. Lanjutkan kiprahmu dengan sejarah baru untuk masa depan. Jangan takut tidak didukung, karena tanpa bertandingpun, kalian tetap didukung Bonek. Menang kusanjung, kalah kudukung.
Salam Satu Nyali, WANI! (*)
*) Tulisan ini adalah salah satu tulisan yang diikutkan dalam “EJ Sharing Writer Contest” edisi Mei 2020. Dengan tema Persebaya dan Harapan Masyarakat, kontes dibuka hingga 31 Mei 2020. Kirim tulisanmu ke email: [email protected].